Reuni Dua Bajingan - Randu Rini Dikemas 19/04/2003 oleh Editor Hari ini kami janji mau reuni. Sudah bertahun-tahun kami tak bertemu dan tentunya ada kangen yang menggasak dada, menyuruh bertemu lagi. Aku menunggunya di sebuah kedai dengan lampu hampir padam. Duduk di meja paling pojok sambil membasahi rokok yang terus menerus kumasukkan ke mulutku. Sambil menunggu, aku coba-coba tulis puisi. Tapi tak pernah jadi. Aku gonta-ganti judul dan berusaha bernegosiasi dengan setiap lembar kenangan yang masih kubuka-buka dalam hayalku. Sesekali kepalaku bergoyang mengikuti alunan swing lembut yang diputar pemilik kedai. Seleranya boleh juga. Dari jauh, roda kereta api menggesek relnya yang berahi. Apakah kereta itu membawa yang kutunggu? Sudah berapa lama aku menunggunya? Setahun? Dua tahun? Tiga tahun? Atau selamanya? Entah. Aku tak memikirkan soal waktu karena waktu tak pernah memikirkanku. Aku hanya memikirkannya, menunggunya. Aku merancang reuni ini terlebih untuk diriku sendiri. Aku tak pernah begitu mengerti soal 'pertemuan kembali'. Jadi tak salah kalau aku menjajal dengannya. Apakah ini akan berakhir di tempat tidur seperti dulu aku juga tak pernah mau peduli. Yang penting aku bertemu lagi dengannya. Lalu aku melihat dia, berjalan menuju arahku. Badannya masih tetap ramping dan tegap. Dadaku masih berdesir, seperti dulu. Dia memang selalu begitu, membawa segala ekstase bersamanya bahkan ketika dia berjalan. Dia mencium pipiku, hampir menyentuh bibirku. Kurang ajar! Tapi aku suka. Dia juga tertawa. Matanya menggerayangiku. Mencabik-cabik rambutku yang sudah termakan siang, kancing kemejaku yang terlepas di bagian dada, dan belahan rok yang mengumbar paha. Aku tampar pipinya lembut. Kamu masih saja jalang. Tapi dia cuma terbahak dan bilang kalau aku masih saja pintar. Aku tersipu, terbodoh-bodoh. Aku tahu maksudnya, dia suka caraku menyembunyikan tubuhku. Aku juga suka caranya memperlihatkan tubuhnya: begitu ditutup-tutupi. Dia pakai jaket yang dikancing sampai leher, celana jeans yang dibelinya bersamaku bertahun lalu dan terlihat lapuk sekarang. Ah, kamu memang bajingan. Kamu juga bajingan, katanya. Kami berdua tertawa. Sambil menyeruput teh hangat, kami mengumpulkan kembali berkas-berkas ingatan masa lalu. Sepertinya ini biasa dilakukan oleh setiap orang saat reuni. Dan aku bosan. Masa lalunya terlalu menjemukan. Dia pacaran, pacaran, dan pacaran. Pacarmu terlalu banyak, aku pusing menghafal nama-namanya. Setelah itu dia menanyakan masa laluku. Aku tidak pernah pacaran lagi. Aku suka wajahnya yang kebingungan. Dahinya berkerut saat menatapku dan kuakui sangat sexy. Aku tak perlu berteori tentang cinta di hadapannya. Aku cukup mengerlingkan mataku yang sepat kena asap rokok dan kuharap dia segera mengerti atau kami cuma buang-buang waktu saja di sini. Dia tertawa lagi. Aku makin suka melihatnya ceria. Lalu aku minta maaf karena tak hadir pada pernikahannya. Dia hanya menggeleng pelan dan berkata tak apa. Dia beritahu kalau isterinya sedang hamil lima bulan dan aku terpekik pelan. Sekarang aku bisa mengerti mengapa dia begitu bahagia. Dulu kami berdua pernah sangat menginginkan anak, tapi niatan itu terkubur seiring langkahnya meninggalkanku. Semoga keberuntungan itu datang kepadaku lain kali. Dia bilang dia mau punya anak lima, dan aku menawarkan diri. Dia tertawa lagi. Aku cuma kasihan sama isterinya dan tak ingin rahimnya tersiksa begitu lama. Dia makin terbahak. Aku memandangnya puas-puas. Dia sudah mau jadi bapak. Sinead mengalun perlahan di dalam kedai. lost my heart, but what of it? he is cold, I agree he can laugh, but I love it Because the laugh's on me I'll sing to him, each spring to him And long for the day when I'll cling to him, Bewitched bothered and bewildered Am I? Runutan waktu mundur mendekati masa 'kita'. Dia terdiam lama dan mencoba mengembalikan beberapa ribu byte ingatan tentang sebuah waktu yang berlangsung sangat pendek. Aku cuma diam, tak bergerak, walau hatiku perlahan-lahan kembali meleleh bersama air mata yang tak pernah kutangisi lagi. Kedai ini makin remang, seremang pembicaraan ini. Apakah waktu 'kita' memang sudah tak ingin dikenali lagi? Apakah kita masih perlu meraba-raba dalam gelap sambil bertanya-tanya: pernah ada? Tapi dia cuma menjawab dengan satu kata maaf. Aku terkesiap. Begitu lama aku menyangka bahwa segala ingatan akan diriku padanya sudah tercampur bersama selimut kumal dan ceceran sperma. Mengapa ada maaf? Aku sudah tak menginginkan satu kata maaf darinya, jauh setelah aku tak lagi menginginkan kata 'cinta' dan 'sayang' yang buatku sekarang sudah jadi lukisan surealis hampir abstrak. Kata 'maaf' ini jadi seperti sampah. Dia menggenggam tanganku kemudian. Menyeretku pelan-pelan dalam tong sampah yang baru dibuatnya. Aku memandangnya getir, hampir tak bernyawa. Kata-katanya mengalir seperti air got. Tak bergerak dan bau. Aku meronta-ronta, berusaha mengembalikan segenap diriku ke asal. Tapi dia menyekapku terlalu kuat, sama seperti dulu. Dia membiarkan aku jadi rempeyek basi di tangannya. Dan aku tak percaya dia melakukannya di sini. Di kedai ini, di waktu ini, di diriku yang ini! Tak lama dia melepaskan genggamannya dan bening membayang di matanya. Membuatku terperangah lagi. Mengapa dia harus menangis? Mengapa dia begitu tega mengurungku di sini bersama melankolinya yang terlambat. Sampah! Sampah! Ah, kamu memang bajingan. Dia menatapku lekat dan berusaha membelaiku dengan caranya yang sayang. Kutepis tangannya karena aku tak pernah punya niatan untuk bunuh diri. Tanpa sadar aku berada dalam ketidak seimbangan. Bau busuk begitu menusuk dan aku hampir berjanji tak ingin datang ke kedai ini lagi. Aku oleng. Kucampakkan dia seperti kertas-kertas salah ketik di tong sampah yang dibuatnya tadi. Aku menulis puisi baru, cerpen baru, novel baru. Lalu aku bacakan di depannya keras-keras dan cepat. Dia mendengarkan tanpa jeda. Setelah aku selesai, dia menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Dia menangis. Dia tidak pernah menangis. Bahunya naik turun sesenggukkan. Iba terbit di dadaku. Tapi aku hanya menepuk-nepuk kepalanya pelan. Dia meracau. Menggenggam tanganku lagi lalu meracau. Ditaruhnya seluruh hidupnya di depan papan dart, dan diberinya aku jarum-jarum tajam. Aku tertawa. Tak kusangka dia begitu tolol. Tua dan tolol. Kutuang secangkir teh dan kuberikan kepadanya. Reuni ini sudah tidak ada gunanya lagi. Aku cuma seorang pelacur bertitel yang ingin bersenang diri, seorang bajingan cantik yang tak ingin menjadi yang pertama, kedua, ketiga atau terakhir. Aku tak ingin jadi apa-apa selain diriku yang ini. Kunyalakan rokok dan kutawarkan kepadanya. Masih ada bekas lipstikku di sana. Dia menjilatnya perlahan dan aku tersipu seperti Jonggrang. Dan sudah kuduga akhirnya, reuni ini berakhir di tempat tidur hotelnya. Aku terbaring dan menertawakan dunia yang merana. I'm wild again beguiled again a simpering whimpering child again bewitched bothered and bewildered am I? [bdg,22Feb2003]