Titik Yang Terbuang Aku sebenarnya tak tega melihat dia memelas seperti iu. Wajah kusut dengan baju yang kotor nampak sekali tak terawat. Tapi sayang jiwanya tak terkutuk sama sekali, bukan karena melihat keadaannya, yang terbayang adalah orang yang mempekerjakannya. Jangan harap bisa dapat uang dariku. Sepersenpun tak akan kuberikan. Sungguh tidak adil namanya, uang yang kuperoleh harus terbuang pada orang pemalas. Bukan aku benci pada anak kecil itu, tidak. Aku kasihan padanya. Disodorkan plastik bekas bungkus permen kepadaku. Aku diam saja. Dia teruskan kepada orang disebelahku. Kulihat setiap langkah dan geriknya. Dia berhenti dan duduk di bangku yang sama denganku, mungkin hanya selisih 3 orang dariku. Dia menatapku tajam. Kualihkan pandanganku. Suasana stasiun Wonokromo semakin padat saja. Tanggal merah yang jatuh hari Kamis dan Jumat pada bulan Mei ini menjadikan kesempatan emas bagi mahasiswa maupun para pekerja mudik, termasuk aku ini. Dengan bawaan yang berat di kanan dan kiri tak menghilangkan keceriaan dan canda tawa. Kulemparkan pandanganku ke penjuru stasiun tua ini. Tak tersisakan tempat luang, semua terasa sesak. Dari arah utara kereta Penataran tujuan Blitar lewat Malang masuk jalur satu. Orang-orang saling berebut untuk bisa masuk dan segera berburu tempat duduk. Jelas sangat sulit. Dari luar saja nampak penumpang dari Gubeng sudah banyak yang berdiri. Ibu-ibu mengomel, karena kalah oleh kegesitan anak-anak muda. Anak kecilpun terjepit dalam aksi desak-mendesak itu. Petugas pemberengkatan KA kebingungan saat akan meniup peluit pemberangkatan. Jelas tak mungkin, yang ngantri masih banyak dan berjubel. Akhirnya petugas menginstruksikan kepada penumpang yang tidak bisa, jangan memaksakan diri. Menunggu kereta berikutnya 3 jam lagi. Keterlaluan. Tapi mereka pasrah menunggu. Keberangkatan KA Penataran tak mengurangi kepadatan di stasiun ini. Sudah hampir satu jam aku menunggu KA jurusan Surabaya-Solo. Apa boleh buat aku salah melihat jadwal, harusnya pemberangkatan jam 7.30 tapi aku sudah sampai stasiun jam 6.00. Penantian kurang 30 menit lagi itu saja kalau tidak terlambat. Dia masih duduk di bangku itu. Tak beranjak. Sesekali dia menatapku, sambil sibuk memainkan karet gelang yang ada di tangannya. Kantung plastik tempat recehan uang itu ditaruh dipangkuannya. Kuperhartikan tingkah bocah 9 tahunan itu. Tak terlihat keceriaan di wajahnya. Mengapa dia tidak berkumpul dengan anak jalanan yang ada di pojok itu?, pikirku. Teman sesema anak jalanan terlihat gembira menghitung tiap receh hasil kerja mereka. Entah kemana mereka menyetorkan uang itu nanti. Kembali aku pandang bocah kecil itu. Badannya kurus tak terturus, kulitnya tak seberapa hitam. Tapi siapa yang peduli. Aku rasa diapun disuruh seseorang untuk mengemis, kemudian meyetorkan uang hasil keringatnya. Betul-betul tak menusiawi. Dia kembali menatapku. Entah apa yang sedang dia pikirkan. Aku tertawa sendiri. Aku terlalu banyak komentar. Masa bodoh. Rasanya hampir seabad saja aku menunggu KA ekonomi ini. Lebih lagi melihat orang yang terus bertambah banyak, terasa pusing kapala ini. Mendung menyelimuti kota Surabaya menambah lengkap saja kebingunganku. Sebentar lagi pasti hujan. Awan hitam saja sudah tak segan lagi menutup indahnya langit. Kejenuhan terpancar di wajah ibu-ibu, sudah bosan rupanya mereka menuggu. Melongok ke arah jalan KA, mungkin saja yang mereka tunggu sudah muncul, tapi kecewa yang dirasakan. Sambil sesekali melihat barang bawaan yang segunung, masih ditempatnya apa tidak. Wonokromo memang terkenal banyak pencopet, sebenarnya stasiun lainpun juga, tapi yang paling tersohor stasiun ini. Hawa sejuk kota Solo sudah kurasakan di panasnya Surabaya. Alunan gamelan terngiang jelas. "Le, kerja di Solo saja, Surabaya itu panas dan pasti cepat bosan." Benar ucapan ibu, kelamaan di Surabaya menjadi bosan. Tiga bulan aku tidak pulang, baru kali ini, itu saja karena tanggal merah keberuntungan, kantorku libur. Mataku mencari-cari, kemana dia. Anak yang aneh. Kudongokkan kepalaku mencari di sela-sela kerumunan ornag, tapi tak ada. Mungkin saja dia melanjutkan kerjanya. Dari ruang informasi diinstruksikan kepada semua calon penumpang untuk minggir karena KA jurusan Jogja (Solo) akan tiba. Spontan saja orang-orang berburu memenuhi tepi jalur 1. Akupun tak mau kalah dengan mereka, ikut pula berdesakan. Peluit penjaga rel melengking keras memperingatkan agar tidak dekat rel. Dari arah Utara KA muncul dengan laju yang tidak terlalu cepat. Belum juga KA itu berhenti ada juga yang gandol demi mendapatkan kursi duduk. Kereta itu berhenti dan membius banyak orang untuk masuk di dalamnya. Omelan ibu-ibu kembali terdengar rata mereka kalah gesit dengan para muda. Akupun tak kalah untuk berdesakan. Akhirnya aku bisa masuk, tapi aku terjebak di tengah gerbong. Tiba-tiba ada yang menarik bajuku. Kaget setengah mati. Anak kecil itu sudha duduk dikursi tepat di sebelahku berdiri. Dia tersenyum menampakkan giginya yang gigis. Aku masih bingung bagaimana dia masuk, sungguh gesit pikirku. Dia kembali menarik bajuku, uku menatapnya lagi. Dia berdiri dan memberikan tempat duduknya untukku. Aku bingung dengan tingkahnya, aneh. Tangannya menunjukku lalu menunjuk kursi. Dia memaksaku duduk. Akhirnya aku duduk. Dia berdiri disebelahku sambil tersenyum. Kereta akhirnya berangkat 7.50 dengan menumpang yang berlebihan. Aku buka pembicaraan dengan anak itu, "Sopo jenengmu, le". Dia menggeleng. "Mosok ga’ duwe jeneng? Trus, nyapo gak muter maneh?" Dia menggeleng lagi. Aku pandang dia. Tiba-tiba dia menggerakkan tangannya sambil …, ya Allah dia bisu. Hanya au au yang keluar dari mulutnya. Kugeser dudukku, kusuruh dia duduk. Dia menggeleng. Dia menarik lagi bajuku sambil menunjukkan seorang laki-laki besar kira-kira 40 tahunan. Bocah kecil ini ketakutan. Kusuruh dia bersembunyi di bawah tempat duduk, muat kukira karena badannya kecil. Setelah orang itu berlalu, anak kecil yang tak bernama itu muncul sambil tersenyum. Berdasarkan analisaku, laki-laki itu adalah orang yang mempekerjakan bocah ini. Dia kembali berdiri di sampingku. Entah dorongan dari mana aku keluarkan uang 5000, padahal tak biasanya aku begitu baik hati, aku sangat cuek. Tapi kali ini tidak, hatiku luluh. Kuberikan uang itu pada bocah di sebelahku. Dia menggeleng lagi sambil tersenyum. Aku dibuat serba bingung. Kupaksakan pasti tak mau juga. Perjalanan telah berkahir, stasiun Balapan telah mengobati sedikit kerinduanku. Akupun turun dengan perasaan bahagia. Hei anak itu mengikutiku. "Arepe menyang ngendi, Le?", tanyaku penasaran. Dia menunjuk kearahku dengan tersenyum. Gawat, bagaimana ini, apa yang harus kulakukan selanjutnya ya ini balasan atas sifat individualku. Allah mengujiku. Aku rasanya ingin cepat lari meningglakan stasiun ini dan sampai di rumah menutup pintu kamar rapat-rapat. Ibu ….., anakmu pulang. DIRA LESTARI MAHASISWA ITS