Tubuh-Tubuh Gosong Yang Kau Bakar "Sebelumnya, dalam tubuh-tubuh ini menebar kesegaran masa kanak-kanak di tengah keluasan padang; ada rasa manisnya asmara anak sekolahan tak kunjung padam kepadamu; dan tercetak tebal di balik dahi mereka tentang kisah keisengan dan kebencian percuma." TAPI api yang kau nyalakan, di hadapan berjuta mata dunia itu, tiba-tiba menyemburkan nyala kematian; seolah kau menjelma seekor ular raksasa, yang siap menggosongkan tubuh siapa saja yang masih berisi darah mengalir ringan di tubuhnya. Koran-koran berlomba memberitakan: "Membahana jerit ketakutan yang belum pernah kita rasakan. Ketika orang-orang tak dikenal tiba-tiba membuat kita terharu atas keberadaan nasib dan kematian mereka." Tak ada lagi perasaan mendua yang terbit dalam kesadaran, ketika memandangi tubuh-tubuh terpanggang hangus itu; kecuali perasaan tunggal: menderunya kesedihan bercampur kasih sayang kepada orang-orang yang menjadi korban. Betapa muskilnya memahami hasrat-hasrat mereka, pada detik-detik terakhir, sebelum mereka menjadi korban yang tergeletak di hadapan kita berupa tulang-tulang hancur dan hangus. Sekali waktu, semangat perhitungan terkadang memang mendorong seseorang untuk melakukan balas dendam "gelap" kepada orang-orang tertentu -- dengan alasan-alasan yang kabur dan tak jelas. Lalu, nafsu-nafsu bengis yang bergolak di benak mereka, serta-merta memindahkan sosok orang-orang yang dibenci sebagai gerombolan iblis yang telah bersikap kasar dan kejam kepada mereka. Gerombolan orang-orang nyata yang tak terjangkau dalam keseharian, menjadi gerombolan orang-orang khayalan dalam permusuhan -- yang hanya terjamah secara langsung -- dengan api dan penjarahan. "Permusuhan dan angkara, selama berabad-abad, dapat memuaskan sekaligus menyengsarakan; dari sisi manapun kita memandangnya." Sejarah memperlihatkan, banyak peristiwa berdarah diulang-ulang secara ceroboh dan mengesalkan. Seolah kelahiran-kelahiran yang disambut gembira itu, cuma kesenangan dan kehangatan singkat-- sebagaimana yang kita peroleh dari keasyikan berdebat di meja diskusi, sehabis membaca sebuah buku filsafat, sehabis menonton kemenangan sebuah klub sepakbola favorit, sehabis menonton film dari sutradara pujaan, atau malah sehabis meneguk tandas sebotol minuman ringan yang melegakan tenggorokan. "Manis dan fana. Ringkas dan mudah dilupakan." Padahal, menuju puncak pengalaman yang mendebarkan dan mencemaskan itu -- tak jarang kita harus melalui perjuangan dan pengalaman yang menghabiskan tenaga dan pikiran -- serta memerlukan semangat dan kemauan mengatasi tantangan dan menolak kekalahan. "Memang cuma masalah perut, tapi ini persoalan hidup mati." "Terkadang hanya perihal pakaian gemerlap, namun menyangkut kecurigaan yang menyakitkan." "Jelas ini kondisi darurat." "Kemiskinan tanpa matahari." "Gelap. Gelap." "Memiliki masa depan atau tidak." "Sekali bertindak lalu berarti." "Mereka atau kita." Lalu, mengapa kemenangan sesaat yang diperoleh dengan susah-payah itu -- dapat disirnakan dengan gampang? Api. Api. Api yang kau nyalakan di hadapan berjuta mata dunia tiba-tiba menyemburkan nyala kematian, seolah kau memilih dilahirkan kembali berupa seekor ular raksasa, yang siap menggosongkan tubuh siapa saja yang masih berisi darah kehidupan mengalir gembira di tubuhnya. Di hadapan dada terbuka seorang perempuan, sang pecundang mendesah tentang "pekerjaan tambahan". Seolah baru saja meninggalkan kegelapan dan kegalauan malam di luar sana, ia menyurukkan kesadarannya ke sebuah tempat teduh yang sering dikunjungi; kelelakiannya terhunus dan jiwanya menggelepar haus; lalu dicetuskannya beberapa "pekerjaan tambahan" yang harus mereka tunaikan di ujung malam. Ia mengenangkan kota-kota, desa-desa, rumah-rumah, kamar-kamar, yang kini tercekam oleh api menyala-nyala dan jeritan-jeritan orang-orang terbakar sepanjang malam, seolah untaian peristiwa yang hanya dapat terjadi di film-film pembantaian Hitler. Si pecundang melampiaskan rindu dan cinta, dan tak henti-hentinya terpesona oleh kesadaran: betapa hangat dan manisnya tubuh manusia yang diciumi, tepat seperti kelembutan angin sore yang mengapungkannya pada kenangan masa kanak di tengah keluasan padang dan cinta masa remaja. Dulu. Dulu. "Tapi, kejahatan apakah yang melontarkannya sedemikian jauh selama ini; hingga baru menyadari semua kesenangan dan kesejukan itu, pada malam yang panas dan tidak membahagiakan itu?" Apakah memang ada bagian-bagian tertentu dari kehidupan -- yang hanya dapat dikenali dan menyergap kesadaran -- setelah kita melakukan perbuatan durjana yang memuakkan? Kalau "ya", sungguh malang menjadikan pengalaman sendiri sebagai bahan penilaian yang mengenaskan. Kalau "tidak", sungguh kerinduan akan bayangan wajah dan tubuh sintal kekasih telah memabukkannya selama malam-malam "pekerjaan tambahan". Dan kecantikan itu kemudian menjelma! Bahwa ketika jemarinya, dengan sigap menelusuri permukaan tubuh yang menggelinjang dan bergaris tepi halus memanjang itu -- maka, ia pun sedang menemukan gagasan baru tentang cinta pagi hari. Apa yang terjadi, ketika ia sedang bepergian, melakukan tugas lapangan di kota-kota jauh, di desa-desa jauh, bersama segenap anggota pecundang? Apa yang dilakukan sang kekasih, mengisi malam-malam kesunyian, bersama kehangatan tubuh yang menggelegak dan selalu menyala menjelang subuh itu? Apa yang sewajarnya dihadiahkan seseorang, atas tubuhnya yang kenyal dan molek, di antara kesepian yang harus ditapaki sendirian -- sementara dunia sekitar menawarkan pengkhianatan -- tidak saja bagi para pecundang yang sudah terlatih menuntaskan tugas secara sempurna, tapi juga kepada seseorang yang senang mengumbar senyum kepada siapa saja? Apa yang sebaiknya dilakukan seorang perempuan sendirian, di tengah para lelaki yang setiap hari memuja dengan cinta dan tatapan penuh nafsu? Maka, koran-koran pun berlomba memberitakan: "Ditemukan mayat gosong lainnya di sebuah perkampungan!" "Larilah sejauh-jauhnya," ujar kesunyian kepada nurani si pecundang. Nurani itu menggigil. Nurani itu meronta. Nurani itu menangis. "Nasibmu kau tentukan sebagai pecundang keji. Sekalipun kau berdoa sepanjang tahun, Tuhan tak akan melepas pisau sesal yang mengiris kesadaranmu." "Larilah kalau kau mampu..."***** Bekasi Timur, 15 Mei 1998