Saksi Penganiayaan Oleh Fajar Tri I. Penulis adalah mahasiswa Univ. Negeri Surabaya Aku sedih melihat gadis itu dipukuli kakaknya. Ingin rasanya menangis tapi tak bisa. Gadis itu menjerit dan meraung menjadi-jadi. Dan, tamparan laki-laki itu semakin keras. Ingin aku menolongnya. Tapi apa dayaku. Teriakan demi teriakan saling bersahutan. Mereka seperti kesurupan. "Beri aku uang atau kubunuh kamu!" ancam laki-laki itu sambil menjambak rambut si adik yang tak berdaya. " Tidak! Tidak akan kuberi meski kau bunuh aku! Bunuh! Bunuh aku!" Di luar dugaan, gadis itu memberi perlawanan. Dia mencakar wajah kakaknya dengan membabi buta hingga laki-laki itu merintih kesakitan. Seketika laki-laki itu melepaskan cengkeramannya dan menyentuh wajahnya yang berdarah. "Ah, keparat! Sialan kamu! Dasar pelacur! Lihat saja, kau takkan selamat lain kali!" Laki-laki itu mengerang sambil menutupi wajahnya lalu berlari keluar kamar. Aku sedikit lega melihat laki-laki itu keluar kamar. Rumah ini tidak pernah tenang jika orang "gila" itu kemari. Kulihat tubuh si adik lunglai. Disandarkannya punggung ke tembok kokoh tempat kakaknya tadi memojokkannya. Dia terduduk dan meraih kedua lututnya lalu menidurkan kepalanya yang penat. Kudengar isak tangis yang semakin lama menjadi tangisan pilu yang menyayat hati. Pelan kudengar dia memanggil ibu. Aku diam, belum pernah aku mendengar nama sosok itu dipanggilnya. *** Pagi menjelang, dia masih tertidur pulas di lantai sejak kemarin. Wajahnya tampak tirus tertimpa sinar matahari. Aku menatapnya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Gadis seusianya seharusnya masih menikmati masa-masa remaja. Bukannya menutupi wajah yang manis itu dengan kosmetik yang memaksanya untuk tampil dewasa dibanding usianya. Dia pernah bercerita padaku perihal kisah hidupnya. Dahulu, dia dan keluarganya hidup bahagia hingga ayahnya meninggal karena kecelakaan lalu lintas. Sejak saat itu, ibunya yang menafkahi dirinya dan kedua adiknya. Sampai suatu ketika, ibunya terlilit hutang kepada seorang lintah darat. Dan karena sudah tidak sanggup membayar, sang ibu terpaksa menjual kedua adiknya kepada seorang keluarga untuk menebus hutang. Namun, hutang itu belum lunas. Beberapa tahun kemudian, ibunya menikah lagi dengan laki-laki bernama Jun. Sejak saat itu, kehidupannya menjadi suram. *** Gadis itu perlahan-lahan membuka matanya. Matanya bengkak, wajah dan tangannya memar bekas pukulan kakaknya. Dia merintih kesakitan saat akan bangkit. Tangannya seolah-olah berat menahan tubuh kurusnya. Ah, seandainya aku bisa menolongnya. Kutatap wajahnya yang memancarkan ketegaran itu berusaha bangkit. Dia berdiri sekarang. Dia berjalan tertatih-tatih menuju pintu kamar. Lalu kulihat tubuhnya tak kulihat lagi. Lagi-lagi aku menyesali diri yang tidak berdaya menolongnya. Kehidupan pahit gadis itu dimulai ketika dia berusia 14 tahun. Om Jun yang sudah dianggap ayah kandungnya telah merenggut mahkotanya. Dia bercerita padaku bahwa om Jun mengancam akan membunuh adiknya jika dia tidak memenuhi keinginannya. Ibunya tidak pernah tahu karena dia takut kalau ibunya juga akan dibunuh oleh om Jun. Bertahun-tahun dia hidup di bawah penganiayaan dan ancaman om Jun. Lalu, suatu hari anak om Jun yang bernama Jimmy datang ke rumah. Ibunya pun kaget, tidak menyangka kalau om Jun punya anak. Tiba-tiba gadis itu muncul dari balik pintu kamar. Wajahnya kini tampak lebih segar. Rupanya tadi dia membasuh wajahnya. Dia mematut dirinya di depan kaca dan aku hanya bisa melihat punggungnya. Aku tidak tahu bagaimana rona mukanya saat berkaca. Saat dia berbalik, dia menatapku dan mengajakku bicara, "Kau tahu, kemarin aku bermimpi ketemu ibu." Dia mendekatiku dan menyunggingkan senyumnya. "Ibu kelihatan cantik sekali. Dia berusaha mengatakan sesuatu tapi sayang aku tidak mengerti." Nada bicaranya menurun, diikuti helaan napasnya yang berat. "Lalu ayah datang dan membawa ibu pergi." Dia mengalihkan pandangannya ke langit-langit kamar. Kepalanya sengaja ditengadahkan. "Sudah Ti, jangan menangis. Kamu harus kuat demi adikmu," ujarnya pada diri sendiri. Air mata yang siap mengalir itu tertahan di kelopak matanya. Aku terharu mendengarnya. Ingin sekali kupeluk dirinya untuk menunjukkan betapa aku menyayanginya. Tapi aku tidak bisa. Tatkala dia bercerita tentang adiknya yang hampir saja diperlakukan seperti dirinya oleh om Jun, tak henti-hentinya dia menyumpahi orang itu biar cepat mati. Tapi yang terjadi kemudian sama sekali di luar dugaannya. Tiga hari setelah kejadian itu, ibunya merasakan keganjilan pada sikapnya dan adiknya. Dan ketika ibunya mengetahui rahasia antara dia dan om Jun dariku, terjadilan peristiwa berdarah itu. Ibunya tewas di tangan om Jun. Adiknya histeris dan dia merasakan jiwanya direnggut secara paksa oleh pembunuh itu. Kekosongan dirinya semakin meradang ketika didapatinya adikunya menjadi sakit ingatan. Tidak ada tempat untuk bertumpu selain dirinya. Brak! Bunyi pintu kamar dibuka kasar diikuti sosok yang menakutkan itu. Sekatika gadis itu merengkuh pisau di sebelahku. "Jangan mendekat!" teriaknya. Sosok itu pun hanya tersenyum merendahkan. Wajahnya semakin sangar dengan sisa-sisa cakaran semalam. "Cih! Sok suci!" Kuperhatikan napas gadis itu memburu. Amarahnya memancar lewat sorot matanya yang tajam. Laki-laki yang tak lain adalah Jimmy itu berjalan, semakin mendekatinya. "Berhenti! Atau kubunuh kau!" ancamnya penuh amarah. Kulihat Jimmy sedikit gentar untuk melanjutkan langkahnya. Sebaliknya, gadis itu semakin mantap menggenggam pisau. Akhirnya Jimmy berhenti sekitar satu meter di hadapannya. "Hah! Ayo bunuh kalau berani!" tantang Jimmy. Melihat gadis itu diam saja, serta merta dia menendang pisau di tangan adik tirinya itu. Gadis itu mengerang. Dengan sigap Jimmy menyerangnya. Gadis itu menjerit kesakitan ketika tubuhnya didorong ke tembok. Dia ditampar bak barang rusak hingga ujung bibirnya berdarah. Jimmy tersenyum penuh kemenangan. Dipegangnya rahang gadis itu. "Ayo katakan, di mana kau simpan uang itu, pelacur!" bentaknya kasar. Cuih. Lemparan ludah dari bibir gadis itu mendarat ke muka Jimmy. Dia semakin garang. Tangan kanannya sudah siap mendaratkan tamparan yang bertubi-tubi ke muka adik tirinya itu. Gadis itu memejamkan matanya. Bersiap menahan perih yang akan diterimanya. *** Seminggu kemudian, berita penganiayaan gadis itu muncul di koran. Aku bersyukur semua penderitaannya sudah berakhir. Beruntung nyawanya masih bisa ditolong. Salah seorang tetangganya menemukannya dalam keadaan kritis setelah peristiwa penganiayaan itu. Kasus ini terungkap dari penuturanku. Yah, aku adalah buku diary Septi, seorang gadis yang selama bertahun-tahun dianiaya oleh ayah tiri dan saudara tirinya, Jimmy. Aku senang akhirnya aku bisa menolongnya. Berkat seorang penulis di sebuah majalah ibukota, aku kini menjadi karya sastra dalam sebuah novel yang mengungkap kisah pedih Septi.