Bocah perempuan kecil itu berlari-lari di antara pasir-pasir pantai. Melompati batu-batu kecil yang berada di antara batu-batu besar yang lain. “Hati-hati, Terate,” ujar Mawar, kepada si bocah. Tatapannya kemudian melintasi pulau-pulau yang berada di seberang lautan. Dari ujung pantai berpasir putih ini, dia dapat melihat pulau-pulau terdekat. Pulau yang berisi perbukitan batu. Inilah keindahan dari negeri seribu pulau. Angin pantai pulau Belitung sejak tadi telah menampar-nampar halus. Debur ombak memanggil-manggil dari kejauhan. Pulau besar ini memang punya anak-anak pulau yang bertebaran di sekitarnya. Indah. Namun, tetap saja ada perih di hati Mawar bila mengingat suasana pantai ini. Ombak berdebur adalah pertanda penghujung tahun. Disini, dia tak perlu lagi menandai almanak seperti yang pernah dilakukannya di pulau nun jauh disana. Suaminya tak akan pernah bisa ditemunyalagi. Tak akan mungkin mereka bisa pernah berjumpa di rumah yang dulu telah mereka dirikan bersama. Sekarang semuanya telah berbeda. “Engkau telah kembali, Jaka. Pasti engkau telah pulang ke rumah dan tak mendapati aku disana,” ucapnya, seraya menghela nafas. Dibayangkannya Jaka pulang dengan bertumpuk kebahagiaan. Setelah berlayar lebih dari setengah tahun, akan dibawanya beberapa potong kain, perhiasan atau buah tangan yang lain untuknya. Namun tak akan didapati lelaki itu dia berada disana lagi. “Maakk…,” teriakan Terate membuyarkan lamunannya. Bocah perempuan itu muncul dari balik gundukan pasir. Batu-batu berjejer di atas pasir yang masih berkilat, melindungi Terate dari percikan ombak laut. “Sini, Terate… Sini,” ujar Mawar. Namun Terate tak mendengar, dia terus saja berlari. Langkah-langkahnya lucu namun kaki kecil itu terlihat sudah semakin tangkas menyusuri pasir dan bebatuan. Terate anak laut, sejak bayi dia sudah mengajaknya ke pantai yang terkadang berseling gelora ombak besar ini. Terkadang saat air tenang, dia masukkan Terate ke dalam air laut dan membiarkannya berenang serupa seekor anjing kecil yang berusaha menyelamatkan nafasnya di atas permukaan air. “Mama, Ate bawa keong. Bawa keong,” ujar bocah peremuan itu. Wajahnya bulat, matanya jernih, dengna rambut yang ikal dan kemerahan. Kulitnya agak kehitaman, warna itu berangsur melegam akibat sering digarang matahari yang membakar pinggiran pantai di pulau ini. “Iya, Terate bawa dua keong aja ya…” ujar Mawar, sambil menyerpih keong yang hidup dari tangan puterinya itu. disisakannya dua cangkang keong yang sudah tak ada lagi isinya. “Jangan dibuang Makkk…” “Hush, jangan semuanya sayang. Jangan keong yang hidup, sayang. Nanti kamu digigit. Sakit, sakit…” ujar ibunya sambil memperlihatkan wajah meringis sehingga Terate pun mengurungkan niatnya untuk mengambil kembali berupa keong yang melarikan diri dari tangannya ke pasir. Si bocah pun akhirnya cukup puas menimang-nimang dua rumah keong yang masih ada dalam genggamannya itu. Wajahnya kegirangan, lalu berteriak kecil ketika Mawar yang tak tahan, telah mencubit pipi putrinya yang tembam dan merah. Tak lama, anak itu telah berada di dalam pangkuannya. Diciuminya, dirangkul dan dipeluknya bocah itu sambil menyusur pasir, gua-gua batu yang serupa labirin panjang. Melintasi pepohonan bakau di pinggir pantai, rerumputan berpasir, hingga keduanya kembali memasuki perkampungan nelayan yang telah lama mereka diami. Lebih dari setahun Mawar di sini, sejak Terate masih di rahimnya. Kampung nelayan masih sibuk. Beberapa lelaki berjalan ke arah deretan perahu yang tertambat di pinggiran pantai. Beberapa menatapi Mawar dan Terate dengan bibir yang tersungging. Sebagian berlalu dengan wajah yang biasa. Ada juga yang sempat menegur mereka dengan cara berlebihan. Mawar memang tak asing lagi di kampung ini. Sejak awal kedatangan, mereka sudah kerap berbicara dan berbincang sehingga Mawar tak lagi menjadi bahan perhatian buat mereka. Apalagi dia adalah keponakan dari seorang warga kampung. Sekalipun tetap saja, ada beberapa kaum istri yang masih was-was pada Mawar, khawatir suaminya melirik perempuan cantik dan muda itu. Seorang kakek tua muncul dari dalam sebuah rumah yang berpagar kayu. Tak cuma pagar, hampir semua bagian bangunan rumah di tempat ini pun didirikan dengan bahan dari kayu pohon yang ada di sekitar tempat ini. Kayunya kuat dan tahan dari kelapukan, itu sebabnya rumah mereka kerap bertahan bahkan sampai puluhan tahun. “Kamituwa sudah pulang, Terate,” ujar Mawar dengan wajah senang. Terate mengangguk-angguk jenaka sambil berusaha berteriak agar pamannya itu mendengarkan. Lelaki tua itu memang paman kandungnya. Setelah kematian ayah dan ibu Terate, cuma dialah yang dapat dijadikan gantungan hidup buat Terate. # # # Sejarah Terate di pulau lain adalah sejarah kekelaman. Sejarah yang muncul dari sebuah bencana yang terjadi pada keheningan malam. Ketika itu, Terate masih ingat, dia mendengar suara ketukan pintu dari luar. Di suatu malam, di tengah hujan yang deras. Suara yang membuat wajah Mawar begitu pucat dalam gelap. Dia begitu ketakutan sehingga tak berani lagi untuk mengintip siapa atau apa yang berada di luar itu. Apalagi ketika didengarnya tawa lelaki yang ada di seberang pintu tapi lebih dari satu orang. Mawar memperkirakan dua atau tiga atau empat lelaki yang telah menggedor-gedor pintunya malam ini. “Buka, inikah rumah si Mawar yang kesepian itu. Hei mengapa dia jadi sombong ha..ha…” “Bukankah dia merindukan pelukan hangat di malam yang sedingin ini?” teriak yang lain, disusul oleh tawa lelaki yang ada di sekitarnya. Tubuh Mawar sangat gemetar pada malam itu. Titik air dari atap rumah yang menetes di kepala, tangan dan pipinya, tak lagi dirasakan oleh Mawar. Hatinya bergetar menyadari situasi yang tak mengenakkan yang akan terjadi pada dirinya malam ini. Dia baru berpikir untuk menyelamatkan diri ketika kejadian setelah itu hanya bisa membuatnya menjerit. Matanya melotot, wajahnya sudah begitu pucat sebagai mayat. Pintu rumah yang tak begitu kokoh itu seketika berhasil dijebol. Pintu ambrol. Lelaki berandalan itu akhirnya menghadirkan wajah dan tubuh mereka yang berlari menyerbu. Seperti serigala yang lapar. Dan dia sebagai daging hangat dan lezat. Mereka mempermainkan Mawar dengan tawa dan tangannya. “Pergi, Anjing!” ujarnya sambil berteriak meminta tolong, tapi percuma, semua suaranya tenggelam di balik deru angin dan ombak di pantai ini. Satu-dua kemudian mulai mencakar-cakar pakaiannya, mengulitinya selapis demi selapis. Membantingnya kesana-kemari dan membiarkan Mawar telanjang bulat di tengah gelak tawa dan gelora nafas mereka. Memeluki dirinya secara bergantian. Menindihnya dan membuat gerakan-gerakan mengerikan serupa iblis yang muncul di kala malam. Bencana yang seketika telah meruntuhkan seluruh harapan dan mimpi Mawar. Semua seketika jadi sia-sia. Semua semakin terasa hampa. Dia baru bisa menjerit dan menangis, setelah langit tak lagi melontarkan petir dan hujan. Malam terasa penuh dengan darah. Malam yang kesakitan dan menangis dalam kesunyian. Mawar terdekap dalam ketidaksadaran akibat penderitaan yang tak mampu lagi dia rasakan. Dia baru sadar dari pingsan dan menemukan diri telah telanjang dengan tubuh dan hati yang penuh luka. Mengembalikan jarit agar kembali membungkus tubuhnya, seperti ingin mengembalikan kembali bunga melati yang telah terbakar. Harum di tubuhnya seakan telah menghilang ke laut, berganti bau bacin perjalanan para perompak dari tanah-tanah kutukan. Bagi Mawar, waktu-waktu kini berjalan dengan tanpa matahari. Bilik-bilik rumah serupa keong yang siap menelannya. Suara erangan buas dan mengerikan malam itu kerap muncul dan teramat menyiksa. Belum lagi ditambah dengan gunjingan yang mulai bergaung dari para penduduk di sekitarnya, lebih dari sekedar usikan ombak bahkan puting beliung. Mawar mendapat dirinya telah hamil. Perutnya perlahan makin membesar, dan dia tak tahu harus berbuat apa pada kondisi yang berkembang di tubuhnya itu. Dia pun gelisah pada tubuhnya sendiri. “Ehhh tubuh Mawar tambah gemuk ya. Hamil ya dia itu…” “Tak tahu malu, padahal suaminya tak pernah datang selama ini…” “Anak haram dari perbuatan haram. Cihhh! Tak tahu malu!” Mawar pernah dan sering mendengar gunjingan yang dilontarkan saat dia melintasi tetangga-tetangganya itu. Walau tak pasti apakah mereka sengaja mengucapkannya di depan mata dia, tapi ucapan itu tampaknya sudah menyebar karena dia terlalu sering mendengar umpatan semacam itu di belakangnya. “Hmmm… apa dia masih mau menunggu suaminya dengan anak haram yang akan dia lahirkan?” “Hush! Dia itu diperkosa, tau…” “Tapi nyatanya dia suka kan? Siapa tahu dia memang menikmatinya dengan ikhlas dan senang. Hei, mana kau tahu tentang keresahan seorang perempuan yang beberapa bulan tak dijamah!” Mawar menjerit di dalam bathinnya. Dia sama sekali tak menikmati peristiwa ternajis dalam hidupnya itu. tubuhnya seperti begitu kotor malam itu. Sudah baik dia menahan untuk tak menikamkan pisau ke tubuhnya! Luka telah dia torehkan, airmata telah dicucurkannya di atas batu-batu pantai yang kerap dia dan Jaka datangi pada setiap senja. Lantas, siksaan apa lagi yang akan diberikan oleh tetangga-tetangganya setiap hari? Pada suatu malam, Mawar telah memutuskan untuk pergi dari pulau itu dan meninggalkan kenangannya di pantai ini. Meninggalkan Jaka, meninggalkan bunga-bunga cinta yang telah mereka tabur di pantai ini. Pagi hari, dengan perahu, bersama para nelayan. Mengikuti perahu ke arah matahari yang kerap muncul seakan dari arah timur, dia mengharapkan sejarah akan berulang dan semua kisah tragis itu bisa dibatalkan oleh Sang Pencipta. Tapi tak ada yang berubah. Pagi tetap saja suram. Matahari terasa sudah tak ramah lagi buat dia. Ada titik hitam yang mengikuti ekor-ekor matanya yang indah. Dengan kesadaran yang ada, dia teruskan ikut perahu lainnya. Berpindah-pindah selama beberapa hari, menghindari godaan para lelaki dengan menutup rambutnya dengan penyaraman sebagai lelaki. Dia enggan pergi ke pulau dimana dia pernah dilahirkan dan tempat orangtua dan sanak saudara lain pernah tinggal disana. Melainkan ke pulau lain dimana dia pernah menemui adik ayahnya, ketika masih remaja. Di pulau itu, dia harapkan Jaka tak akan tahu karena memang kebetulan Mawar tak pernah menceritakan tentang riwayat pamannya itu. Apalagi yang diharapkannya selain pergi dan menghindari diri dari keluarga? Dari orang-orang yang dia kenal, bahkan dari Jaka yang sangat dicintainya itu. Sepanjang perjalanan, Mawar berharap agar pamannya itu bisa mengerti dan mau mempercayai seluruh ceritanya. Terlebih lagi, bila pamannya yang sendirian dan sudah tua itu bisa menerima dirinya menjadi bagian dari keluarga. Mawar akan senang dan akan menganggapnya sebagai pengganti sang ayah. # # # Malam itu, di penghujung tahun, dia kembali keluar dari rumah dan berjalan menuju pantai. Di tangannya, tergenggam sebuah kiong besar dengan sebuah lubang di punggung cangkangnya. Terate dan pamannya telah lama tertidur. Tinggal Mawar yang gelisah sendiri. “Nikmatilah malam saat purnama penuh di atas laut, Mawar. Kalau kau merasa sepi sendiri dan merindu aku,” terngiang kembali kata-kata Jaka di malam itu. Mawar kemudian memasuki pantai dan mencari tepat duduk di antara labirin bebatuan besar. “Tiuplah keong ini saat engkau rindu aku, Mawar. Bukankah engkau telah mahir membuat cangkang menjadi bebunyian dan memainkannya saat aku ada di sampingmu?” ucapan Jaka itu juga masih diingatnya. Waktu itu dia hanya mengangguk dengan senyuman indah di bibirnya. Jaka menatap juga dengan sepenuh perasaan. Maka terdengarlah suara cangkang keong mengalun dan bergaung seiring suara kerinduan yang meronta dalam dada Mawar. Serupa burung dara putih yang terbang di antara labirin batu dan di tengah derasnya ombak. Suara cangkang yang sekaan mengalirkan suara yang melintas sejarah dan masa lalu. Entah sejarah mawar atau sejarah keong itu yang pernah mengendap jauh di dasar lautan. Dia ngelangut sendirian. Lamat, dirasakannya bayang Jaka yang mengelepak dengan sayap dari kejauhan. Lalu bayangan kembali pergi. Muncul lagi perasaan kedatangan lelaki itu dengan kayuhan dayung dan perahu, juga berjalan di atas air. Mawar makin menanti, gaung cangkang terasa semakin bergetar membawa seluruh muatan rindu yang telah bersarang di dadanya. # # # Sementara di belakang tubuh Mawar, beberapa pasang mata lelaki dengan nyalang terus saja menyaksikan semua pesona itu. Pesona perempuan yang berada di dalam duka, dengan nyanyian cangkang yang menyihir dan menyergap kelelakiannya. Pesona perempuan yang terus meniupkan nada, sambil menghitung-hitung seluruh masa lalunya, antara cinta dan penderitaan semalam. Di antara senyum dan tangisan dari hati yang parah menganga. Mereka terus menatap Mawar yang teguh berdiri di atas batu “Cewek sendirian tuh,” ujar lelaki yang gendut dan berkumis pada yang lain. “Jangan-jangan dia perempuan siluman…” sambung yang jangkung. Sarung telah dia angkat, diantara remang terlihat golok di pinggang lelaki itu. “Ah itu kan si Mawar, yang datang dari pulau jauh itu. Kabarnya sudah punya anak tapi masih singset!” ujar lelaki lainnya, sambil tertawa. “Bagus juga ya mainnya…” tanya si Gendut. “Main apa nih?” ujar si Jangkung, disusul tawa serempak dari empat lelaki yang sejak tadi berlindung di antara pohon bakau. Sementara bulan masih tetap bersinar. Ombak-ombak mulai berkejaran di antara karang dan pasir pantai. Satu-satu percikan air mulai menerjang malam yang mulai tidak bersuara. Yang ada hanya kediaman. Dalam kegelapan, selalu saja ada rahasia… Belitung, 2003