Seteru Cerpen Syekh A Sobri AKU menatap harimau itu dari ujung laras senapan yang kubidik tepat di keningnya. Harimau itu menatapku dengan mata yang tinggal satu. Aku hanya perlu menarik picu dengan jari telunjukku, dan dorr!, harimau itu akan terkapar, mengejan liar, dan mati. Harimau itu hanya perlu menekuk sedikit kedua kaki depan lalu menerkamku dengan auman yang memekakkan telinga, menggetarkan keberanianku, membuyarkan konsentrasiku, sehingga jari-jariku akan terasa kaku dan tak sanggup menarik picu, lalu terkaparlah aku dengan luka menganga di leher dan dada. Aku menunggu tanda dari harimau itu untuk menarik picu. Harimau itu menunggu tanda dariku untuk menerkam. Dari bola mata kami memancar nyala yang takkan pernah padam sebelum ada yang mati. Matahari telah tinggi. Sinarnya menerobos kerapatan daun dan ranting yang menaungi jalan kecil di ujung kampung ini. Bayangan harimau itu tepat berada di bawah tubuhnya. Bayanganku pun, pastilah, bantat di bawah selangkanganku. Ayolah, harimau, tunjukkan kegaranganmu. Tunjukkan sedikit isyarat kalau kau akan menerkam. Tidakkah kau ingin mengakhiri semua ini? Lihatlah leherku, begitu jenjang untuk kauterjang. Lihatlah dadaku, begitu lapang untuk kauterkam. Apa yang membuatmu ragu, bukankah ini yang kita tunggu? Aku bisa merasakan dendam yang mengeram dalam gerammu. Dalam pancaran mata yang setiap saat mengintaiku dari balik dedaunan, menunggu saat yang tepat untuk menerkam. Dalam auman yang terdengar bahkan dalam tidurku di malam-malam yang pengap, yang menyusup dalam mimpi, sehingga dadaku sesak, kepalaku gemeretak, dan aku tersentak dengan peluh yang meluap dari seluruh pori-poriku. Malam itu kauterkam anakku di dalam huma. Bengis. Anak itu masih kecil, umurnya belum genap lima tahun. Kau tanam taringmu di lehernya. Kaurobek dadanya dengan cakarmu. Semua kau lakukan di depan mataku dan di hadapan perempuan yang melahirkan anakku. Begitu gagah kau berdiri menatapku di bawah temaram pelita minyak tanah. Kau bius aku dengan aumanmu. Kaumelangkah mendekatiku dengan anakku yang tergantung di taringmu. Kau tahu badanku kaku, kakiku gemetar, dan kemih mengucur di selangkangan. Kau berdiri dekat sekali di depanku. Kauacungkan cakarmu, menaruhnya di dadaku, lalu mengguratkan perlahan seperti menikmati darah yang mengucur pelan-pelan seiring dengan melesaknya cakarmu yang berbisa. Aku melihat seringai di bibirmu. Aku melihat darah yang melepoti mulutmu. Aku melihat matamu, hanya ada satu! Aku ingat kau! Kau yang membunuh bapakku, menerkam punggungnya diam-diam. Terus kuingat kejadian itu. Peristiwa yang tidak sekadar terekam dalam kenangan, tapi mendekam seperti lintah yang tak pernah kembung mengisap darah. Waktu itu tengah hari. Aku dan bapak, seperti biasa, menebang pohon di dalam hutan. Mendadak, seperti setan, seekor harimau mengaum dan menerkam dari balik gerumbul semak. Harimau itu menyayat punggung bapak dengan cakarnya. Bapak terguling, kapak di tangannya terlempar, kemudian meloncat sambil mencabut parang. Bapak berdiri di depanku, melindungiku, yang sedari tadi hanya ternganga, dari penglihatan harimau itu. "Naik ke pohon, cepat!" perintah bapak tak terbantah. Kulihat dari ketinggian, perih menggaris bibir bapak. Mungkin matanya mulai gelap. Luka itu menganga, mengucurkan darah dengan derasnya. Bapak memasang kuda-kuda, kedua kakinya kuat terpancak. Tangan kiri dengan jari-jari setengah mencengkeram serupa cakar teracung ke depan, ke arah harimau itu. Ke mana pun harimau itu bergerak, cakar bapak pun bergerak serupa radar. Tangan kanannya yang menggenggam parang sejajar bahu siap menetak. Harimau itu menerkam. Bapak mengguling ke kanan lalu menerjang, menetakkan parang. Harimau itu mengangkat kaki depannya, parang itu pun lewat di bawahnya. Masih mengapung di udara, kaki kanan depan harimau itu mengibas. Saat itu juga bapak menyarangkan kakinya. Tangan bapak tersayat. Harimau itu terlempar. Bapak terjajar. Harimau itu kembali menerkam, taring-taringnya buas mengancam. Bapak menggeram, seperti harimau, seperti keluar dari relung terdalam. Parang itu ia tebaskan, mengincar kepala harimau itu. Harimau itu tak bisa menahan laju terkaman, ia hanya sempat menelengkan kepalanya. Mata kanannya tersayat parang. Darah pun muncrat, meler di sela-sela bulu-bulunya yang belang nan halus dan singgah di mulutnya. Harimau itu mengaum. Bapak mengaum. Entah dari mana asalnya auman itu. Kulihat bapak tak lagi berdiri, ia persis harimau yang bertumpu dengan empat kaki. Bapak menggeram-geram, menunjukkan gigi-giginya, serupa tingkah harimau murka. Parang itu tergeletak begitu saja di sela tangannya yang berganti jadi kaki. Bapak menerkam. Harimau itu menerkam. Mereka bergulat. Daun-daun yang berserakan terhampur melayang-layang. Semak belukar terkuak koyak-moyak. Aku melihat dua ekor harimau sedang bertarung. Cakar harimau itu mengoyak tubuh bapak. Cakar bapak merobek tubuh harimau itu. Taring harimau itu mencabik badan bapak. Taring bapak mencabik badan harimau itu. Bapak terjajar pada pohon yang kutenggeri. Harimau itu terkulai tiga depa di depannya. Kedua bola mata bapak tak pernah lepas dari harimau itu. Satu mata harimau itu terbuka seolah hendak menelan bapak, sementara mata satunya tertutup oleh darah yang mengental. Di kedua tubuh mereka luka-luka menguak. Bapak mengaum, menggetarkan hutan, lalu terkulai, matanya tertutup. Harimau itu mengaum, menyambut auman bapak, lalu berdiri dan melangkah pergi, lenyap di balip gerumbul semak. Kaulah harimau itu! *** SETELAH sekian lama, akhirnya kita bertemu muka, berhadap-hadapan tanpa ada kesempatan untuk membalikkan badan. Ayolah, manusia, tidakkah kau ingin meremukkan kepalaku. Lihatlah, kepala ini begitu lunak bagi pelurumu. Kau tinggal menarik picu. Tentulah kau telah lelah menopang senjata itu dengan lengan kanan mengambang sejajar bahu sedari pagi. Ayolah, beri aku sedikit tanda untuk menerkammu. Akan kita lihat siapa yang lebih cepat, desingan pelurumu atau kesiur cakarku. Apa yang membuatmu ragu, bukankah ini yang kita tunggu? Kau tentu masih ingat bagaimana aku menerkam bapakmu, mencabik anakmu, dan mengoyak istrimu. Seumur hidupmu kenangan itu akan terus mendekam dalam ingatanmu, seperti kutu yang tak pernah kembung mengisap darah. Tuntaskanlah semuanya saat ini juga! Ataukah ketakutan kini mengalir dalam darahmu? Darah yang diturunkan lelaki gagah yang tak memberi celah bagi hadirnya rasa takut. Kau lihat bekas sayatan parang di mataku, inilah kegagahan. Sekarang hanya tinggal kau dan aku yang tersisa. Kau tentu masih ingat bagaimana kau dan bapakmu menangkapi anak-anakku. Mereka masih sangat kecil, masih belum bisa mencari makan sendiri, bahkan makan pun masih harus kuajari. Kau jerat leher mereka dengan tali, kau bekap mulut mereka agar tak bisa memanggilku, kau ikat kaki-kaki mereka agar tidak bisa meronta, kau masukkan mereka ke dalam karung. Kejam. Tentulah mereka telah mati saat ini. Tidakkah kau merasakan bagaimana perasaan seorang ibu yang kehilangan anak-anaknya? Aku mengasihi anak-anakku. Kuajari mereka bagaimana cara menggeram, mengaum, menerkam, mengoyak, dan masih banyak lagi yang belum sempat kuajarkan. Kutemani mereka bermain, kugaruki punggung mereka, kujilati bulu-bulu di sekujur tubuh mereka, dan, saat malam tiba, kuselimuti tubuh-tubuh mungil itu dengan kehangatan tubuhku agar mereka dapat segera lelap. Ya, aku adalah seorang ibu yang seharusnya kau bunuh lebih dulu sebelum merampas anak-anaknya. Kalau saja saat ituaku tak menuruti keinginan untuk berendam dalam air sungai untuk mengusir gerah yang begitu menekan, tentulah kita telah berhadap-hadapan, dan tentulah kematian salah satu dari kita telah ditentukan. Nasib memiliki lompatannya sendiri. Aku telah menyembunyikan anak-anakku sesembunyi-sembunyinya. Kututupi mereka dengan ranting dan dedaunan, kusamarkan pula bau tubuh mereka dengan kotoran yang akan mengelabui binatang-binatang lain. Tapi, kalian bukan binatang, kalian manusia. Manusia binatang. *** AKU memang bodoh. Seharusnya kutebas lehermu malam itu. Seharusnya kuhalau ketakutanku. Aku begitu terpana dengan kehadiranmu yang begitu tiba-tiba. Begitu gagah di bawah temaram pelita minyak tanah. Setelah menggurat dadaku dengan kuku-kukumu yang runcing itu, kau melompat keluar huma dan lenyap di telan gelap. Anakku masih tergantung di mulutmu. Terhentak-hentak oleh ayunan kakimu. Kejam, anak itu masih kecil, umurnya belum genap lima tahun. Kesadaranku tersentak oleh teriakan istriku. Kuraih parang yang terselip di dinding huma. Aku melompat ke dalam kelam. Kukejar langkahmu, sambil berteriak, hanya dengan mengandalkan naluri. Aku tiba-tiba bisa mencium bau tubuhmu, juga bau tubuh anakku. Semakin jauh aku berlari, semakin jauh aku dari huma, semakin kuat bau tubuh anakku, semakin hilang bau tubuhmu. Kusibak semak. Sepotong tangan anakku. Kutenteng menuju bau yang lebih menusuk di depan sana. Kusibak semak. Sepotong kaki anakku. Kutenteng pula menuju bau lain yang lebih menusuk di depan sana. Kusibak semak. Tubuh anakku tanpa satu tangan dan tanpa satu kaki dengan leher yang hampir putus dan usus yang terburai terbujur kaku. Kupererat genggaman pada gagang parang. Kutetakkan pada sebatang pohon berulang-ulang. Tak! Bangsat! Tak! Keparat! Tak! Pukimak! Tak! Tak!... Serpihan-serpihan kayu berhamburan, sebagian menghamburi tubuhku. Tak! Tak!... Prak!! Bumm!! Pohon itu tumbang. Gumeretak dan debuman merobek malam. Binatang-binatang malam berhamburan. Seekor burung hantu terkejut sesaat lalu kembali melantunkan nada yang sumbang, kuk, kuk, kuk..., mengiringi tangisku yang tertahan, menggumpal kental di dada yang mendekap erat anakku. Kembali kesadaranku tersentak oleh teriakan istriku. Jerit ketakutan. Aku melompat menerobos belukar seperti kijang diburu harimau. Angin malam yang berhembus dari huma membawa bau tubuhmu yang busuk. Apa yang kau lakukan pada istriku? Belum puaskah kau umbar kebengisanmu? Begitu kujejakkan kakiku di pintu huma, kulihat istriku terbujur dengan darah yang meleler dari leher, dada, punggung, dan tangan. Temaram pelita minyak tanah yang tergantung bergoyang diembus angin, membuat gambaran kematian itu begitu mengerikan. Mata itu membelalak, bibir itu meringis menahan perih, rambut itu sebagaimana usus yang terburai, dan darah itu melepoti sekujur tubuh. Darah itu meleler di lantai huma panggung, menyusup di sela-sela papan, lalu jatuh menghantam tanah di bawahnya. Bisa kudengar darah yang pecah menghantam tanah, deras mengucur bagai pancuran wudhu, semakin lama semakin satu-satu. Sampai darah itu mengental. Dua nyawa dalam satu malam. Ayolah, kenapa kau hanya menyeringai. Aku tak gentar dengan taringmu. Seluruh hidupku telah kuhabiskan untuk memburumu. Tidakkah kau tahu bagaimana aku menangkapi teman-temanmu dan membunuh mereka satu per satu? Kupancing mereka dengan rusa gemuk, dan mereka pun mendatangi perangkapku dengan rakus. Kau pasti tahu apa yang telah kulakukan pada mereka, teman-temanmu itu. Kubawa mereka ke tengah kampung, kumasukkan dalam kerangkeng besar, dan kusuruh anak-anak melempari mereka. Setelah puas, kukatakan pada orang-orang yang berkerumun, "Inilah harimau yang sangat kuat. Siapa pun yang membunuhnya, maka kekuatan itu akan menjadi miliknya. Kekuatan harimau yang mampu membuat seseorang disegani dan ditakuti." Kau pasti tahu apa yang dilakukan orang-orang itu. Mereka membunuh harimau itu beramai-ramai. Mencincang tubuhnya sampai benar-benar lumat. *** ITU anakku. Salah satu harimau yang kauberikan pada orang-orang untuk dicincang itu adalah anakku. Anakku yang telah dewasa dan tak lagi mengakuiku sebagai ibu. Seorang ibu takkan pernah melupakan bau tubuh anaknya, sebagaimana seorang anak takkan pernah melupakan bau tubuh ibunya walau pengakuan tak diucapkan. Aku yang telah melahirkannya dan aku pula yang telah membesarkannya. Ikatan itu takkan pernah berubah sampai kapan pun. Dari balik gerumbul semak, mataku mencorong melihat kau yang menyuruh anak-anak melempar batu. Ia, anakku itu, menggeram, mengibaskan kuku-kukunya, dan menyarangkan taringnya pada kayu kerangkeng. Ia mengaum. Kau tertawa. Anak-anak itu tertawa. Orang-orang yang berkerumun tertawa. Kalian melihatnya bukan sebagai ancaman. Ia tak lebih dari seekor ayam yang lehernya dihadapkan pada sebilah sembilu. Kulihat kau menyemangati orang-orang itu untuk membunuhnya. Orang-orang itu merangsek, menusukkan tombak. Ia mencoba bertahan. Di sabet tombak-tombak itu sampai berderak. Digigitnya tombak-tombak itu sampai berkelatak. Tombak-tombak itu bergelombang, sementara mulutnya hanya satu dan kakinya hanya tempat. Bagaimanalah mungkin ia bisa terus bertahan. Tombak pertama bersarang di perutnya. Tombak kedua menancap di dadanya. Tombak ketiga menusuk lehernya. Tombak keempat, kelima, keenam, ketujuh, kedelapan, kesembilan, kesepuluh, kesebelas, menancap di sekujur tubuhnya. Ia menggeram, menunjukkan taringnya, dengan sisa-sisa tenaganya, dan pada saat itulah tombak kedua belas menusuk tepat di mulutnya, menghunjam dalam di tenggorokannya, sehingga ia terkangkang ke belakang dan terkulai lemas. Orang-orang itu lalu membuka pintu kerangkeng, mencengkeram buntut dan menyeretnya keluar. Di situlah mereka mencincang tubuhnya dengan parang, arit, dan pisau dapur. Di situlah orang-orang menggebuk tubuh dan kepalanya dengan kayu, batu, dan palu. Tubuh itu hancur sudah, tak lagi bisa dibedakan mana mata dan mana daging pantat, mana lidah dan mana daging perut, mana buntut dan mana daging tengkuk. Semua hanya berupa onggokan daging yang tersia-sia di siang yang terik. Aku melihat semua itu. Aku melihat bagaimana onggokan itu menjadi rebutan. Dibagi yang rata, semua harus kebagian, katamu. Daging harimau sangat bagus untuk kesehatan, obat untuk berbagai macam penyakit, katamu lagi. Ada yang dapat taring? Ya, jadikan itu mata kalung, akan menambah perbawa. Kau terus mengumbar kata-kata penuh bisa. Dari balik gerumbul semak, kurasakan gumpalan menyesakkan dadaku. Kegeramanku mendesak minta dipuncakkan dalam auman. Tidak! Belum saatnya. Maka, gumpalan itu perlahan-lahan menggerumuti mataku. Kupastikan mata itu mencorong bengis. Tiba-tiba kulihat kau membalikkan badan ke arahku. Senyum sinis menggaris di wajahmu. *** Apa lagi yang kau tunggu, harimau busuk? Tekuklah sedikit kedua kaki depanmu sehingga aku bisa menarik picu senapanku. Kau tak perlu ragu, peluruku pastilah tepat menghantam keningmu. Ke mana pun kau bergerak, kalau bidikanku telah terkunci, kau pasti mati. Dor! Terkamanmu akan terhenti di udara. Kau tersentak ke belakang. Saking kerasnya sentakan itu, mungkin tubuhmu akan berputar. Kepalamu yang tadinya ada di depan akan terangkat ke atas dan terus terbawa lontaran peluruku sampai kepala itu berada di belakang dan buntutmu berputar ke depan. Kau terpakar, mengejan liar, dan mati. *** APA lagi yang kau tunggu, manusia busuk? Gerakkanlah sedikit saja jarimu yang menempel pada picu senapanmu. Kau tak perlu ragu, terkamanku pastilah lebih cepat dari pelurumu. Lehermu yang jenjang itu akan mendapat kesempatan merasakan sabetan cakar berikut taringku. Taring itu akan kutanamkan sedalamnya di urat lehermu. Biar darah itu mengucur dalam mulutku dan mengalir ke kerongkonganku. Lalu, cakarku yang satu akan merobek perutmu sampai ususmu terburai, menjela-jela menyapu tanah. Ayolah, tidakkah kau merasa bosan? Dengarlah apa yang dikatakan orang-orag yang sejak tadi menanti akhir pertarungan ini. *** "APA yang mereka tunggu? Hampir sehari penuh, dan mereka tetap saja seperti itu." "Mereka sama menunggu salah satu yang memulai lebih dulu. Ini pertarungan hidup-mati. Bahkan dendam pun punya harga diri." "Matahari hampir terbenam. Remang mulai menutupi pandangan. Mungkinkah mereka menunggu gelap untuk mengakhiri semua ini?" "Kita tunggu saja. Sampai kapan pun, salah satu dari mereka harus ada yang mati."