Satu Yang Abadi - KIP Dikemas 11/04/2003 oleh Editor Mereka segera menuju ke sebuah kamar yang tergolong lumayan besar untuk mereka tempati. Seorang dari mereka mengambil beberapa ‘dokumen’ dari rak buku coklat di sudut kamar itu. Kemudian, tanpa mengganti pakaian yang baru saja mereka pakai pada acara prom night di sekolah, mereka kembali ke luar, di mana satu pohon belimbing berdiri dengan kokohnya. Dengan disertai tawa kecil, langkah mereka tampak menunjukkan sebuah kekompakan sebuah tim. Tak ada dari mereka yang berjalan dengan tangan kosong. Rawi tampak membawa sebuah gitar yang dibawanya dari ruang tengah. Nibras menenteng selembar tikar. Sebuah nampan sebagai pembawa enam gelas dan sebuah jar berisi jus jeruk, berada di tangan Padaka. Buana berjalan dengan ‘dokumen-dokumen’ penting di tangan kanannya. Ukuran tubuh Manyari terlalu besar untuk membawa sebuah tape recorder kecilnya. Dan yang terakhir, di barisan paling belakang, Rufina dengan tubuhnya yang tergolong big size tampak senyam-senyum membawa setoples besar keripik kentang. Sesekali, jari jemarinya mencomot sejumlah makanan crunchy berasa pedas manis itu. Jika mereka tak cepat sampai di tempat mereka akan duduk, mungkin keripik kentang yang ada dalam toples itu tinggal sepertujuh bagiannya. Segera setelah sampai di bawah pohon Belimbing, Nibras menggelar tikar yang ditentengnya, dan duduk di atasnya. Seorang lagi menyusul. Lalu seorang lagi. Seorang lagi. Seorang lagi. Dan yang terakhir pun juga ikut lesehan, setelah berucap “Seandainya aku adalah bintang” ketika melihat langit bertabur bintang. Mereka duduk membentuk sebuah lingkaran kecil dengan segala barang yang mereka bawa di pusatnya, terkecuali Rufina yang masih membawa toples keripik kentang. “Na, berapa kilogram keripik kentang yang udah kau makan?” tanya Rawi yang emang terkenal ceplas-ceplos, dengan suara cemprengnya. “Jangan kebanyakan, ntar tambah ‘ndut baru tau rasa. Lagian, kita-kita kan juga pengen. Tuh liat, Manyari udah ngiler pengen ngrasain kriuk-nya keripik itu”. “Kamu gila, ya!” kata Manyari sambil melempar kertas yang telah diremasnya. “Jangan-jangan, kamu sendiri yang ngebet pengen makan tuh keripik kentang. Atau, malah pengen makan toplesnya?”. Cekakak… Tawa meledak di antara mereka. Buana mulai membolak-balik beberapa ‘dokumen’ tentang eksistensi “Snazzy-6”—nama ikatan persahabatan mereka—di kancah trend kelompok persahabatan di sekolah mereka. Ia menemukan secarik kertas yang telah di-laminating, bertuliskan ‘Deklarasi Wiyata Mandala’ besar di bagian tengah atas. Ia baca lamat-lamat kalimat-kalimat di bawahnya. "Di lembar putih ini…Kami, para anggota Snazzy-6 berjanji: 1.Bertaqwa kepada Allah SWT 2.Setia kepada Pancasila dan UUD’45 3.Patuh kepada orang tua 4.Berbakti kepada nusa dan bangsa 5.Rajin belajar dan giat bekerja 6.Taat dan patuh kepada peraturan dan tata tertib Snazzy-6 7.Selalu menjaga nama baik Snazzy-6 Demikian Deklarasi Wiyata Mandala ini kami buat, atas perhatiannya diucapkan terima kasih. Atas nama Snazzy-6… Rawi Cempreng Suara –Rufina Ngemil Selalu –Padaka Luluran Yuuk! – Nibras Bla Bla Bla –Buana Assalamu’alaikum –Manyari Janda Kuncup" Ia tersenyum. Kemudian tertawa kecil. Lalu ber-haha hihi. Selanjutnya kelima temannya menengok padanya… ia diam. Ia oprek lagi dokumen dalam kotak bekas sepatunya itu. Lantas berhenti ketika ibunya keluar dari rumah dengan membawa nampan berisi beberapa lingkar pizza-mie spesial buatannya. Rufina, yang sedari tadi agak manyun gara-gara diberi jarak dengan toples keripik kentang, langsung berbinar-binar dan ber-“Waa… pizza-mie! Hmm…!”. Benar aja, setengah lingkaran pizza-mie habis dilahap Rufina, yang memang udah ‘gatel’, dalam sekejap. “Hmm… enak nih! Ibumu asyik, ya. Besok, bikin apa lagi, ya?” jiplak Rufina dari sebuah iklan penyedap masakan. “Ad…da’ Aja!” jawab Buana, juga meniru iklan itu. “Aah, seandainya aku adalah bintang”. Kali ini Rufina mengulang perkataan pertamanya sebelum lesehan di tikar tadi. Ia kembali melihat bintang-bintang di langit, yang kata Sherina menyimpan sejuta misteri. Tiba-tiba, tanpa disangka tanpa dinyana, Rufina yang emang rada-rada puitis, segera menyambar gitar yang tergeletak di samping Rawi. Dengan keahliannya, ia mulai memetik dawai-dawai gitar itu. Lantas… “Temen-temen, sebelum kita berpisah malam ini, aku pengen omong ke kalian sesuatu. Ya, paling nggak anggaplah lagu ini sebagai permohonanku. OK!” pinta Rufina sembari memainkan sebuah harmoni. “… Tetaplah menjadi bintang di langit Agar cinta kita akan abadi Biarlah sinarmu tetap Menyinari alam ini Agar menjadi saksi cinta kita… Berenam…!!!” Ada kaca dalam mata Rufina. Yang akhirnya berubah menjadi bulir air mata, kemudian menetes dan membasahi pipi Rufina. Tak ingin larut dalam kesedihan, Rawi segera mengalihkan perhatian. Sambil mengusap air matanya yang mulai menetes, ia berkata “Hoi, siapa yang mau jus jeruk? Kayanya enak nih. Buatan siapa dulu, dong? mBak Padaka!”. Ia mencoba untuk tertawa, walau miris memang. Ia usahakan tetap tersenyum, walaupun sekarang adalah malam perpisahan para Snazzy-ers. Paling tidak, besok sore mereka tidak akan bisa bersama lagi untuk sementara waktu. Satu orang diterima PBUD di UGM, hingga harus tetap tinggal di Jogja. Seorang yang lain mencari ilmu di UNDIP. Tiga orang pindahan ke Jawa Barat, nglanjutin ke IPB, ITB, dan STT Telkom. Dan yang seorang lagi, karena ke-cas cis cus-annya bertutur kata dengan bahasanya Tony Blair, ia meraih beasiswa ke Aussy. Padaka. Nibras. Buana. Manyari. Mereka masih terdiam. Sementara Rufina memainkan dawai gitarnya. Melihat adanya suasana khusuk bin khidmat, Rawi mulai tertunduk. Mereka mendengarkan setiap petikan dawai yang dilantunkan Rufina. Lirih terdengar suara gadis bernyanyi. Nibras, yang mereka sebut sebagai ‘Ensiklopedia Musik’, tampak berdendang sesuai dengan lagu yang dimainkan Rufina. Hal itu lantas diikuti teman yang lain. “… Kemesraan ini… Janganlah cepat berlalu Kemesraan ini… Ingin kukenang selalu Hatiku damai… Jiwaku tentram di sampingmu Hatiku damai… Jiwaku tentram bersamamu…” Lagi-lagi, sebuah lagu membuat sembilan bagian dari sifat wanita, meluluhlantakkan jiwa mereka. Haru tak mampu lagi mereka bendung. Selanjutnya, mereka saling berpelukan dalam sebuah ikatan persahabatan yang senantiasa akan abadi. Selamanya… .