Tanda Tangan Hitam Oleh M. Navi Irvan S. Suara azan terdengar menerobos tembok penjara yang kusam dalam heningnya pagi yang menyejukkan. Menyapu cakrawala jiawa Bimbim. Bergerutuk gemuruh, dingin dan gemetaran, menggigil disergap rahmat kedamaian yang tak terkira. Bimbim menggigil lagi. Bimbim bersiap memenuhi panggilan Sang Maha Pencipta. Seperti kebiasaannya selama dia mendekam di hotel prodeo. Bimbim selalu membilas wajahnya dengan sentuhan air wudhu yang terlihat memancarkan cahaya bening. Dia bersegera menunaikan salah sunah. Memohonkan taubat atas perbuatan selama dia di dunia. Tak terasa air mata meleleh membasahi wajahnya. Bimbim duduk bersila, bertafakur. Seperti waktu kemarin-kemarin. Tiba-tiba sejarah hidup itu seperti anak panah yang lepas dari busurnya. Melesat menghujam, menukik ulu batinnya. Berdarah dan berdarah lagi, menelanjangi kekhusyukannya. Kadang perjalanan hidup seseorang seperti nasib yang sulit dimengerti dan diajak mompromi. Bimbim kembali mengenang. Bermula dari satuan keluarga yang memayungi, siapa sangka ayahandanya terkasih dan penuh tanggung jawab itu harus berurusan dengan negara dan pemerintah. Ayahnya dituduh melakukan korups besar-besaran di departemennya. Wajah itu memelas, mengiba ketika digelandang ke kantor polisi. Gelap. Selang beberapa hari kemudian, garis takdir berbicara lagi. Tiga hari setelah kejadian, ibundanya pergi meninggalkannya untuk selama-lamanya. Penyakit jantung yang diderita selama ini kambuh. Menghapus secuil cinta kasih dan harapan. Gelap. Serasa dunia begitu gulita. Pelan tapi pasti arus kehidupan terus berjalan. Tanpa harus disadari dan dipahami, Bimbim seperti harus menanggung hukum sebab akibat. Dia merasa dipinggirkan, teracuh hukum yang dibuat masyarakat, teman, ataupun saudara. Dikucilkan, terkunci rapat oleh hukum manusia itu sendiri. Betapa naif hidup ini? Betapa kerdil manusia? Tanpa disadari, mereka beramai-ramai ikut melahirkan corengan jelaga yang tertulis di kening Bimbim. Ah, betapa kejamnya manusia. Batin Bimbim sesak menahan amarah. Jiwanya ingin memberontak. Tetapi kepada siapa? Kepada nasib dan takdirkah? Bimbim lunglai digendong rasa keputusasaan. Hidupnya tanpa guna dan tanpa masa depan. Tulisan takdir berbicara lagi (atau terlahir dari perbuatan sendiri). Di antara kepenatan jiwa, Bimbim menemukan dunianya kembali. Di sana ada cinta kasih. Di sana ada perhatian. Di sana ada teman sejati. Bimbimpun terdampar di dunia narkoba. Dunia yang sanggup mengisap seluruh duka nestapanya. Semua diperkenalkan. Mencoba untuk mencicipi rasanya, lalu memakainya, nikmat sekali. Jadilah Bimbim seorang pemakai tetap, lalu kecanduan, overdosis akut, sampai menggiringnya jadi seorang bede. Ya, Bimbim lupa diri, lupa akan larangan dan dosa. Bimbim hanyut, larut ditelan arus kehidupan. Menyeretnya jauh dari dunia kewajaran. Bah! Bimbim menantang hidup yang keras ini. Bergumul dengan para preman metropolitan merangkul bahaya, bersatu untuk menyiasati hukum dan undang-undang. Bimbim dikenal di mana-mana. Dia sukses menggenggam dunia. Bukankah dunia milik orang-orang yang berani? Suatu malam, Bimbim bermimpi. Dalam mimpinya, dia melihat sosok ibunya bertelanjang. Menggigil kedinginan di tengah panasnya gurun pasir. Bimbim terhenyak, lalu berjalan menghampirinya. Ajaib, seketika sosok ibunya menghilang. Esoknya Bimbim begitu gelisah. Dia masih memikirkan arti mimpinya, Entah, tidak seperti biasanya. Tiba-tiba jantungnya degup jantungnya kencang. Seperti ada sesuatu yang akan terjadi. Bersamaan dengan itu, pekikan suara telepon genggam mengagetkannya. "Halo Bimbim? Belum berangkat?" tanya suara di seberang sana. "Sebentar lagi," jawab Bimbim setengah hati. "Seseorang sedang menunggumu di tempat biasa. Hati-hati ya," akhir suara itu. "Baik. Aku berangkat sekarang juga," tutup Bimbim. Brak! Tiba-tiba pintu rumahnya didobrak. Seketika sekelebat bayangan orang memasuki ruangan rumahnya. Polisi, batin Bimbim gusar. Secepat kilat Bimbim berlari kencang meberobos ke luar rumah. Tak dihiraukannya teriakan peringatan. Bimbi terus berlari dan dor… dor! Suara pistol menyalak. Bahu Bimbim terkena tembakan. Tapi Bimbim berusaha kuat untuk menahannya. Dalam jarak satu meter, motornya sedang menunggu. Dihidupkannya mesin motornya, lalu dipacunya dengan kencang. Bersamaan dengan rentetan suara pistol yang menyalak, tubuh Bimbim seperti hilang ditelan angin. *** Di pinggiran kota, tubuh itu lunglai lemah di pembaringan. Orang itu adalah Bimbim. Sudah dua hari dia pingsan. Dan beruntung, seseorang telah menyelamatkan jiwanya. "Di mana aku?" Bimbim siuman. Di hadapannya tampak seseorang laki paro baya yang berwajah sejuk sedang berdiri di sisi pembaringannya. "Beristirahatlah Nak. Kamu begitu lelah memikul beban. Wajahmu begitu letih. Kalau sudah sembuh benar, Bapak ingin mendengar ceritamu," kata beliau bijaksana. Selang beberapa hari, Bimbim telah menemukan jawabannya. "Bertobatlah Nak. Tuhan masih memperhatikanmu. Tuhan menyayangimu, memperingatkanmu dengan kejadian yang kamu alami selama ini. Kamu menyayangi ibumu? Bersembahyanglah, anak yang soleh adalah anak yang mendoakan arwah ibunya. Di alam sana ibumu menangis melihat sepak terjangmu." Ya, seperti hujan turun begitu lebatnya, air mata itu tumpah seketika. Seperti anak kecil Bimbim menangis sesenggukan di pangkuan beliau. Ya, setelah sembuh, sepulang dari rumah laki-laki paro baya (belakangan baru diketahui beliau adalah seorang kyai), Bimbim mempunyai tekad untuk sebuah rencana yang harus dijalaninya. Bimbim datangi kantor polisi. Dia menyerahkan bungkusan tas plastik hitam. Ya, Bimbim menyerahkan diri. Esoknya, media massa mencetak beritanya. Bede kakap menyerahkan diri dengan barang bukti, tiga kilo sabu-abu dan ribuan ekstasi. Cahaya pagi semburat menyinari ruangan masjid ketika tiba-tiba pundak Bimbim ditepuk seseorang dari belakang. "Kamu tidak masuk ke selmu?" tanya sipir itu membuyarkan kenangannya. Ah, betapa mahalnya sebuah pengalaman hidup. M. Navi Irvan S. Penulis adalah mahasiswa Univ. Islam Kadiri