Ternyata Begini Rasanya Oleh Amalia S. Penulis adalah mahasiswa ITS Aku sering terheran-heran melihat Santi yang bisa berjam-jam ngobrol di telepon dengan cowoknya. Entah apa saja yang mereka bicarakan. Padahal mereka bertemu setiap hari di sekolah. Dari mana stok bahan pembicaraan yang seolah tak ada habisnya itu? Kadang kudengar Santi tertawa marah, bermanja-manja. Namun semuanya selalu berakhir dengan cium jauh yang bikin·aaargh! Yang pasti, kuping Santi jadi merah setelah gagang telepon itu dibebastugaskan. Aku sungguh heran dengan yang seperti itu. Seperti orang kurang kerjaan saja. Lain dengan Hera yang sedikit-sedikit mengeluh kangen. Padahal baru saja bertemu dengan pacarnya, anak kelas tiga IPA. Hera juga sering melamun di kelas. Tidak jarang juga aku melihatnya tersenyum-senyum sendiri. Saat kutanya kenapa, dengan berbinar-binar dia bilang dia teringat Soni, sang kakak kelas. Ya ampun, gejala apa ini? Lain lagi dengan Riris yang berpacaran jarak jauh. Jatah uang untuk SLJJ sudah paten untuknya. Tiga ratus ribu sebulan. Ditambah lagi e-mail setiap minggu dan kadang janjian chatting plus SMS yang tak terhitung lagi banyaknya. Komentarku hanya satu, buang-buang uang. Yah, untung ortunya tajir dan untung juga teknologi informasi sudah secanggih sekarang. Kalau tidak, apa jadinya dengan mereka? Ah, cinta. Sebesar itukah harga cinta? Mengapa orang-orang yang terlibat cinta jadi sering tidak masuk akal? *** Aku baru mengenalnya. Ternyata dia teman bicara yang menyenangkan. Dia membuatku tertawa. Dia mengatakan aku manis saat mengajakku joging pagi-pagi di hari Minggu. Padahal waktu itu aku baru bangun tidur. Dia mengajariku matematika. Hi-hi-hi, berkat dia, ulangan-ulangan jadi tidak separah dulu. Pokoknya, dia guru matematika terbaik yang kupunya. Main gitar? Jangan ditanya! Dia bisa memainkan hampir semua lagu favoritku. Main basket dia juga tak canggung. Bersama dia, aku selalu merasa nyaman. Dia membuatku percaya bahwa yang paling menyenangkan adalah menjadi diri sendiri. Tanpa harus berusaha menjadi seperti ini atau itu. "Cukup menjadi dirimu sendiri." Begitu ucapnya waktu itu. Dia sempurna. Atau ini cuma perasaanku? "Kamu jatuh cinta Putri!" Santi berseru senang. Apa? Tidak ah. Aku belum ingin terkena virus aneh itu. "Saat kamu jatuh cinta sama seseorang, dia memang terlihat sempurna." Tapi, dia memang sempurna! "Putri, nobody’s perfect. Begitu kamu mengenalnya lebih jauh, sedikit demi sedikit kamu akan melihat kekurangannya. Tapi itu nggak masalah. Semuanya tetap menyenangkan. Karena dia juga akan menerima kekuranganmu. Cinta itu asyik kan?" Hera mulai berpromosi. Ah, mereka sok tahu sekali. Kekurangan apa? Semuanya tetap menyenangkan. Kalau terpaksa harus mencari kekurangannya, kupikir cuma ada satu, dia terlalu sempurna. "Kamu berdebar waktu ada di dekatnya?" Aku mengangguk. "Kamu nggak bisa berhenti tersenyum setelah ngobrol dan bercanda sama dia?" Lagi-lagi aku mengangguk. Aduh, interogasi apa nih? "Kamu mulai menunggu-nunggu saat bertemu dia lagi?" Aku tersenyum. Mengiyakan. "Kamu merasa ada kupu-kupu menari-nari di sekitarmu saat melihat dia, mendengar suaranya, atau saat dia tersenyum padamu?" Dan, meledaklah tawaku. "Hei, aku nggak senorak itu!" Santi dan Hera cemberut. "Memang begitulah kalau sedang jatuh cinta Put." Aku terdiam. Benarkah aku sedang jatuh cinta? Apakah aku akan melakukan apa yang dilakukan Santi, Hera, dan ribuan orang lain yang jatuh cinta? "Aku selalu ingin bersama dia karena ngobrol dan bercanda dengannya sangat menyenangkan. Aku berdebar waktu kami berpapasan dan dia tersenyum padaku. Tapi siapa yang nggak berdebar saat orang secakep dia tersenyum pada kita?" Santi dan Hera tersenyum. "Tapi nggak pernah ada kupu-kupu menari di sekelilingku." "Itu perumpamaan!" protes mereka. Aku tertawa. "Tapi hatiku rasanya ingin meledak saking senangnya. Aku nggak pernah berhenti tersenyum setelah bertemu dia." Mataku menerawang langit-langit kamar Santi. "Nggak salah lagi Putri." Hera jadi serius. "Kamu sedang jatuh cinta," sambung Santi kompak. *** Malam ini langit kelihatan lebih cantik dari biasanya. Mungkin karena dia ada di hadapanku. Setangkai mawar masih ada di tangannya yang terulur padaku. Aku ingin mengatakan padanya betapa sesaknya dadaku saat itu. Penuh dengan perasaan aneh yang membuatku ingin menghentikan waktu dan menikmatinya selama yang kumau. Tanganku sedikit gemetar saat kuraih bunga itu. Dia tersenyum saja. "Kita pacaran?" Aku menatapnya sejenak. Matanya mendadak menjadi begitu menusuk hingga aku cepat-cepat mengalihkan pandanganku. Hanya dengan rasa, tanpa memikirkan apa-apa, hatiku mendorong bibir ini mengatakan oke. Dan seketika bumi ini terasa begitu sejuk dan berwarna-warni. Penuh dengan alunan musik indah. Tubuhku seolah diselubungi malaikat-malaikat cantik yang meniupkan aroma segar dan memberiku sepasang sayap. Aku terbang! *** Ini baru dua jam setelah dia pulang. Tapi rasanya aku sudah tidak sabar bertemu dengannya lagi atau ngobrol lewat telepon. Menghabiskan waktu dengannya. Santi dan Hera benar. Ternyata·egini rasanya jatuh cinta.