Suatu sore pada musim gugurdi Marine Parade, sebuah resor dekat laut danpelabuhan Quangate (Kanal Inggris). Lomax Harder dan John Franting berjalanberiringan. Dari pakaiannya yang necis, kedua lelaki berumur sekitar 35-an tahunitubisa dipastikan berasal dari kelompok menengah atas.Lomax Harder, lelaki yang tampak santun, berdahi lebar, berambut jarang, dan agakringkih itu dengan sedikit gugup mengancingkan mantelnya - berusaha mengalangiterpaan angin laut.Tiba-tiba John Franting, pria yang satu lagi, berhenti di depan sebuah toko denganpapan nama: "Gontle - Penjual Senjata". Pria berdahi sempit, berdagu berat,berwajah suram, dan agak garang itu mantan petinju amatir. Ia masuk ke toko Gontleyang kecil dan cenderung kumuh."Selamat sore," sapa Gontle (50) yang saat itu mengenakan jas beludru hitam.Meski tokonya kecil dan terlihat kumuh, Gontle terkenal tidak saja di sepanjangpantai Kanal, tapi di seluruh Inggris. Ia menjadi rujukan soal senjata."Sore," balas Franting dengan sedikit gugup."Ada yang bisa saya bantu?"tanya Gontle, "Tidak usah takut. Toko ini resmi kok.""Saya butuh revolver," kata Franting cepat.137"Ah, revolver! Seberapa banyak Anda tahu tentang revolver?" tanya Gontle, sambilmemperlihatkan beberapa pucuk senjata."Sedikit.""Anda tahu Webley Mark III? Ini dia. Yang terbaik untuk segala keperluan. Multifungsi."Franting mengamati Webley Mark III."Ini unggul pada magazinnya. Kalau belum tertutup dengan benar, senjata ini tidakbisa dipakai.""Bisa untuk bunuh diri?" Franting menyeringai."Ah, jangan bercanda.""Bisa diuji? Sekaligus tunjukkan cara mengisi pelurunya," ujar Franting.Gontle pun mengambil amunisi."Wah, larasnya sedikit tergores. Ganti dong dengan yang baru," kata Franting."Ini ada yang lain. Khusus untuk Anda," kata Gontle."Sudahlah, isikan saja pelurunya. Saya ingin mencobanya," kata Franting."Silakan," kata Gontle sambil menunjukkan pintu menuju tempat untuk mencobasenjata di belakang toko.Bunyi tembakan Lomax Harder ditinggal sendirian di toko. Ia sempat ragu-ragu sebelum akhirnyamengambil revolver yang ditampik Franting. Senjata itu ditimang-timang, ditaruhkembali, lalu diambil lagi. Tiba-tiba pintu belakang tempat Franting dan Gontle keluartadi terbuka, membuat Harderterkejut. Secara refleks, tanpa berpikir panjang akanakibatnya, ia memasukkan pistol yang dipegangnya ke saku mantelnya."Berapa peluru yang kaubutuhkan?" tanya Gontle."Lima saja, saya rasa cukup untuk saat ini. Berapa kalibernya?" tanya Franting."Coba saya lihat ... Empat inci."Franting lalu membayar revolvernya, kemudian melangkah keluar toko dengansenjata di tangan."Anda, ada yang bisa saya bantu?" tanya Gontle kepada Harder.Harder tiba-tiba saja sadar kalau Gontle telah menelantarkan dirinya. Padahal iamasuk tak lama setelah Franting. Franting dan Hardertidak bercakap-cakap selamadi dalam toko. Hal itu mengesankan mereka tidak saling kenal."Saya butuh kertas timah," sahut Harder sekenanya.138"Kertas timah!" seru Gontle."Apa Anda tidak tahu kalau ini toko senjata?"Setelah meminta maaf, Harderngeloyor pergi."Akan kutelepon Gontle dan membayar senjata curian ini,"batin Harder. "Jangan,nanti malah berabe. Kukirim saja lewat pos, anonim."Harder melintasi Marine Parade. Tampak Franting, sosok kecil kidal di keramaian,memegang revolver. Sayup-sayup Harder mendengar bunyi tembakan, tetapi jarakyang jauh membuat dia tak yakin. Apakah Franting serius soal bunuh diri itu? Iamencoba melihat lagi, di kejauhan Franting berjalan ke barat memotong pantaisecara diagonal. Ah, ternyataFranting hanya berkelakar."Ia akan kembali ke Bellevue," pikir Harder.Bellevue adalah hotel tempat ia dan Franting keluar setengah jam sebelumnya. Iaberjalan pelan-pelan menuju hotel putih itu. Dari luar ia melihat Franting duduk dilounge. Kemudian Franting berdiri dan menghilang turun ke lorong panjang disamping lounge. Harder mencoba menyusul.Di ujung lorong Harder menemukan Franting di ruangbiliar. Setengah bagian dindingnya terbuat dari batu bata dan setengahnya lagi kayu. Ruangan dikelilingihalaman belakang dari bangunan utama hotel. Senja luruh. Sepotong kobaran apimenyala dalam tungku pemanas.Franting masih berbalut mantel. Sebatang sigaret terjepit di bibir. Ia dudukmembungkuk di dekat tungku.Begitu melihat Harder, ia langsung mendongak."Kamu masih membuntuti aku," kata Franting sinis."Ya. Aku ingin berbicara secara khusus denganmu. Sepertinya kamu tidak maubicara sewaktu di jalan tadi, tapi kita harus bicara," kata Harder tenang sambilmendekati meja biliar.Franting bangkit, tangannya terkepal."Dengar," katanya dingin."Aku malas membicarakan soal ini. Jadi, kalau sudahselesai bicara, segeralah pergi. Aku muak melihatmu. Aku sudah tahu tentanghubunganmu dengan istriku. Aku juga tahu kalau istriku sudah memiliki tiket keKopenha gen dengan kapal laut dari Harwich. Ia sudah memperlihatkan paspor sertamengepak barang-barangnya. Kamu juga mau ke sana 'kan?"Harder hanya diam."Semua itu bukan urusanku. Semua itu juga tidak ada artinya bagiku. Emily seringberkencan denganmu, terlebih satu atau dua mingguterakhir. Aku tak peduli dengansemua itu. Aku tahu, Emily membenci tabiatku. Namun, sebenarnya itu masalahkami berdua. Kamu jangan mencampuri urusan kami. Jangan kau racuni dia agarberpaling dariku. Jangan sok menjadi pendengar setia.""Tapi, kami tidak ....""Jangan potong pembicaraanku! Biarkan Emilysendiri yang memutuskan, apakahtetap bersamaku atau memilihbercerai. Namun, aku sangsi,ia punya niat berpisah.Kami sudah menjalani masa sulit dan senang selama puluhan tahun."139"Aku mengerti," sahut Harderlirih."Bagaimanapun, Emily istriku. Meski aku suami terburuk di muka Bumi ini, aku yakinia sulit untuk mengambil keputusan cerai. Kami sedangberusaha menata kehidupanrumah tangga kami. Sampai akhirnya kamu masuk, dan meruntuhkan upaya itu. Akubaru saja menerima surat darinya. Ia tahu aku berada di sini. Itu juga 'kan yangmenjelaskan, mengapa kamu tahu keberadaanku di sini?" Lomax Harder hanya menatapke luar jendela.Salah satu harus matiFranting mengeluarkan secarik surat dari saku, lalu membukanya."Aku telah memutuskan untukmeninggalkanmu. Aku tidak tahan lagi dengan situasiini. Boleh jadi kamu sangat mencintaiku, tapi sikap dan perilakumu sangatmenyakitkan. Kalaupun ada orang yang bersedia menolongku, kamu tak perlu tahusiapa dia." Dan seterusnya, dan seterusnya. Franting membaca beberapa kalimatkeras-keras.Franting menyobek surat itu menjadi dua, membuang separuhnya ke lantai danmemilin bagian lainnya, membakar, lalu menggunakannya untuk menyulut sigaret."Kamu si penolong itu 'kan? Bagus. Aku tidak menuduhmu jatuh cinta dengannya,atau sebaliknya. Namun, jika kamu tidak mencintainya, mengapa pula kamubersedia mengambil alih semua kesulitannya. Jujur saja, kamu ingin menjadi dewapenolong, atau punya motif lain?" katanya sambil menyelipkan sigaret di bibir.Wajah Harder pucat mendengar tuduhan itu."Masa bodoh dengan semua itu. Aku yakin, Emily tak bakalmeninggalkanku.Camkan ini, aku tidak akan membiarkan dia pergi. Kekayaannya adalah nafkahhidupku. Aku memang menumpang hidup padanya. Aku bakal serasa di neraka jikaia meninggalkan aku."Tiba-tiba Franting terdiam. Iaseperti sadar dengan ucapannya."Tapi, alasan utamaku, bukan melulu soal materi. Seorang istri tetaplah istri, yangtidak dapat begitu saja menceraikan suaminya. Aku punya komitmen kuat terhadapikatan perkawinan."Franting mengambil revolver dari kantung mantelnya, dan menunjukkannya kepadaHarder. "Lihat barang ini, yang kubeli tadi. Kamu tidak perlu takut. Aku tidak akanmengancammu, apalagi menghabisimu. Meski kamu sudah mengganggu rumahtangga kami."Tapi ini untuk istriku, jika iameninggalkan aku - entah gara-gara kamu atau oranglain atau apa pun. Aku akan terus memburunya, ke mana pun ia pergi. Bahkansampai ke Kutub Utara sekalipun, akan kuburu dan kuhabisi dia dengan revolverini.Sekarang kamu boleh keluar!"Franting mengantungi kembalirevolvernya dan mulai menyedot sigaretnya kuat-kuat.Lomax Harder melihat wajah Franting berubah menyeramkan. Ia sadar, F rantingtidak main-main. Jika Emily sampai meninggalkan Franting, nyawa Emily akan140terancam. Tidak seorang punbisa mencegah Franting. Di sisi lain, tidak ada yangbisa membujuk Emily untuk tetap bersama suaminya. Ia telah memutuskan untukberpisah.Harder melangkah sepanjangsisi meja biliar. Secara serentak Franting melangkahjuga pada arah berlawanan.Mereka pun beradu badan. Secepat kilat Harder menyentak revolver di sakunya,membidik, dan menarik pelatuknya.Franting roboh.Setengah badannya ambruk di atas meja biliar. Ia tewas. Di telinga Harder suaraletusan itu bak bunyi dawai biola yang digesek dengan jari tangan. Ia melihat lubangkemerahan di pelipis kanan Franting.Sekilas Harder melirik ke mayat Franting. Rokoknya masih menyala, abunya jatuh dimeja biliar."Yah, salah satu harus mati. Lebih baik dia daripada Emily," Harder membatin. Dibalik penyesalan atas nasib Franting, Harder merasa telah bertindak benar.Membuang barang buktiSejenak kemudian muncul rasa takut. Harder takut harus menghadapi hukuman. Iajuga takut, Emily bakal sendirian dan tak lagi punya teman sebaik dirinya.Memikirkan hal itu ia memutuskan segera kabur.Harder menyibakkan kain pengalang di jendela, lalu meloncat keluar. Di sekelilingtidak ada orang. Ia melangkah melalui pintu hijau yang membawanya melewatisebuah lorong, menuju Marine Parade.Kini ia seorang pelarian. Apa yang harus dilakukannya? Tiba-tiba muncul ide brilian.Ia masuk ke hotel dari pintu utama. Ia berjalan perlahan-lahan masuk ke serambibertiang, tempat porter berumur sekitar 50-an tahunberdiri dalam kejenuhan."Selamat malam, Pak.""Malam. Ada kamar kosong?""Mungkin ada. Kepala kamar sedang pergi sebentar, tapi ia akan segera kembali.Manajer hotel sedang ke London."Lomax Harder masuk dan duduk."Saya butuh minuman selama menunggu," kata Harder ramah."Akan saya siapkan, Pak. Tapi pelayan bar sedang cuti.Mohon sabar menunggu.""Hotel apa ini? Semua pelayan tidak di tempatnya. Apa semuanya ditangani olehporter?"Aneh, tidak adakah yang mendengar bunyi tembakan tadi? Padahal hotel ini dekatdengan tempat kejadian perkara (TKP).141Mengingat kembali peristiwa itu membuat Harder ingin berlari keluar. Tapi, bila ia lari,orang bisa curiga. Setengah dipaksakan, ia mencoba duduk dengan tenang.Porter datang membawa nampan berisi minuman pesanannya. Tanpa sungkanHarder menenggak habis minuman itu."Saya akan pergi sebentar," kata Harder sambil berjalan ke luar hotel, kembali keMarine Parade.Ia bersandar pada dinding dermaga Quangate. Tidak ada lagi orang di sini. Malamtelah lindap. Di kejauhan mercusuar berkelap-kelip. Cahayanya berpendar, kadangmerah, kadang hijau, ditimpalisinar putih. Riak gelombang menghantam dindingdermaga. Angin bertiup dari barat daya, tidak dingin.Harder melihat ke sekeliling, mengambil revolver dari saku mantel, dan diam-diammenjatuhkannya ke laut. Jam taman berdentang, sudah tengah malam.Dihantui rasa takutBagaimanapun dalam diri Harder lahir rasa takut yang luar biasa. Ia tidak yakinapakah ada saksi yang melihat perbuatannya atau tidak, atau ada orang yangmendengar bunyi letupan senjatanya atau tidak. Meski kecil, kemungkinan itu tetapada.Bisa jadi, ada orang yang mengenal Franting tahu kalausore itu Franting berjalanjalandengan seseorang. Nah, orang itu bisa memberikan keterangan detail sosokdirinya.Tapi, Harder tetap tenang. Tidak ada bentuk fisiknya yang menonjol, kecuali dahilebar. Untungnya, waktu itu iamemakai topi. Selain itu, sidik jarinya tidak tertinggal dijendela. Begitu juga jejak kaki karena lantai paving. Ia juga tidak tolol untuk kembalike tempat kejadian, seperti umumnya pelaku kejahatan lainnya.Kendati begitu, ia menyesal harus membunuh Franting. Namun, ia sadar sangatmenyukai Emily Franting yangkini menjanda. Rasa suka mendorongnya untuk tegamenyakiti siapa pun yang mengganggu kebahagiaan Emily. Jangankan satu, 100orang pun akan dia hadapi. Niatnya tulus, tidak mengharapkan sesuatu dari Emily.Ia hanya berniat melindunginya. Ia menyesalkan Emily mau diperistri Franting yangsangat obsesif. Ulah Frantingmenyobek surat Emily sebagai penyulut sigaretnyamembangunkan api kebencianpada diri Harder.Jarum jam bergulir ke angka empat. Harder berjalan cepat ke depan dermaga,langsung menghampiri taksi yang sedang menunggu penumpang. Ia batal menginapdi hotel. Sesegera mungkin iapergi dan mencari Emily.Taksi melaju ke stasiun.Sebuah kekhawatiran muncul tiba-tiba. Jangan-jangan hasil tindak kejahatannyasudah diketahui! Polisi bisa jadi sedang mengorek informasi dari para wisatawanyang masih berkeliaran.Sopir taksi melihat dirinya tidak tenang dengan sorot mata aneh dari kaca spion didalam mobil. Sial, rasa takut dan curiga itu terus menghantui.142Tiba di pelataran stasiun, perasaan ragu-ragu mencuatkembali. Namun, akhirnya iamasuk juga setelah menunjukkan tiket ke petugas. Ia menoleh ke segala arah, tapitak tampak tanda-tanda keberadaan polisi. Aman. Begitu masuk ke kereta tidur,sudah ada lima penumpang disana. Kereta berjalan.Victoria menjadi bagian tersulit dalam pikirannya, akibat ketakutan berlebihan.Jangan-jangan ada detektif yang ditugasi menyergap dirinya di sana.Tidak! Harder menenangkan dirinya. Kereta ini penuh wisatawan. Peronnya disesakipara pelaku bisnis. Dari hasil bertanya sana-sini, ia tahu akan ada konferensiinternasional di Kopenhagen. Pikiran kalut membuatnya tidak menyimak berita dimedia cetak atau elektronik.Hampir putus asa ia mencari Emily dalam kompartemen besar yang sedang berjalanitu. Namun, ia yakin, Emily pasti ada di sini. Bukankah iayang juga membelikan tiketuntuk Emily? Selain itu, Emily amat disiplin soal waktu. Tak ada kata tergesa-gesadalam kamusnya. Tapi, di gerbong mana?Jangan-jangan, hal buruk menimpa Emily? Misalnya, adapolisi yang meneleponbahwa suaminya ditemukan tewas dengan sebuah peluru bersarang di otaknya.Perjalanan dua jam itu amat menyiksa. Ia ingat telah ceroboh meninggalkan bagiansurat yang tidak terbakar di tempat kejadian perkara. Celaka, itu benar-benar konyol!Di Dermaga Parketson kebingungan kembali menyergap, gara-gara kerumunanpenumpang kereta. Namun, disisi lain, kerumunan itu menguntungkan Harder.Detektif akan kesulitan mencarinya. Kecuali bila detektif menghentikan danmengisolasi kereta.Kapal mengeluarkan tanda keberangkatan. Perlahan-lahan kapal menjauhi dermaga,merayapi kanal yang berliku-liku menuju mulut pelabuhan, bebas ke Laut Utara.Inggris mengecil dihiasi pendar-pendar sinar.Harder menjelajah tiap dek, dari haluan ke buritan. Emily belum juga dia temukan.Mungkinkah ia ketinggalan kereta, atau ia gagal masuk kapal karena ia tidakmenemukannya?Kengerian kembali mencengkeram hatinya. Mungkinkah di Esjberg nanti ia akandijemput detektif di dermaga?Semua kekalutan itu seketikaberubah, membuncah menjadikelegaan tatkala Emilymuncul di hadapannya. Kedua insan itu pun meluapkan kegembiraan mereka.Tampak benar betapa mereka saling membutuhkan."Jadi?" bisik Emily."Aku tidak akan pergi bersama. Pergilah, nikmati kebebasanmu," kata Harder."Kuharap, keputusanmu benar," ujar Emily tanpa protes.Jejak tertinggalSuperintenden Polisi Brian McKnight dan Sersan Detektif Trevor Berbick berada diruang biliar Bellevue. Keduanya berpakaian preman. Lampu sorot di ruangbiliarmengenai mayat John Franting yang belum dipindahkan.143"Saya tinggal dengan teman saya, Dr. Furnival," kata seorang pria yang tiba-tibabergabung dengan keduanya."Karena ia sibuk menangani kasus lain, sayamenawarkan diri untuk datang memenuhi telepon Anda. Kita pernah bertemu diScotland Yard.""Dr. Austin Bond!" teriak Brian McKnight, lelaki kurus dengan bibir tipis dan kumiskucingnya."Hai," kata temannya.Selain segan, sebenarnya Brian McKnight enggan berhubungan dengan Austin Bond.Soalnya, meski pakar dalam bidangnya, Bond sering melecehkan polisi yang bekerjakurang sigap. Sedangkan Trevor Berbick, belum apa-apa sudah merasa kecutmendengar nama Dr. Austin Bond.Bond memang detektif hebat. Ia berhasil memecahkan berbagai misteri terkenalseperti The Yellow Hat, The Three Towns, The Three Feathers, serta The GoldSpoon. Pergaulan dan wawas an luas membentuknya tidak sekadar seorang"pemeriksa" mayat korban pembunuhan. Akses langsungke petinggi Scotland Yardmembuat semua polisi memperlakukannya dengan sangat sopan."Ya," kata Bond setelah mengamati mayat dengan seksama. "Ditembak sekitar 90menit lalu. Lelaki malang! Siapa yang menemukan dia?""Wanita pelayan yang baru saja keluar. Ia menengok ke dalam setelah terjaditembakan.""Berapa lama?""Sekitar sejam lalu.""Apakah pelurunya ditemukan?" Berbick sekilas memandang McKnight."Ada, ini," kata McKnight mengangsurkan bukti temuannya."Kaliber 38," desis Austin Bond."Sersan, tolong pindahkan mayat ini sekarang. Dr. Bond akan melakukanpemeriksaan, bukan begitu, Dok?""Tentu, korban merupakan perokok sigaret," katanya. "Bisa juga pembunuhnya.""Anda mendapat petunjuk lain?""O, ya," kata Brian McKnight kalem. "Lihat ke sini. Senternya, Sersan."Sersan detektif mengeluarkan senternya darisaku. Brian McKnight mengarahkan keambang jendela."Ada yang lebih aneh," kata Bond ikut mengeluarkan senter miliknya.144McKnight menunjukkan sidik jari pada bingkai jendela, jejak kaki pada ambangjendela, dan beberapa helai benang baju murahan. Bond kemudian mengeluarkankaca pembesar, dan memperhatikan jejak-jejak tadi pada jarak amat dekat."Pembunuhnya pasti bertubuh tinggi. Ini tampak dari sudut tembakan. Iamengenakan baju biru, yang terkoyak di kusen jendela. Salah satu sepatunyaberlubang di tengah pada solnya. Ia hanya punya tiga jari pada tangan kirinya. Iamestinya masuk dan keluar melalui jendela, sebab porteryakin tidak ada orang yangmasuk lounge dari pintu manapun kecuali korban selama sekitar sejam," BrianMcKnight dengan bangga mengurai beberapa data temuannya."Nanti dulu, mungkinkah JohnFranting membiarkan seseorang memasuki ruanganmelalui jendela! Apalagi orangdekil seperti itu," sahut Bondjumawa."Lo, memangnya Anda kenal korban?""Tidak! Tapi saya tahu ia John Franting.""Bagaimana Anda bisa tahu?""Keberuntungan.""Sersan," kata Brian McKnight memperingatkan."Bawa porter hotel kemari."Mantan petinju kidalAustin Bond berjalan mondar-mandir, melihat-lihat sekeliling dengan saksama. Iamengambil secarik kertas yang terselip di antara tangga panggung yangmenghubungkan dua sisi ruang untuk memberikan tempat pengunjung bisamemandang sekeliling. Ia memandang sejenak, kemudian menjatuhkan lagi."Bagaimana kamu bisa yakin bahwa tidak ada seorang punyang masuk ke sinisesore ini?" tanya Brian McKnight kepada si petugas porter."Sebab saya berada di ruangan saya sepanjang waktu itu, Pak."Si porter terpaksa berbohong, demi kelangsungan asap dapurnya. Padahalsebelumnya ia sudah diingatkan akan akibatnya jika sampai berbohong."Pada posisi itu, apa kamu bisa melihat ke seluruh ruangan?""Bisa, Pak." "Mungkin ia sudah berada di ruangan itu," timpal Bond."Tidak mungkin. Wanita pelayan datang dua kali. Pertama sebelum Franting datang.Ia melihat api pemanas hampirpadam, jadi ia pergi mengambil batu bara. Ia kembalilagi membawa batu bara. Saatitulah ia melihat mayat Franting, yang membuatnyatakut. Ia pun pergi lagi - masih dengan membawa batu bara.""Ya, saya juga melihatnya," kata si porter.Satu kebohongan lain."Saya harus berbicara dengan wanita pelayan itu," kata Bond, setelah sebelumnyameminta si porter pergi.145Brian McKnight ragu-ragu. Apa maunya detektif ini? Bukankah tak ada orang yangmeminta bantuannya? Namun kemudian McKnight teringat akan akses Austindengan Scotland Yard. Jadi, terpaksa ia membolehkannya bertemu wanita pelayanitu."Apakah Anda membersihkan jendela hari ini?" Austin Bondmulai menginterogasi."Ya, Pak.""Tunjukkan tangan kirimu? Bagaimana jari-jari tanganmubisa hilang?""Akibat kecelakan mesin cuci,Pak.""Maukah kamu menuju jendela, dan taruh tanganmu di sana. Tapi, lepas dulu sepatukirimu."Perempuan itu mulai menangis, ketakutan."Jangan khawatir. Pakaianmu tersangkut di jendela 'kan?" bujuk Bond.Ketika wanita itu selesai menjalankan perintah dan akan beranjak pergi, sambilmenjinjing sepatu kirinya, Dr.Austin Bond berkata dengan ramah kepada BrianMcKnight."Hanya dengan keberuntungan. Saya kebetulan sempat memperhatikan, wanita itumemiliki tiga jari di tangan kiriketika ia berlalu di koridor. Maaf, saya membuyarkanteori Anda. Namun, sejak awal saya hampir yakin, pembunuhnya tidak masuk ataupergi mendadak melalui jendela.""Lalu bagaimana?""Saya pikir, ia masih ada dalam ruangan ini."Dua petugas polisi menyapu pandangan ruangan itu dengan saksama."Saya pikir ia ada di sana," kata Austin Bond menunjuk ke mayat Franting."Jadi, ia bunuh diri?""Tapi, di mana ia menyembunyikan revolvernya setelah mencabut nyawanya?" tanyaBrian McKnight mencoba membangun kembali kepercayaan dirinya yang sempatterjerembap."Saya juga sedang mencari jawabannya," tukas Dr. Austin Bond. "Anda lihat sakukirimantel itu? Perhatikan, agak menggelembung 'kan? Sesuatu yang tidak lazimtersimpan di situ. Sesuatu yang berbentuk seperti - coba bayangkan."Brian McKnight memeriksa saku dan menarik sebuah revolver dari saku mantelmayat itu."Ah, Webley Mark III. Masih baru!" Brian McKnight membongkar senjata itu.146"Ada tiga ruang kosong. Aneh, mana yang dua lagi? Sekarang, di mana pelor itu?Anda mengerti? Ia menembak kepalanya. Tangannya terkulai, dan revolvernyamasuk ke saku mantel.""Menembak dengan tangan kiri?" tanya Brian McKnight."Yah, begitulah. Beberapa tahun yang lalu, Franting bisa jadi petinju amatir kelasberat-menengah terbaik di Inggris. Alasan mengapa ia menembak dengan tangankiri, karena ia kidal. Ia memang sering merepotkan lawannya, tangan kirinya lebihmematikan dibandingkan dengan tangan kanannya. Beberapa kali saya melihatnyabertarung."Kemudian Bond melangkah menuju tangga tempat ia menemukan secarik kertas tadi."Ini, mungkin bisa menjadi petunjuk. Ini bagian dari surat. Anda bisa melihat, bagianyang terbakar ini mungkin sambungan surat yang ada didekat tungku perapian. Iamungkin menyalakan sigaret menggunakan surat ini. Coba baca ini."Brian McKnight membacanya."... saya sadar, kamu sangat mencintai aku, tapi kamutelah menumpas rasa sayangku padamu. Aku akan meninggalkan rumah kita besok.Ini sudah menjadi keputusan terakhir. E."Austin Bond kembali mendemonstrasikan kepiawaiannya memecahkan solusi yangmembuat para polisi itu mirip sekumpulan orang dungu.Nun jauh di sana, Emily Franting sedang duduk di lobiPalads Hotel, Kopenhagen.Lomax Harder baru saja menelepon mengabarkan kepadanya soal sidangterbunuhnya John Franting dari koran yang dibacanya. Juri memutuskan bahwakorban melakukan bunuh diri.Air mata mengalir di pipi Emily.Bahagia atau sedih?Tak ada yang tahu.Fiksi/Great Law and Order Stories/Yds