Tak Perlu Kata-kata, Oleh: Donatus A. Nugroho & Irene Santika Vidiadari MINGGU ujian telah berakhir. Hari ini, ujian Fisika adalah ujian penutup bagi kelas IPA 3. Segala rencana penghilang stres sudah dipersiapkan, tak terkecuali aku dan teman-teman genk-ku. Aku, Asti, Maya, dan Keyla sudah menanti-nanti hari ini sejak seminggu yang lalu. Kami sudah berencana untuk pergi ke mal setelah pulang sekolah dan pergi menginap di rumah Keyla, menemaninya yang sendirian ditinggal orang tuanya ke luar kota. Aku sendiri sudah mendapat SIM alias Surat Ijin Mami untuk semua itu. Pulang sekolah adalah saat yang kami tunggu-tunggu sejak tadi. Kami ke mal penuh suka cita. Sesampainya di mal, pertama-tama kami pergi ke toko pakaian untuk menemani Maya yang hobinya shopping, kemudian ke toko kosmetik menemani Keyla yang suka berdandan, lalu ke toko olahraga dan terakhir ke toko buku. Setelah selesai dengan belanjaan masing-masing, kami pergi menuju food court untuk makan siang. Maklum perut kami sudah menyanyikan lagu keroncong. Belum sampai tujuan, ada sesuatu yang menyangkut di tali tasku. Tanpa menoleh aku segera menyadari ada seorang cowok menahan langkahku. Ia langsung melepas gelang yang melilit di tali tasku. Dia menoleh dan berkata, "Maaf, gelang saya nyangkut di tas kamu." Setelah gelang itu terlepas dari tasku, dia mengangkat wajahnya. "Cowok kok miara gelang!" Ejekan yang sudah di ambang mulutku tertelan kembali demi melihat tampang cowok itu. Seketika rasa laparku hilang karena tersengat setrum kagum yang segera merambat di seluruh pelosok hati. Dia berdiri, dan baru kusadari, tingginya sekitar sepuluh senti di atasku. Pasti mahasiswa, tebakku. Dengan keberanian yang sedikit kupaksakan, akhirnya aku berujar, "Lain kali hati-hati dong.…" Menggantikan tanya, "Siapa namamu?" Cowok itu tersenyum santun. "Aku membeli gelang ini untuk seseorang. Namaku Rendi. Kamu?" Kuharap dia tidak sungguh-sungguh bisa membaca isi hatiku. Tapi aku benar-benar bersyukur dalam hati. "Rene," ujarku pendek, tak ingin menyia-nyiakan kesempatan. Aku menoleh ke arah tiga temanku yang mulai ribut saling sikut. Sebuah isyarat agar aku "menyodorkan" mereka kepada kenalan baruku itu. "Oh ya, Rendi, ini teman-temanku," kataku sambil mengenalkan Asti, Keyla dan Maya. Rendi mendadak bersuit agak keras. Dalam sekejap mata ia didatangi tiga cowok keren-keren. Ia pun segera memperkenalkan tiga temannya. Mereka adalah Ray, Nico, dan Doni. Karena Rendi dan teman-temannya juga hendak makan di tempat yang sama, kami pun mencari meja yang cukup besar agar bisa semeja. Sambil makan, aku dan Rendi memperkenalkan diri masing-masing. Dalam hati aku juga sempat merasa aneh dengan sikap Keyla, Asti, dan Maya. Mereka diam, menghabiskan makanannya sambil mendengarkan "siaran radio" antara aku dan Rendi. Begitu juga Ray, Doni, dan Nico. Mereka berbisik-bisik seperti rapat darurat sambil sesekali memandang teman-temanku lalu tersenyum "Rene, temenin aku ke toilet dong. Sebentaaar aja," kata Keyla sebelum piringnya bersih. "Ada apa sih, La?" tanyaku tak sabar, setelah kami sampai di toilet. "Rene, ajak Rendi pergi dong, sebentar aja. Liat buku atau apa terserah…" katanya dengan mimik dibuat memelas. "Memangnya ada apa sih, La?" kataku dengan bingungnya. "Ren…, aku, Asti, dan Maya mau menjalankan misi pedekate sama tiga cowok yang keren-keren itu." O ooo, begitu rupanya. Aku baru mengerti. Sekeluarnya dari toilet, aku dengan halus mengajak Rendi ke toko kaset. Di eskalator, kuceritakan tujuanku mengajak Rendi pergi dari kafè. Di atas esklator Rendi tertawa. "Ha ha ha, aku yakin ketiga temanku itu juga langsung naksir teman-temanmu. Tadi, sebenarnya mereka memintaku untuk mengajakmu pergi agar mereka bisa pedekate, eh tahunya kamu mengajak pergi duluan. Klop deh. Tapi nggak kebayang, siapa memilih siapa. Pasti seru, ya?" katanya panjang lebar. Karena sudah cukup sore, akhirnya kami pun berpisah. Rendi dan aku saling bertukar nomor ponsel. Di dalam taksi, Asti, Maya, dan Keyla saling bergantian "siaran", sedangkan aku hanya mendengarkan sambil tersenyum-senyum dengan hati yang dilanda asmara. DI rumah Keyla, "siaran radio" terus berlanjut. Mereka masih menceritakan pujaan hati masing-masing. Keyla menceritakan Doni yang berbaik hati mau membawakan belanjaannya, Asti menceritakan Ray yang selalu tersenyum apabila berbicara dengannya, juga Maya yang bercerita tentang Nico yang senantiasa ikut berkomentar tentang baju yang dipilihnya. Aku masih takjub. Bagaimana tiga pasangan begitu cepat tercipta? Tanpa rebutan, tanpa persaingan, tanpa… "Rene, gimana kamu dengan Rendi?" kata Maya yang baru sadar bahwa sedari tadi aku hanya terdiam mendengarkan mereka. "Apanya yang bagaimana?" Aku balik bertanya. "Ah, kamu ini seperti kambing congek aja. Itu lho, tadi kamu kan sempet jalan sama Rendi. Gimana kelanjutannya?" katanya dengan nada sedikit kesal karena dianggapnya aku telmi. "O, itu…. Nggak ada yang spesial sih, dia sepertinya hanya akan menjadi teman biasa. Kami ngobrol sambil milih-milih kaset. Dia demen musik. Maniak! Doi kemarin nonton Limpbizkit di Singapore. Keren, kan?" "Wow! Jadi, kamu dan dia nggak ada GGC alias getar-getar cinta nih?!" Asti berkata penuh mimik keheranan. "Mmm, kalau aku sih… ada. Dikit. Tapi nggak tahulah kalo si Rendi," jawabku singkat. TIDAK terasa kini sudah hampir setengah tahun usia pertemanan kami. Maksudku, aku dan Rendi. Kami sering janjian untuk melewati malam minggu bersama, atau pergi membeli kaset bersama. Diary-ku juga makin banyak terisi nama Rendi, setelah hampir setahunan kosong dengan nama cowok. Sampai pada suatu hari Rendi mengirim SMS yang isinya: Hai Rene, aku kasian deh sama si Ray, dia nggak berani nembak si Asti, gimana kalau kita ikut nge-comblangin mereka di malam Valentine nanti? Tapi, jangan beri tahu temanmu yang lain ya… Kontan saja aku setuju karena aku tahu betul bahwa Asti setali tiga uang denganku, paling gengsi kalau nembak cowok. Ia adalah tipe cewek tradisional yang menabukan cewek lebih agresif. Dan aku? Aku gemas bukan main. Geregetan. Kau tahu kenapa? Aku sendiri sebenarnya tengah menunggu! Atau benarkah dugaanku bahwa rasa yang kupendam hanya akan bertepuk sebelah tangan selamanya? Malam berikutnya, ada SMS lagi dari Rendi, dia juga mengajaku nge-comblangin Maya dan Nico, lalu juga Doni dan Keyla. Aku sangat setuju karena ini akan menjadi sejarah bagi kami karena mereka bertiga ditembak di hari yang sama, yaitu di hari Valentine, di mana hari itu dunia akan dilanda kasih sayang. MALAM Valentine yang amat kutunggu-tunggu. Dan strategi sudah dijalankan. Kami berenam datang ke Taman Kota, dan dengan taktik yang cukup pelik, mereka, atas inisiatif Rendi juga, berhasil kupencar berpasang-pasang. Ray sama Asti, Nico sama Maya, dan Doni sama Keyla. Saat jam enam sore, aku berusaha agar Ray punya waktu untuk nembak Asti. Dari balik pohon yang cukup besar, aku dan Rendi mengintip detik-detik bersejarah bagi mereka berdua sambil sesekali menahan tawa. Seperti seorang ahli sulap, Ray mengeluarkan sekumtum mawar merah dari saku bajunya dan menyerahkannya pada Asti. Dan seperti yang kuduga, Asti menerimanya dengan suka cita. Lalu, setengah jam kemudian Maya dan Nico datang menghampiri kami sebagai pasangan yang sudah bergandengan tangan dengan mesra. Maya dan Nico akhirnya jadian. Hal yang sama juga terjadi pada pasangan Keyla dan Doni. Tak perlu kuceritakan detilnya. Pokoknya pakai acara sun pipi di balik patung kuda segala. Seru! Setelah mereka jadian, kami pergi menghadiri acara malam Valentine di Sporty Cafe yang sudah disulap menjadi arena pesta. Masih disarati pernak-pernik serba olahraga, tapi malam itu Sporty Cafe ditingkahi nuansa serba pink. Panggung untuk puncak acara digelari karpet warna merah jambu yang menimbulkan suasana amat romantis. Kami tak pernah menduga sebelumnya bahwa malam itu ada acara penobatan pasangan paling romantis. Dan tebakanku, Keyla dan Doni punya kans amat besar untuk memenangkan hadiah. Mereka amat serasi, sama-sama keren. Yang satu jelita, yang satunya menawan. Saat sudah hampir di puncak acara, Rendi menggaetku ke sudut yang relatif sepi. Aku berdebar tak karuan. Ketiga sahabatku sudah. Akankah kini tiba giliranku? Di sinikah sejarah kisah cintaku akan terukir indah? "Rene, ada yang ingin kuutarakan padamu…" Udara AC yang dingin terasa makin dingin. Terus terang aku gemetaran. "Tak perlu kamu ucapin, Ren… aku… aku…" "Tapi aku harus bicara, Rene…" Ucapan Rendi terpotong. Seorang cewek cantik dan lincah menghampiri kami yang nyaris tersembunyi di sudut. "Kalian dapat!" seru cewek berseragam itu. "Apaan?" tanyaku tolol. "Kalianlah pasangan paling serasi malam ini!" Aku dan Rendi saling pandang dengan mulut terbuka. Kami saling meneliti diri kami masing-masing. Lalu kembali saling memandang dengan heran. Ternyata aku dan Rendi mengenakan pakaian yang nyaris kembar. Setidaknya pilihan warnanya. Bukan pink, melainkan kuning. Rendi mengenakan kaus turtle neck yang amat mirip dengan yang kukenakan. Sama-sama berwarna kuning. Ia mengenakan celana jins putih bersih, sedangkan aku memadukan baju hangatku dengan overall yang berwarna putih pula. Kemiripan yang sama sekali tidak kami sengaja. Kami saling pandang dan kemudian sama-sama merasa agak malu ketika menyadari seluruh pandangan yang ada di ruangan itu terarah pada kami. Di sudut lain kulihat ketiga pasangan baru itu bertepuk tangan dan bersuit-suit jahil. Doni dan Keyla, yang kami jagokan, bertepuk tangan lebih lama dari yang lain. Cewek cantik MC Sporty Cafe itu mendorong kami agar naik ke panggung mini di tengah ruangan. Seorang MC cowok menodongkan mik dan melancarkan sederet pertanyaan kocak yang terpaksa kami jawab malu-malu. "Kapan jadian?" "Udah lama," jawabku. "Setengah tahunan, deh," Rendi menambahi, membuat hatiku makin berbunga-bunga. Kau tahu adegan berikutnya? Rendi dipaksa untuk mencium pipiku. Di depan hidung puluhan pasangan yang memadati kafe! Bayangkan! Lalu setelah itu apa? Happy ending? Tunggu, dulu! Dengarkan kisahku kemudian. Rendi kembali membawaku ke sudut semula, setelah kami menerima bingkisan mungil dari panitia. Aku tak peduli dengan apa isi bingkisan itu. Aku terlanjur bahagia dan tak ingin melepaskan genggaman tangan Rendi yang hangat. "Kau senang?" tanya Rendi. "Teramat sangat," jawabku jujur. Rendi terlihat gelisah, membuatku iba. Apakah kata-kata amat berarti baginya? Bagiku semua yang terjadi malam ini sudah cukup. "Tentang ucapanku yang tadi terpotong…" "Apa lagi, Ren?" "Kamu percaya bahwa cowok dan cewek bisa dekat sebagai sahabat aja?" Aku tersentak. Mendadak aku merasa amat ketakutan. "Maksudmu?" "Ada seorang gadis yang setia menungguku. Ia sekarang tengah menyelesaikan kuliah musiknya di Yogyakarta.… Bisakah kita tetap bersahabat seperti sekarang?" "Ya. Siapa nama gadis itu?" tanyaku dengan hati pilu. " Yuke," jawabnya pendek dan pelan. VALENTINE'S Day telah berlalu dan aku masih seperti dulu. Ketiga sahabatku masih selalu menemaniku. Kami jalan-jalan dan suka-suka berempat, atau terkadang terpaksa bertujuh dengan Nico, Doni dan Ray. Tapi aku selalu menolak jika harus berdelapan dengan Rendi. Rendi memang masih sering menelpon atau berkirim SMS, sekedar say hello atau menanyakan kabar. Tapi lebih dari itu tidak. Aku sendiri sungguh tak ingin. Rasanya terlalu sulit bagiku untuk tetap bisa bersahabat dengan seseorang yang aku cintai, sementara hatinya terlanjur diserahkan kepada orang lain. Namun kusadari, hidup memang begitu. Kenyataan tak selalu sama dengan harapan. (AnekaYess: Edisi ke-3 Tahun 2004, 31 Januari - 13 Februari 2004)