Undian -- Adikara Dikemas 11/04/2004 oleh Editor Parjo terus melihat kertas yang ada di tangannya. Bolak-balik ia membolak-balikkan kertas itu. Sekali-kali ia menghentikan langkahnya untuk membolak-balikkan kertas itu. "34!" itulah kata yang keluar dari mulutnya. Terus diulang-ulanginya kata-kata itu. "34,34,34,34!." Komat-kamit mulutnya, meram-melek matanya, kembang-kempis lubang hidungnya, lalu ia mengadahkan kedua tangannya,"Ya... Allah sekali ini saja kasihanilah hamba-Mu ini, biarlah aku kali ini bisa menang, Ya Allah sekali ini saja biarkan aku menang sehingga aku bisa merasakan sekali-kali nikmatnya hidup ini." Parjo bukan orang kaya. Berkecukupan pun tidak. Belum menikah dan tidak punya rumah. Seorang bujang lapuk yang mencari nafkah dengan menjadi pura-pura cacat. Mungkin Parjo pantas bermain sinetron dengan peran sebagai orang cacat. Ia beroperasi di dalam kereta api jurusan Bogor-Jakarta. Entah bagaimana, mungkin Parjo jenius, ia bisa membuat seolah-olah kakinya tampak begitu kecil dan lemah, sampai-sampai para penumpang KRL menjadi iba hatinya ketika melihat Parjo lewat dengan menyeret-nyeret kakinya. Luamayanlah. Sehari Parjo bisa dapat Rp 15.000 sampai Rp 20.000. Pengumuman nomor lotre biasanya dilakukan di Stasiun Pasar Minggu Lama. Kumpulan peminat lotre ini memang sangat tertutup sekali, hanya orang-orang tertentu saja yang dapat akses untuk mengikuti ajang adu keberuntungan ini. Tempatnya sendiri sangat rahasia dan kita tak kan pernah menyangka kalau ternyata tempatnya itu berada di ruang bawah tanah WC Umum stasiun. Sangat rahasia sekali, ada pintu rahasia, pertemuan rahasia, permainan rahasia, sampai dengan konspirasi rahasia. Bagaimana Parjo bisa terlibat dalam ajang ini dikarenakan Parjo kebetulan berteman baik dengan pencetus klub lotre itu, makanya ia bisa masuk sebagai anggota. "Nomor berapa yang kau pasang malam ini?" tanya Cosa, salah satu anggota klub. Parjo mengerutkan keningnya, kemudian mengusap-usap kepalanya, lalu memasang muka curiga, "Mauuu tauuuu aja….!" Jawab Parjo menggoda. Parjo memang Parno (paranoid), mungkin ini akibat efek samping dari pekerjaan yang dilakoninya sehari-hari. Karena sering hidup dalam kebohongan maka ia menjadi selalu takut kalau sewaktu-waktu kebohongannya terbongkar. "Uh... dasar pelit, kayak sudah pasti mau menang aja, nomor mu pasti nomor sial, sama seperti hidupmu selalu sial!" ucap Cosa menyindir. "Kali ini pasti lain, aku merasa Dewi Fortuna ada di pihakku saat ini!" Parjo menunjuk ke sebelah samping seakan-akan ada orang di sampingnya. "Dewi... ha...ha...ha.., orang seperti kita ini tak mungkin memiliki dewi, lihat kita yang dekil dan bau ini saja orang sudah tidak mau apalagi dewi yang cantik dan haruuuum" kata Cosa. "Kali ini benar-benar lain. Coba kau pikir apakah suatu kebetulan kalau nomorku muncul beberapa kali sepanjang hari ini?," tanya Parjo. Ia menghirup nafas panjang kemudian melanjutkan ceritanya, sementara Cosa sebenarnya sudah tak mau lagi mendengar ucapan Parjo tetapi ia telah terjebak. "Pertama ia muncul di dalam mimpiku, coba bayangkan sampai segitunya. Pertamanya aku tidak percaya, mungkin itu hanya imajinasiku saja, namun setelah nomor itu muncul lagi beberapa kali, aku baru benar-benar percaya kalau kali ini nomor ini pasti akan keluar sebagai pemenang." "Yah..semoga deh kamu menang!" ujar Cosa Pembicaraan mereka terhenti ketika seseorang memanggil. "Ayo masuk ke dalam! Nomor sudah akan mulai diundi," teriaknya kepada Parjo dan Cosa. Ruangan itu dipenuhi oleh kira-kira dua puluhan orang. Semuanya berdiri mengitari bola undian. Di tengah-tengah seorang pria bertubuh kecil berdiri disamping bola undian untuk memutar bola undian itu. Bola undian pun mulai berputar. Suasana menjadi hening seketika, Parjo berdiri paling depan dekat dengan bola udian. Ia terus menatap bola yang sedang berputar itu, bola matanya ikut berputar mengikuti putaran bola undian. Lama kelamaan putaran bola undian itu semakin melambat dan akhirnya berhenti tak berputar sama sekali. Dari banyaknya bola-bola yang ada kemudian hanya satu bola saja yang keluar dari lobang di bawah bola undian itu. Bola itu diambil oleh orang bertubuh kecil itu. Dikeluarkannya kertas yang ada di dalam bola itu. Parjo melihat dengan jantung berdebar-debar. Orang bertubuh kecil itu akhirnya berkata, "Nomor yang menang malam ini adalah nomor tiga lima!" Tiba-tiba terdengar teriakan, "Aku menang! Aku menang! Aku menang!" Parjo keluar dari ruangan itu dengan kepala tertunduk. Ia terus berjalan meninggalkan ruangan itu menuju bangku stasiun. Ia duduk dan berpikir. Ia berdiam diri dan merasa tak percaya. Mengapa nomornya tidak keluar padahal ia sudah yakin, ia sudah optimis akan menang. Tanpa disadarinya kereta yang akan dinaikinya sudah berhenti untuk menurunkan dan menaikkan penumpang. Parjo masih duduk dan berpikir, berdiam diri dan merasa tak percaya, tak menyadari kalau sesunguhnya kereta sudah ada di hadapannya dan ia hanya tinggal melangkahkan kakinya dan naik ke dalam kereta itu. Bunyi klakson kereta tanda kereta akan berangkat menyadarkan Parjo, ia segera bangkit dari tempat duduknya dan berlari mengejar kereta yang telah meninggalkan dirinya. Kereta itu tak terkejar oleh Parjo. Kembali Parjo duduk dan berpikir, berdiam diri dan masih merasa tak percaya. Terdengar suara dari speaker stasiun "Kereta Jurusan Manggarai-Kota saat ini tengah ada di stasiun Depok Baru."