Tarian Mata Air Cerpen S Prasetyo Utomo TAK ada panggung. Yang ada lengkung langit. Hamparan tanah kering. Terbuka. Kebun mawar di sekelilingnya. Dan Yu Nah terus bergerak menari. Berpasang-pasang mata menangkap gerak tubuhnya. Takjub. Tuan Charles, manajer hotel, tersenyum-senyum mengikuti gerakan tubuhnya dengan mata terjilati berahi. Turis-turis yang duduk di celah-celah orang kebanyakan Dusun Warangan, berkali-kali membidikkan kameranya. Di antara hentakan gendang dan suara gamelan, Manto -kurus dan terbungkuk punggungnya, dengan yakun mau meloncat dari leher- berseru jenaka, "Ayo, Nah! Ayo, Nah!" Jakunnya berloncatan di leher, naik-turun, naik-turun; timbul-tenggelam, timbul-tenggelam. Lehernya berayun-ayun. Yu Nah mulai merasakan dirembesi keringat. Mengalir di celah-celah lekuk tubuh. Sesekali kakinya yang telanjang menghentak-hentak bumi: hentakan telapak kaki penjelmaan Dewi Kesuburan, yang diharap menghidupkan kembali mata air Dusun Warangan yang mengering. Telah berabad-abad mata air itu memancar di sendang Dusun Warangan, menghidupi orang-orang sekitarnya. Tapi saat Bupati Wiguno membangun kolam renang, taman, dan perkebunan buah, sungguh ajaib, seketika mata air itu kering. Bupati Wiguno yang kehabisan akal, menemui Manto, tetua Dusun Warangan. Dengan dahi berkerut, dan nada sangat ringan, Manto menukas, "Gampang. Adakan pergelaran tarian Dewi Kesuburan! Yu Nah orangnya! Pak Bupati dan Yu Nah menari bersama!" *** MASIH berkabut, fajar beraroma bunga mawar yang ditunggu Yu Nah mengabur dalam pandangnya. Ia sulit memejamkan mata semalam. Sesekali memang terlelap. Tapi segera tergeragap bangun, memikirkan pergelaran tari Dewi Kesuburan. Dan, aneh, Bupati Wiguno, lelaki kurus yang menua itu, turut pula dalam pergelaran tarinya. Belum pernah ia menari bersama seorang bupati. Ia biasa menari bersama-sama lelaki Dusun Warangan, yang pada saat puncak tarian, keringat mereka mengucurkan bau lumpur sawah dan tanah lereng gunung. Ia tak mau keringat yang mengucur dari tubuhnya merembeskan bau lumpur sawah dan tanah lereng gunung. Ia ingin keringatnya mengucurkan bau mawar yang memabukkan bupati tua itu. Sungguh tak ingin Yu Nah menari bersama Tuan Charles, lelaki bule itu, meski ia pernah berdua di kamar hotel yang mewah. Ia merasa seperti ikan dalam akuarium. Tak leluasa berenang. Tapi dengan Bupati Wiguno, di rumah berarsitektur desa -bekas gubuk Yu Nah dulu- perempuan itu merasa menjelma diri sebagai bidadari. Ia berpijak di rumahnya sendiri, ruang-ruang yang membuatnya seperti di kahyangan. Ia bisa menembang, menari, memijit lelaki tua itu hingga terkantuk-kantuk, terlelap di kamar yang beraroma mawar, dan dingin udara yang murni. Kadang ia bisa iba, melihat Bupati Wiguno. Letih. Dan ingin bermanja. Lelaki tua itu, pada Yu Nah, melepas kedoknya selapis-selapis -dan menjadi dirinya sendiri. Kadang ia harus memeluk rapat Bupati Wiguno, yang menangis, "Aku sudah mau pensiun, sebentar lagi. Apa kau masih mau menemaniku? Aku lelah menduda, hidup dengan anak-anak yang melulu meminta harta." Yu Nah memandangi lelaki tua itu dengan mata yang bertanya-tanya. "Kita tak usah kawin, Nah. Hidup begini lebih nyaman." Yu Nah mengangguk. Tersenyum. "Kau mau bersamaku, meski tak lagi jadi bupati?" Mengangguk, tersenyum, Yu Nah menjulurkan tangan, merengkuh kepala lelaki tua itu, direbahkan ke dadanya. Ranum dan mekar, hangat dan penuh penerimaan. Keesokan paginya, masih berkabut, biasanya lelaki tua itu meninggalkan rumah Yu Nah, bersama sopirnya, dengan wajah berseri-seri, menyusuri lereng gunung, turun ke kota. Ada sesuatu yang aneh. Yu Nah merasa bahagia, bila ia melepas lelaki tua itu dengan wajahnya yang bersinar-sinar. Ia merasa telah membebaskan lelaki tua itu dari himpitan beban, dari lapis-lapis debu yang mengotori wajahnya, dari lumpur-lumpur yang melumuri sekujur tubuhnya. Tak dipikirkannya lagi omongan orang mengenai dirinya: perempuan gatal, penghisap harta, penebar jampi-jampi. Ia tak mau melihat cibiran bibir mereka. Ia senang melihat wajah lelaki tua itu kembali jernih, kembali bening, kembali bercahaya. Ketika dilihatnya lelaki tua itu memasuki rumah dengan wajah keruh, kehilangan cahaya, Yu Nah menanti, apa yang bakal dikatakannya. Lelaki tua itu tidak mengatakan apa pun. Tapi pada sore hari, ia mengajak Yu Nah berjalan-jalan, di antara kebun mawar, burung-burung bangau melintas rendah, dan petani memanggul sayuran pulang ke rumah. Berhenti di taman yang baru selesai dibuat, lelaki tua itu terpukau di tepi sendang. Ia tersentak. Sendang itu kering. Tanpa mata air. Telah berabad-abad, sendang itu memancarkan air bening, tak pernah kering. Kenapa kali ini mati? "Tiba-tiba saja mata air ini kering. Proyekku akan gagal. Kolam renang dan taman ini tak ada airnya." "Tanyakan, bagaimana mengatasi ini pada Manto." "Apa dia tahu sebabnya?" "Kita taati saja, apa yang dikatakannya!" *** DAN Yu Nah pun menari, memerankan Dewi Kesuburan, di antara para lelaki yang mengelilinginya dalam tarian yang bergerak cepat, seirama dengan hentakan gendang dan gamelan. Bupati Wiguno, dengan pakaian penari, berpasangan dengannya. Mula-mula gerakannya kaku. Tapi setelah Manto memercikkan air kembang setaman yang diembus mantra ke kepala semua penari, lelaki tua itu seperti disusupi roh dewa, menari dengan keperkasaan, mengikuti gerak Yu Nah yang lembut, menjelmakan Dewi Kesuburan di muka bumi. Senja telah mulai surut. Kabut kian pekat di atas Dusun Waranga. Orang-orang desa masih berbaur dengan turis asing. Tuan Charles yang bermata biru memandangi Bupati Wiguno dan Yu Nah menari. Perempuan muda itu mulai mengenali kembali dirinya, setelah gamelan berhenti ditabuh. Dari keringatnya, aneh sekali, mengapa seharum mawar? Dengan kaki telanjang, masih berbusana penari, Yu Nah menggandeng Bupati Wiguno turun ke sendang yang kini telah mengering. Yu Nah tak ingin membangkitkan rasa cemburu orang, atau rasa muak. Ia hanya merasa, dengan menggandeng tangan Bupati Wiguno, hatinya merasa tenteram. Ia tak mengenal siapa ayahnya semenjak bayi. Memang pernah Emak menyebut, ayahnya pergi, entah ke mana, dan tak kembali. Tapi ia merasa tak puas. Baginya kini Bupati Wiguno menjadi penjelmaan kekasih dan ayah sekaligus. Membawa tampah berisi sesaji, ayam, nasi yang menggunung, sayuran di sekelilingnya, Yu Nah menguatkan hatinya sendiri. Kali ini ia merasa berbuat sesuatu bukan untuk dirinya sendiri, bukan untuk Bupati Wiguno. Tapi ia melakukan sesuatu untuk Dusun Warangan: mengembalikan sendang yang telah berabad-abad memancarkan air, dan kini mengering. Pada waktu Yu Nah meletakkan tampah sesaji itu, gerimis turun, menerobos celah-celah kabut. Seorang tetua adat memimpin doa, dengan wajah tua yang bergetar. Tak seorang pun beranjak, meski gerimis dan kabut kian pekat, mengendap di atas sendang yang penuh endapan lumpur kering, retak-retak. Orang-orang menggali lumpur, liat, dan sendang itu menampakkan akar mata air di beberapa sudut. Bupati Wiguno dan Yu Nah meninggalkan sendang. Manto menguntit mereka. Di perempatan, sebelum berpisah, Manto sempat berpesan, "Jagan lupa, nanti malam saatnya beradu dengan Dewi Kesuburan." Dada Yu Nah berdesir. Nanti malam ia akan menerima seutuh penuh Bupati Wiguno dalam kamar yang bertabur bunga mawar. Di rumahnya -satu-satunya yang terbaik di Dusun Warangan- Yu Nah mandi keramas. Mengipasi rambutnya yang basah, menaburkan kembang mawar di atas sprai, duduk di tepi ranjang dengan penantian yang berdebar-debar. Dalam hujan, desau angin, dan gelegar halilintar, menyempurnakan degup dada Yu Nah, saat Bupati Wiguno membuka pintu kamar dan menutupnya kembali. *** TAK ada lagi deras hujan. Langit teduh sesudah topan. Yu Nah tersenyum-senyum, membenahi diri, dan menghirup kesegaran embun pagi. Bupati Wiguno tergolek, memejamkan mata, terlihat damai dalam temaram kamar. Yu Nah membenahi rambutnya yang kusut, berpakaian, dan mengenangkan kedahsyatan Bupati Wiguno semalam: keperkasaan dan kelembutan, kegairahan dan keromantisan, ketangguhan dan kelambanan. Belum pernah ia menikmati suasana sedahsyat ini dalam hari-hari bersama Bupati Wiguno. Rasanya ia menjadi malu. Terserak bunga-bunga mawar dan sprai yang tersingkap, teracak-acak, ranjang yang berantakan, dan lelaki tua itu sangat damai -wajahnya menyatu dengan ketenteraman kabut pagi. Menyelinap dari pintu depan, Yu Nah merasakan desir dada yang lembut. Ia menghambur dalam kabut pekat lereng gunung beraroma mawar, menuruni jalan setapak ke sendang, telanjang kaki, dengan telapak yang lengket tanah lempung kian menebal. Sesekali ia terpeleset, hilang keseimbangan, dan lenyap dalam kabut. Tapi segera berdiri tegak, ia melangkah setapak-setapak; menuruni jalan ke sendang, ingin membuktikan adakah Manto benar, sendang itu tak lagi kering? Air bening memenuhi sendang, mengalir ke kolam renang, mengucur ke parit, turun ke rumah dan kebun mawar di bawah taman. Takjub Yu Nah menatapinya. Ia berjongkok. Meraup air dingin segar ke dalam wajahnya, membasahi rambut dan sekujur tubuhnya. Ingin diceburkan tubuhnya dalam sendang yang berabad-abad memancar dengan semburan dari mata air bergelembung-gelembung. Teriakan-teriakan Yu Nah yang tertahan, celotehan yang meletup-letup, suara gemericik air mengalir, kepak sayap burung melintas di atasnya, dan aroma bunga mawar mengembalikan kesempurnaan alam seperti sediakala, yang memendam rahasia baru. Tubuhnya menggeletar bukan lantaran dingin kabut. Ia mendapat kejutan kebahagiaan. Ingin ia menari di sendang, seperti bermain di tanah lapang di sekitar kebun mawar. Teringat ia pada Bupati Wiguno. Dengan pakaian, tubuh, rambut yang basah, Yu Nah berlari-lari di antara jalan setapak yang licin, sehabis hujan semalam. Sesekali ia terpeleset. Ia ingin mengabarkan pada lelaki tua itu, sendang kembali melimpah airnya. Bening. Tentu lelaki tua itu akan terbangun dengan takjub, tertawa terbahak-bahak, dan dalam mata berair, tak mempercayai keajaiban itu. Telapak kaki Yu Nah yang berlumur lumpur membekas di lantai rumah yang berkilau-kilau. Bupati Wiguno masih berbaring, diam, dan lelap. Lalat-lalat mendenging di atas mulutnya yang menganga. Benarkah tubuh itu sudah kehilangan nadi? Yu Nah mendekatinya. Gemetar. Mengguncang-guncangnya. Dingin. Kaku. Tidakkah lelaki tua itu akan meluapkan kebahagiaan di tepi sendang yang memancarkan air bening? Tidakkah ia ingin kembali menari di tanah lapang terbuka, dengan kebun mawar di sekelilingnya?