Air mata telah mengalir sepanjang jalan desa Yilaga. Bersahut lengking burung cerek yang terbang berombongan sebelum malam mengelam. Bocah-bocah suku Dani cepat berjalan pulang, bukan karena suara “krek-krek” burung itu yang menyakitkan, tapi malam memang selalu menakutkan buat kesucian mereka. Namun lonceng gereja tetap berkumandang. Hari minggu, suara lonceng kecil itu akan tetap mengusik telinga, terutama di kalangan suku Dani yang masih bertebaran di sepanjang kecamatan Mapenduma. Senandung lelaki itu pun mungkin masih akan terdengar bergumaman di sepanjang desa yang berwajah hutan. Berpadu dengan suara kus-kus, burung cerek dan dedaunan pohon liar, barangkali Yilaga akan tetap damai, tenang dan aman bila tidak muncul bunyi jerajak sepatu dan senjata dikokang. Tapi semua harus terjadi, malam akan jadi mirip pasar. Pasti akan ada rentetan peluru, orang-orang yang berlari panik dan bau kematian yang telah menyergap. Amis, sungguh amis sekali kekelaman ini. Itulah yang berpecahan di telinga Mundro. Malam di kecamatan Mapenduma tiba-tiba saja tersayat. Kepala Mundro kini telah berputar cepat. Naluri untuk mempertahankan hidup pun mulai bereaksi atas serangan mendadak musuh. Sudah beberapa bulan ia hidup berpindah, sekarang nyawa baginya tak lebih dari kertas tipis yang siap untuk diterbangkan angin. Tak ada lagi lamunan. Semua pecah! Mundro telah melesat dari pembaringan. “Mana, mana senjata? Sial! Ditaruh dimana?” Kakinya cepat menelusuri ruangan. Spontan meraih senjata yang tergeletak tak karuan di bawah meja. Peluru! Peluru! Mundro segera keluar dan melesat di rimbun semak liar sebelah utara rumah. Tapi suara berkerosak membuat langkah kakinya yang tegap, keras dan liat jadi tertahan. Tubuhnya bergetar, kupingnya terangsang. “Mundro, kakak Mundro. Saya adik Waina!” Refleks, kaki Mundro meloncat dan menerjang ke arah suara. Didapatinya tubuh yang tergolek lemah. Rupanya lelaki muda itu sedang sekarat. Diciuminya tubuh Waina yang tersungkur. “Kakak Mundro, pergi! Tak ada lagi yang tersisa disana. Cuma darah. Cuma darah, Kakak. Dan bangkai. Pergi lekas. Tapi jangan lewat mata air. Pergi ke sungai sana, ke sungai jernih. Roh kami akan menyertai kakak selamanya.” “Adik…” “Pergilah sana! Apalagi yang Kakak beratkan? Saya juga akan mati. Percayalah, sebentar lagi pun saya akan mati.” Dan Mundro makin bergejolak. Rasa takut telah dikalahkan oleh mata gelap, dia malahan mengepalkan ototnya. Mata nyalang sambil menggenggam senjata teracung. Tubuh yang keras bersama gelap malam itu kemudian menyeruak di antara semak dan pepohonan liar. Mundro berlari ke arah seluruh bunyi tembakan tadi berasal. Dia tak mau lagi ambil perduli, apakah senjata mereka masih di pinggang atau sudah siap menyerang. “Adik Waina, mati muda! Hooi, musuhhh! Kecil saja, kau tak tahukah? Maju, lawan ini, putera pemberani Mundro! Akkkhhhhh…” Sebuah peluru terlalu cepat sekali datang dan menghantam pahanya. Kena, Mundro mengerang. Dia terjerembab, tak mampu mengetahui dari arah mana peluru tadi berasal. Suara Waina tiba-tiba saja terngiang kembali di telinganya. Matanya berkeliling. Bayang wajah sobat-sobatnya bagaikan telah menjadi roh yang nyata berteriak dan menggema di sepanjang jalanan hutan yang kelam. Menariknya agar menjauh dari medan peperangan dan pembantaian. Dia bagai terseret oleh tenaga dashyat. Tersaruk-saruk. Jatuh terlempar senjatanya di rimbun pohon hutan yang luas tak terkira. Sementara suara peluru makin menghilang di belakang kepalanya. Dan Mundro baru sadar ketika lari membuat dada hampir meledak. Menggelosor tubuhnya di pinggir batu sungai, tergeletak kepayahan di atas tanah yang lembab. Lamat-lamat, dirasakan Mundro percik air sungai menyiram kepalanya. Dingin, sejuk sekali. Matanya masih mengedarkan pandang mencoba mengembalikan kesadaran untuk tahu dimana kini tubuhnya berada… # # # Medio Desember, bendera hitam-putih-merah di sebelah kiri dengan dua belas bintang di sebelah kanan memang sempat berkibar di setiap pojok kota Jayapura. Walau pun tak mendapatkan reaksi meriah dari kabupaten yang lain, namun sejarah adalah aliran air sungai yang akan membawa rahasianya ke laut. Dan bocah-bocah di pinggiran sungai itu akan tetap menari. Bertelanjang badan, dilekati pasir, mereka akan terus berlari dengan penuh keriangan hati… # # # Kecamatan Kuyawagi, beratus meter dari dusun Yilaga, berbulan setelah peristiwa kematian Waina... “Selamat malam, Gobel. Keributan seminggu yang lalu ternyata belum selesai juga. Masih banyak musuh yang berkeliaran di desa Yilaga. Entah apa maunya mereka. Tiba-tiba saja masih muncul serangan pada beberapa saudara kita yang mencari makanan tambahan,” beritahu saya sambil melempar noken ke ujung bilik yang kami jadikan sebagai tempat persembunyian darurat di hutan. “Dan kalian berhasil membalasnya?” Saya lihat si muda Mundro melepas kaus oblongnya yang telah berbau keringat. Sambil menggerutu, “Aku sudah jadi seperti harimau saja. Selalu perang dan perang, dikejar dan mengejar.” Lalu kedua matanya yang hitam putih di antara wajah yang berkerut itu mengerling cepat. Saya memberikan senyum kepadanya.” “Puluhan dari kita, tapi sedikit dari mereka. Bagaimana, Gobel? Tidakkah itu menakutkan bagimu?” jawab saya sambil mencomot dua potong ketela bakar yang masih tersisa di atas meja. “Apa?” Gobel terkaget. Ditangkapnya tangan saya, seketika kekekaran beradu dalam getaran tangan ketika kami saling mencekal. Dua lelaki nampak mengadu kejantanan. “Bodoh, Titus! Kenapa bisa sebanyak itu dari kita? Mengapa? Mereka kawan kita, yang bisa terhitung jumlahnya. Habis, habislah kita…” Sambil terus berteriak, Gobel terus mengguncang tubuh saya. Saya yang kebingungan setengah bercampur takut, cuma bisa menatapi wajah pemimpin yang dihormati dengan rasa tak percaya. Tapi tampaknya memang kecemasan yang membuat dia jadi panik semacam itu. Walau kesal, namun saya berusaha tahan untuk jadi bulan-bulanan Gobel. Tapi si Mundro telah berpaling dan melompat. Ditatapnya saya dan Gobel dalam-dalam. Lama. Cukup lama.Hingga tiba-tiba dadanya jadi bergetar keras. Sesak, dibantingnya kepala kuat-kuat ke kayu tiang penyangga rumah. Lalu dia meraung seperti bunyi genderang pemujaan seorang dukun kepada dewa-dewa. Bicaranya patah-patah. Begitu tersendat. "Kematian Wellem, Jhony, adik Waina, bisakah aku menangis? Bisa, Gobel dan Titus? Tapi mengapa kalian masih saja bertengkar di tengah perang? Setelah lama kita tak punya rumah, tak punya apa-apa lagi yang bisa dimiliki. Lelah dalam pelarian di hutan yang sebenarnya milik kita. Lalu dikatakan sebagai pengacau di hutan yang bersahabat dan mengenal kita sejak kecil. Aku tak tahu. Aku tak mengerti, Gobel. Entah semua!" matanya tiba-tiba berkilat memandangi kekerasan wajah dan hati sang pemimpin. Benar, Gobel sobat kami. Tapi keberanian Mundro tiba-tiba saja jadi saya syukuri. Tepatnya, saya dan Mundro sungguh tak selalu mau dipersalahkan pada kejadian-kejadian yang tak sepenuhnya dapat kami kontrol secara penuh. Lalu siapakah Gobel? Mungkin cuma kacamata dan kepandaiannya saja yang mampu menguasai kami. Tapi ketakutan ini sungguh telah berujung pada sebuah pemikiran yang tak bisa dipermaklumkan. "Gobel, bisakah rohku ini menyeret sobat-sobat untuk kembali ke jasad yang pecah karena peluru itu? Dan dewa, siapa dia sekarang yang patut kita percayai lagi? Jawab, Gobel! Jawab!" teriaknya sambil maju mendekat ke tubuh sang pemimpin. Lalu terdengar sedikit bunyi sobekan, karena saya dengan cepat telah menepis tangan yang mencekal baju sang pemimpin. Sungguh, bagaimanapun saya tetap tak menginginkan permusuhan di antara saudara. Sekali pun berita kekalahan yang barusan tersiar telah membuat saya mempersiapkan sebuah rencana. Karena itu, saya cepat menyahuti si lelaki muda yang tiba-tiba saja menjadi begitu berani itu. "Ya, dengarlah sahabat sekaligus pemimpinku, Gobel. Nama saya Titus, engkau telah bertahun-tahun mengenalku. Keluargaku hampir seluruhnya mati dalam medan pertempuran di hari naas itu. Namun kini, izinkanlah saya untuk melepaskan kami semua punya kekuatan. Sebab bagi kami yang bodoh, memang tak ada lagi makna yang terlalu cerdas untuk menterjemahkan kemerdekaan. Persetan, Gobel. Sungguh persetan apa itu pengakuan! Karena cuma dengan melepaskan dendam dan ketakutan, lalu pergi jauh ke dalam tanah milik kita sendiri, kita mungkin bisa lebih tenang. Sungguh, siapa yang tak merindukan mantera para lelaki Dani pada suatu malam, seperti kenangan kanak kita dulu?" Mundro masih menangis. Keras-keras digigitinya ketela yang barusan saja dicomot dari atas piring. Peristiwa demi peristiwa demikian mengerikan. Mereka yang cerai-berai oleh hujan cuma beberapa saja yang selamat. Walau pun perih, namun lelaki itu masih mampu mengingatnya. Gobel terhenyak. Keningnya itu makin tampak berkerut. Perlahan, dia menurunkan kacamatanya di atas sebuah buku lusuh. Lalu dia ikut bertekuk lutut bersama saya dan Mundro di atas lantai tanah. Aku jadi memandang tak berkedip. Bagaimana pun, dia tetaplah pemimpin kami, sampai kapan pun saya tetap akan mengingatnya. Kerendahan hatinya tiba-tiba membuat kami terharu dan kehilangan bahasa. Lama juga kami bertiga diam berpelukan sampai dirasakan sesenggukan pemuda Mundro mulai menghilang. "Pergilah kalau itu memang keinginan kalian. Tapi sungguh rahasia tempat dan perjuangan kita ini ditaruh atas nama nyawa dan perjuangan abadi kita semua. Selalu dan selalu. Ingat?" Kami berdua cepat mengangguk. Malamnya, upacara untuk melepaskan kami pun diadakan. Penuh mantera. Penuh kegaiban. Kami tak tahu apakah yang di depan kami sebuah kebahagiaan, ataukah justru perjuangan ini yang dinamakan kesejatian? Entahlah, sampai sekarang pun saya tak bisa menjawab…. # # # Dimana Mundro kini berada? Pinggiran desa Tiom? Kuyawagi? Akh, dimana sajalah dia. Asal bukan dalam kenangan di medan peperangan Mapenduma. Sampai mati pun, semua laki-laki tak ada yang mau mengingatnya. Sedang saya sudah memutuskan untuk angkat kaki dari tempat itu. Tapi sungguh, biar saya dikatakan menyerah, saya sungguh tak mampu lagi menanggung trauma pembantaian keluarga saya dimasa lalu. Saya lihat dan dengar kabar dari gambar di tivi, foto, koran dan isu teman di kota, sampai sekarang Gobel masih bertahan di hutan sebelah timur sana… (semua yang diceritakan adalah fiktif, 1992-1998) (Cerpen ini pernah dimuat dalam kumpulan cerpen Tak Ada Pilihan Lain, penerbit Sumbu Yogyakarta.)