Setangkai Melati Patah di Balik Senja -- Ani Sakurano Dikemas 11/04/2004 oleh Editor Kepedihan dan penyesalan telah membelenggu bibir dari tawa dan senyumku. Tak seorangpun mendapatkannya lagi. Aku telah mempersembahkannya hanya untukmu kasih. Tapi kini engkau telah tergolek diam dalam keabadian. Biarlah kulukis setangkai melati patah di balik senja pada nisanmu, agar engkau selalu ingat selarik senja yang telah mempertemukan kita, senja itu pula yang mematahkan tangkaimu. Palgunadi termenung di teras belakang rumahnya. Ini adalah untuk kesekian dia membaca cerpen dengan judul frase "senja", seperti yang barusan dia baca "Setangkai Melati Senja untuk Kasihku" [1] di sebuah harian ibu kota. Selalu judul dengan senja itulah yang dipilih oleh Melati si penulis cerpen. Palgunadi hampir hafal seluruh judul cerpen-cerpennya mulai dari menjaring senja di puncak monas, senja di atas danau Biwa, senja di ujung penantian, senja di dua kota, dan senja-senja lainnya. Rasanya Palgunadi tidak akan sedemikian penasaran kalau cerita yang didongengkan tidak sedemikian memikatkannya, bahkan dari kisah yang terus diikutinya dia mempunyai keyakinan Melati adalah seorang gadis yang merindukan kehadiran sosok seorang laki-laki pujaan. Dan laki-laki itu adalah dia, pikir Palgunadi. Sah-sah saja Palgunadi beranggapan seperti itu, karena dia memang tercipta sebagai pria ganteng yang sudah melanglang buana sebagai lelananging jagad [2]. Sayang, Palgunadi belum pernah mendengar ada acara bedah buku atau pemberian hadiah atas karya sastra Melati, atau setidaknya ada kabar kehadirannya dalam diskusi kebudayaan. Ketika Palgunadi mendengar berita bahwa cerpen-cerpen Melati telah diterbitkan dalam sebuah buku, bergegas dia membeli buku itu, berharap ada sedikit keterangan mengenai Melati. Namun sia-sia, ketika dibuka lembar-lembar terakhir buku tersebut, data yang ada tak kalah misteriusnya. Nama: Melati; Tempat tanggal lahir: Bandung, suatu ketika. Cukup dua keterangan yang tidak memberikan makna apapun itulah yang didapatkan Palgunadi, setelah itu dibawahnya cuma tertulis karya-karya yang pernah dihasilkannya. Dan foto yang tertempel disana bukan foto seorang gadis yang sedang beraksi menebar senyum tetapi mekar bunga melati putih dibalik tabir semburat jingga warna senja. Melati memang sosok yang sedemikian misteriusnya, bahan redaktur harian pagi maupun sore, tabloid, majalah serta jurnal kebudayaan tidak bisa memberikan keterangan apapun tentang sosok Melati. Fotokopi identitas diri yang ditunjukkan setiap media selau berbeda-beda, tak satupun bernama melati. "Redaksi hanya mencantumkan nama yang dikehendaki oleh pengarang dan setiap penulis yang telah menunjukkan identitasnya berhak ditampilkan karyanya," begitu selalu komentar redaktur yang didatangi menanggapi keluhan Palgunadi mengenai banyaknya identitas diri Melati. "Tapi ini nama samarannya sama dan judulnya selalu memakai frase yang sama yaitu senja. Pasti penulisnya sama. Kenapa satu orang bisa menggunakan banyak identitas?" "Apa anehnya?," sergah seorang redaktur sebuah harian senja di suatu kota pada suatu senja yang sedemikian merah membara. "Bisa saja penulisnya memang orang yang berbeda," lanjut redaktur tadi sambil menyedot batang rokok kuat-kuat. "Ah tidak mungkin. Aku sangat hapal akan gaya penulisannya. Dia sangat mengagumi senja." "Ha..ha..ha...senja selalu datang tiap hari, menggantikan siang yang panasnya membakar kota, setiap sore aku dan semua orang melek selalu melihat senja yang selalu sama dari hari ke hari, apalah anehnya." "Aku adalah pengagumnya yang ingin menemui, biarlah aku mendengarkan sendiri dia mendongengkan tentang senja terindah untukku. Aku sudah beberapa kali ke berbagai kantor redaksi harian, tapi selalu gagal mendapatkan identitas persis siapa Melati sebenarnya, apakah fotokopi KTP yang anda tunjukkan ini benar-benar nama asli si penulis cerpen itu?" "Apalah artinya sebuah nama, mau namanya Melati, Mawar atau kembang tembelekan, kalau orangnya itu ya tetep seperti itu aja," jawab sekenanya, sok mengutip kata-kata Shakespeare segala lagi pikir Palgunadi. "Beribu bahkan mungkin berjuta orang membaca cerpen itu tapi tak satu pun yang keheranan, kenapa anda begitu antusias?" "Aku ingin mengawini Melati!" jawab Palgunadi tak kalah ngawurnya sembari berkelebat pergi dengan hati gondok. "Di kebun bunga banyak, bung! Ha...ha...ha...." Palgunadi bukannya tidak pernah mencoba untuk mendatangi alamat-alamat yang tertera pada kartu identitas yang ditunjukkan oleh redaktur suatu harian, tapi selalu alamat yang didatanginya mengatakan hanya sebagai perantara yang mendapat kiriman naskah dari rekannya yang mengamanatkan agar dikirim ke redaksi harian tertentu. Alamat yang disebutkan oleh orang yang mendapatkan wasiat juga mengatakan hal yang sama. Jadi semacam surat berantai yang bisa dikirim dari mana saja oleh siapa saja, seperti pasar multilevel yang menyebar dari mulut ke mulut. Palgunadi tidak kehabisan akal, meskipun alamatnya bisa di mana-mana, pasti honor yang diperoleh dikirimkan ke satu nomor rekening, pikirnya. Dicoba ditelusuri kembali alamat semula dan ditanyakan nomor-nomor rekeningnya, tak diduga ternyata honor yang didapat juga harus ditransfer lagi ke rekening-rekening lain secara berantai melingkar-lingkar tak ketahuan ujungnya. Mungkinkah orang sebanyak itu semua mau melaksanakan amanat Melati, apakah tidak ada seorang pun yang menyabot honornya? Minimal mengkorupsinya? Masih adakah orang yang bisa sedemikian bisa dipercaya. Atau barangkali Melati memang tidak memerlukan uang, pikir Palgunadi di setiap perjalanan pencariannya. Entah energi apa yang menyebabkan Palgunadi tidak kenal jera dan putus harapan. Mungkin Palgunadi berpikir bahwa untuk mendapatkan sesuatu yang dikehendaki perlu sebuah perjuangan, apalagi untuk mendapatkan Melati yang diyakini sanggup memberikan kebahagiaan baginya. Perjuangan yang berlawanan sekali dengan kenyataan yang ada dalam kehidupan Palgunadi yang selalu dikerumuni dan dikejar-kejar oleh perempuan-perempuan cantik yang selalu mengantri cintanya meskipun mereka tahu akhirnya bakalan ditinggalkan Palgunadi juga. Terus disusuri alamat demi alamat, bank demi bank, kota demi kota, negara demi negara, benua demi benua, dari waktu ke waktu dari senja ke senja. Hari berganti, waktu berlalu, tahun demi tahun telah dihabiskan Palgunadi dari taksi ke taksi, bus ke bus, kereta ke kereta, kapal ke kapal, pesawat ke pesawat. Tak ada senja yang tak terekam dibenak, tak seorang pun terlewatkan untuk dimintai keterangan kalau-kalau mereka pernah berjumpa dengan Melati. Senja membara di atas Monas, senja yang mengapung di danau Biwa, senja di balik tugu, senja yang berkilauan di laut Mediterania, sampai senja yang menyepuh Rocky Mountain. Tapi hasilnya nihil, tak seorang pun mengaku mengenal Melati atau setidaknya memberi keterangan pernah berjumpa dengan seorang gadis dari Indonesia yang sedang menunggu kekasihnya di suatu senja. Melati bagaikan tumbuh di Gurun Sahara tanpa batang tanpa daun. Tak terasa uban telah menjamur di kepala Palgunadi, kulit pun tampak berkeriput. Sudah 365 kali 40 senja dihabiskan hanya untuk mencari Melati. Entah hubungan batin macam apa yang sanggup membuat seseorang merasa terpaut dari hanya dari tulisan orang lain. Adakah gelombang magnetik menghubungkan ikatan sedemikian kuatnya? Tak ada seorang pun yang tahu, hanya Palgunadi yang bisa merasakannya. Sampai suatu ketika Palgunadi mendapati sebuah fotokopi KTP lusuh dari seorang redaktur harian yang tak terkenal di ibu kota. Tertera nama Melati di KTP itu. Binar mata Palgunadi seolah mengalahkan semburat keemasan di langit barat. Berkali-kali dibuka kacamata, dilap sambil mengucak-ucak matanya, tetap saja nama Melati yang tertera di situ. Bergegas dengan tak lupa mengucapkan terimaksih berkali-kali Palgunadi menyetop taksi yang melintas. Langsung ditunjukkan pada sopir, fotokopi KTP yang dipegangnya sembari memerintahkan agar memacu taksi ke alamat yang tertera secepatnya. Taksi bergerak menembus debu senja yang memadati udara Jakarta. Senja yang kilauannya dari pantulan kaca-kaca gedung yang menjulang mampu membuncahkan perasaan Palgunadi, jantung Palgunadi pun berdegup kencang seperti masa remaja saat pertama kali dia mengucapkan kata cinta pada gadis pujaannya dalam sebuah taman di suatu senja yang bisu setangkai melati disematkan di atas telinganya. Melati sebagai ungkapan putihnya cintaku kata Palgunadi. Cinta itu juga yang mulai dibisikkan ke telinga gadis dan wanita yang mengaguminya, ketika nama Palgunadi sebagai jurnalis sedang meroket bak meteor. Cinta yang ketika mulai rimbun tumbuh di hati Palgunadi tiba-tiba dihempas oleh badai taifun saat gadis pujaannya harus menemui takdirnya. Cinta yang hadir seperti senja temaram yang tiba-tiba disergap mendung malam yang gulita. Pada suatu senja yang paling durjana ketika Palgunadi memergoki mereka sedang memadu kasih. Kilatan belati pun menembus punggung kekasihnya. Ingin sekali Palgunadi mengadu nyawa dengan laki-laki yang merobek cinta dan hidupnya, tapi siapa sangka laki-laki itu adalah laki-laki yang paling dihormatinya. Laki-laki yang memberikan cinta sekaligus yang mencabutnya. Pandu, bapaknya. Pedih dan penyesalan yang menyayat hati makin menggerogoti ingatan Palgunadi karena dia harus kehilangan kedua orang yang dicintainya. Pandu lebih memilih mengakhiri hidupnya serta si gadis yang tenggelam di taman kamboja. Kepedihan dan penyesalan telah membelenggu bibir dari tawa dan senyum Palgunadi saat itu. Tak seorang pun mendapatkannya lagi, Palgunadi telah mempersembahkannya hanya untuk kekasihnya yang kini telah tergolek dalam keabadian. Kekasih yang mengalirkan cinta sekaligus melongsorkannya. Kekasih yang dicintai sekaligus dikhianati. Adakah cinta tanpa pengkhianatan? "Biarlah kulukis setangkai melati patah di balik senja di atas nisanmu, agar engkau selalu ingat selarik senja yang telah mempertemukan kita, senja itu pula yang telah mematahkanmu," kata Palgunadi ketika mengunjungi makam kekasihnya. Taksi terus berlari menyusuri gedung-gedung pencakar langit Jakarta yang memantulkan warna kelabu, melaju di atas tol, memasuki jalan-jalan protokol, gang-gang sempit dan berhenti tepat di depan alamat yang dituju: rumah Palgunadi. Oktober, 2000 Keterangan: [1] Dari cerpen Seno Gumira Ajidarma yang berjudul "Sepotong Senja untuk Pacarku". [2] Dalam cerita pewayangan Arjuna mendapatkan gelar lelananging jagad dan berhak mendapat 40 bidadari dari Dewa karena jasanya membunuh raksasa Niwitakawaca yang hendak makar pada Dewa.