Putih Belum Tentu Putih - Marsiraji Thahir Dikemas 11/04/2003 oleh Editor Malam ini sungguh dangkal, bagiku, pun bagi kalian, yang bisa merasakan bagaimana aku sedang terkoyak keadaan. Kalau dulu aku selalu berceramah di mana-mana, dan selalu menghasilkan uang. Maka kini setiap malamku adalah ceramah kosong. Tak ada lagi yang mau mendengarkan. Bahkan Tuhan! Dan hanya malam, nyamuk, dan nyamplik yang masih peduli. O .. begitu malangnya aku. Kenapa aku jadi begini? *** Dulu aku seorang Dai tenar. Semua orang dari pelosok manapun mengerti kalau yang namanya Kiai Kun itu adalah Dai muda yang kondang. Apapun yang kubicarakan selalu menjadi perhatian, selalu menjadi panutan. Omonganku seperti sabda raja yang menggairahkan gelisah rakyat jelata yang sedang mencari ketentraman. Maka tak heran, dulu, aku sempat dijuluki sebagai Kiai Langit. O ... begitu bangganya aku. Aku jadi lebih mudah mencari uang. Semakin aku digandrungi orang, semakin naik pula ongkos untuk menyewa mulutku. Cara penyampaianku yang inovatif, humoris, lugas, dan mengena adalah ciri-ciriku, begitu kata mereka. Rasanya, di seluruh belahan Indonesia ini tidak ada daerah yang belum aku kunjungi. Semuanya telah. Bahkan tak jarang, suaraku sampai terdengar negeri tetangga. O ... begitu berharganya mulutku. Aku semakin bangga. Bahkan, saking berharganya mulutku, dulu sempat, akan ada yang akan membukukan suara mulutku menjadi sebuah mahzab. Mungkin seperti Nietzsche dengan sabda zarathustranya. O ... begitu bodohnya yang ingin membukukan. Sebab kuakui, dulu aku bekas bajingan yang pura-pura tobat. Bakat daiku kutemukan sewaktu aku masih mendekap di penjara. Berawal sewaktu aku menjadi panutan bagi para bajingan di penjara itu. Aku pun tak tahu entah kenapa. Apakah memang gara-gara aku yang pandai bicara, pandai merayu, pandai meyakinkan sesuatu kepada mereka. Entahlah. Yang pasti di penjara itulah aku menemukan bakat terpendamku. Setiap napi tunduk dengan omonganku. Ternyata mulut lebih kuat hantamannya dari pada gedenya badan. Buktinya, meski tubuhku kerempeng, aku bisa menaklukan para napi yang berbadan besar-besar itu dengan ocehan licin bibirku. O ... semakin berkuasanya aku. Mulai saat itu-lah aku mulai merancang masa depanku, setelah keluar dari penjara. Aku ingin mudah mendapatkan uang. Karena aku tak punya keahlian selain mencuri dan bersilat lidah. Maka pada saat itu aku memutuskan untuk mencari uang dengan bekat yang baru saja kutemukan, dulu. Aku ingin menjadi seperti Aa Gym atau Si Zainudin itu. Dan segera saja kususun angan-anganku dengan tekad. Sekeluar dari penjara aku belum mempunyai modal agar bisa seperti mereka. Aku tak mengerti agama. Uang pun tak punya untuk membeli buku-buku agama. Maka kuputuskan saja untuk mencuri sekali lagi. Untuk yang terakhir kali, begitu niatku dulu. Hasilnya akan kujadikan modal untuk membeli buku-buku agama. Lantas kuputuskan dengan segera. Aku mencuri di sebuah rumah milik suster. Aku pikir: suster itu kan tidak menikah. Jadi sudah barang tentu, kemungkinan besar ia tinggal sendiri di rumah. Apalagi duitnya, mungkin saja hanya dipakai untuk pribadinya sendiri. Wong juga tak ada kebutuhan lain yang melingkupi kehidupannya, selain kebutuhan pribadinya sendiri. Buat apa aku masuk penjara, kalau menaklukan rumah suster itu saja tak bisa. Pada tengah malam yang sunyi. Setelah aku tau benar, keadaan di sekelilingnya aman, aku dapat dengan mudah melompat pagar rumah itu. O ... begitu gampangnya. O ... bakatku tak pernah hilang. Aku mengendap-endap mencari persembunyian agar gerak-gerikku tak berbekas, tanpa suara, tanpa tanda-tanda. Sekali lagi, aku memang hebat, maling yang kondang. Tak ada reaksi ataupun semacamnya yang menandakan suster itu mengerti kalau aku sedang datang. Lalu kuyakini diriku: sebentar lagi aku akan mendapatkan uang, dengan melihat keadaan setelah diam memperhatikan cukup lama. Itu trik lama mencuriku. Tetap tak ada reaksi. Aku memutuskan lewat pintu belakang. Kucongkel-congkel pintu itu. O ... begitu sepelenya. Aku masuk perlahan. Gelap. Tak masalah. Mata pencuri lebih tajam dari pada lampu. Aku mengendap-endap lagi sewaktu kudengar suara pintu terbuka. Gawat! Sepertinya suster itu sedang keluar kamar. Clap! Lampu ruang tengah menyala. Benar! Aku mengintipnya. Suter itu sedang menuju belakang. Duh! Segera saja aku menyelinap, mencari aman bila suster itu memang telah mencium kedatanganku. “Aku harus jadi dai kondang!” Kata-kata itu yang terus mendorongku. Aku pencuri lihai, masalah begini aja, sangat-lah mudah mengatasinya, begitu ucapku menghibur diri demi keberaniaku. Aku menyelinap semakin sembunyi di tumpukan baju-baju kotor yang menumpuk begitu banyak di ruang belakang. Huh! Bau! Suster kok malas. O ... celana dalam. O ... kutang. O ... baju putih apek. Aku sempat menghitung. Lalu kubiarkan saja, aku menyelinap di tumpukan tujuh celana dalam dan tujuh kutang dan baju-baju putih itu dengan memendam diam. O ... rupanya sudah seminggu suster ini tidak mencuci. Rupanya suster masuk ke kamar mandi. Nah ... ini dia yang namanya rasa aman. Segera saja aku masuk ke kamarnya. Maling harus tangkas. Maka, kurang dari lima menit aku sudah menggondol setumpuk uang yang tersipan di bawah dipan. Aku berhasil. Setumpuk uang itu rasanya sudah sangat cukup untuk membeli buku-buku agama. Aku akan semakin bisa menjadi dai. Begitu ucap gembiraku. Secepat kilat aku melangkahkan kaki gaya maling kembali ke belakang. Suster itu belum keluar dari kamar mandi. Lagi be’ol kali. Derasnya air kran yang mengucur terhenti seketika. Gawat! Suster sudah selesai rupanya. Aku berjalan lagi. Tapi ... ada apa ini. Suara deras air kran terganti dengan desahan. Aku kembali lagi. Tak jadi keluar. Suara itu rupanya ketertarikanku. Desahannya semakin terengah. Gila! Lagi ngapain suster di dalam kamar mandi. Aku semakin tertarik melihat. Lalu dari lubang kunci itu aku mengintip. O ... begitu dahsyatnya. Semakin takjub saja aku melihat setiap gaya yang ia lakukan. Lumayan! Begitu kataku. Sambil mencuri duit, sekalian mencuri keindahan. Mumpung ada dan gratis. Aku semakin dibuatnya tenggelam. Gayanya canggih. Aku semakin tertarik. Bingung dan tak kuat melihatnya. Perkosa! Nggak! Perkosa! Nggak! Perkosa! Nggak! Kedua pilihan itu bersuara minta dipilih sambil menghitung jari. Jangan! Akhirnya suara itu yang keluar sewaktu suster itu sepertinya lemas dan sudah diam. Maka keindahan di lubang kunci itu aku tinggalkan demi keselamatanku. Aku cepat-cepat pergi dan melangkahkan gaya jalan maling lagi keluar. Akhirnya aku selamat. Aku berhasil. Lalu kutinggalkan rumah itu dengan gembira dan geli. Makanya nikah, Sus! Seks itu kebutuhan yang manusiawi. Ujarku sambil menghitung uang hasil curian itu di bawah pohon beringin besar sewaktu malam masih begitu gelap untuk menatap. Eiiit ... jangan menuntut untuk orang lain dulu. Wong aku sendiri saja belum menikah. Tapi itu gampang. Sangat gampang bila aku sudah tenar nanti. Dan semenjak mendapatkan uang itu, aku mulai beli buku-buku agama. Aku jadi sering di rumah. Keseharianku hanyalah membaca dan menghafal. Lalu aku memikirkan cara, agar menemukan jalan untuk tenar bila sudah siap nanti. Aku mulai pura-pura berdoa, seperti yang telah kumengerti dari buku-buku itu. Dan aku berusaha dengan sesungguhnya, seperti sewaktu akan menjadi pencuri yang berhasil dulu. Ternyata kata buku-buku agama itu benar; Tuhan maha pemurah. Aku tak menyangka. Berpura-pura berdoa saja Tuhan mengabulkan. Apalagi sungguh-sungguh. Begitu pemurahnya Ia sebenarnya. Akhirnya dari usahaku yang sungguh-sungguh dan doaku yang pura-pura aku menjadi dai yang lambat laun makin dipandang orang sebagai dai yang menakjubkan. Cling! Nasibku sudah mulai berubah. Kun faya kun-nya Tuhan itu ternyata juga benar. Tapi kenapa dalam buku-buku itu selalu mengatakan kalau hidup dan kesuksesan itu adalah amanat dan cobaan. Ah! Biarlah. Yang mengatakan cobaan atau tidak itu kan bibirku. Hatiku tidak! Resep getuk tularnya orang-orang jawa itu pun terbukti. Dari mulut ke mulut aku menjadi bisa tenar. O ... begitu berharganya mulut. Bahkan dari stasiun-stasiun radio dan televisi aku jadi lebih terkenal. Bayaranku bukan lagi jembanan, tapi lebih dari seratusan ribu. Seiring kesuksesanku aku menjadi kaya. Di mana-mana aku selalu dibutuhkan untuk menentramkan, meluruskan, dan mengingatkan. Sebenarnya aku juga heran. Apalagi orang-orang yang belum bisa membaca ayat-ayat itu. Karena tidak bisa membaca, ya akhirnya, mereka lebih percaya mulutku dari pada mulut Tuhan lewat ayat sucinya. Padahal aku pun tidak bisa membaca. Namun bedanya, aku selalu menghafal sampai terdengar fasih. Dan mereka tak mau membaca dan menghafal, maunya mendengarkan omongan. Jadi untuk membedakan sesungguhnya siapa aku, sangatlah sulit kiranya. Maka celakalah bagi siapa saja yang tidak bisa merasakan betapa celakanya jika mengerti sesungguhnya siapakah aku. Wong pada kenyataannya mulut itu hanya bisa tertutup dengan uang. Aku berceramah ke sana kemari kan hanya karena uang. Kalau saja aku kaya, tak mungkin-lah aku menjual mulutku untuk berpura-pura berseru. Mendingan aku diam saja di rumah bersama istri dan anakku. Hus! Istri yang mana? Anak yang mana? Istri saja belum punya, kok menanyakan anak. Tapi bukankah keyakinaku, setelah tenar, aku akan mudah mencari istri. Lantaran itu, selain untuk mencari uang, kuorientasikan dalam setiap ceramah untuk mencari istri. Namun apalah kiranya. Ketenaranku mulai tersendat sewaktu kebenaran dalam diriku mulai terbongkar. Padahal, boleh dibilang ongkos untuk mengundang Aa Gym dan Si Zainudin itu masih jauh lebih rendah daripada untuk menggundangku berceramah. Pada awalnya aku berpikir, ya begitulah, kalau orang iri melihat kesuksesan orang lain. Walau sebenarnya dulu aku juga. Tapi aku kan tidak merusak nama yang sudah ada. Aku bersaing secara sehat sampai aku bisa seperti kemaren-kemaren. Namun ternyata dari rasa iri itu bisa membuat manusia lebih beringas. Entah kenapa. Satu temanku yang dulu sebangsal denganku di penjara baru saja keluar. Rupa-rupanya ia sedang dan baru mengikuti jejakku. Namun ya itu tadi. Ketenaranku tidak ada yang mampu menggantikan. Mungkin gara-gara itu kali ya. Dia semakin geram akan menjatuhkan namaku. Dia memang kurang ajar. Dia membeberkan tentangku di masyarakat luas. Mending kalau cuma satu daerah, yang berarti di daerah lain aku masih punya potensi untuk mendapatkan uang. Tentangku ia beberkan di seluruh pelosok lewat media masa. Bangsat bener dia. Apalagi yang namanya rakyat Indonesia, apa saja selalu ditelan mentah. Ya itu tadi, berita-berita tentangku menjadi mudah mempengaruhi mereka. Sahabat itu ternyata bisa lebih kejam dari pada binatang alas. Padahal hanya dengan dia-lah dulu aku mengutarakan maksud dan angan-anganku sewaktu ingin menjadi dai tenar. Mempercayai orang lain memang tak mudah. Apalagi kalau kepentingan uang sudah dinomorsatukan. *** Itu semua tadi cerita dari awal sampai aku hancur. Sekarang aku menjadi tukang tambal ban. Aku tak punya pilihan lagi. Sebab, gara-gara ketenaranku juga, aku jadi tak semudah bergerak seperti ketika menjadi pencuri. Dia memang kurang ajar! Eeee ... malah dia sekarang sepertinya akan mulai tenar, dengan dalih mantan napi yang tidak berpura-pura bertobat. Tapi biarlah. Itu kan hak dia. Ya setidaknya beginilah, sedikit yang masih membekas setelah aku berpura-pura jadi dai tentang berbesar hati itu. Tak peduli! Malam ini ada yang lebih kupedulikan dari pada memikirkan sahabat yang kepret epret epret itu. Dari tadi aku baru mendapatkan tiga ribu. Sebuah peralihan yang sangat. Biasanya saja sewaktu dulu masih menjadi dai aku dalam waktu satu jam bisa mendapatkan uang ratusan ribu. Tapi sekarang ... sudah sedari sore tadi aku baru mendapatkan satu pasien. O ... gobloknya aku. Tiba-tiba saja aku menemukan ide yang tidak dari tadi-tadi. Kenapa aku tidak menyebar paku saja. Lalu dengan harapan kusebarkan paku-paku di sepanjang jalan. Nah ... kalau sudah begini kan aku tinggal menunggu pasien tanpa berharap. Itu sudah pasti. Sebab, tak mungkin rasanya yang lewat di sepanjang jalan ini akan selamat dengan paku-paku rejekiku. Ternyata benar. Dalam waktu yang sangat singkat. Dari kejauhan sudah kulihat seorang sedang menuntun sepeda motornya. Dia pasti sedang membutuhkanku. Maka jangan kau maki orang-orang sepertiku. Wong kalian juga membutuhkan. Begitu geramku dalam tawa yang terbahak pada penyesalan nasib kenapa aku jadi begini. Orang yang pertama tekena paku rejekiku ternyata suster yang dulu uang dan keindahannya pernah kucuri itu. Aku kaget. Dia tidak. Sudah tentu. Wong dia tidak mengerti kalau aku-lah yang sudah mencuri uang dan keindahan tubuhnya itu. “Bocornya dari mana, Bu!” “Dari sana, Mas. Maaf, Mas. Saya masih risih kalau dipanggil bu. Mending panggil saya mbak atas sus saja.” “O ... iya Mbak. Maaf ... maaf, Sus.” jawabku sambil tertawa dalam hati. Tapi memang benar juga. Suster itu masih kelihatan sangat muda. Paling-paling masing berumur dua delapanan. Aku tak bisa konsentrasi menambal sepeda motornya. Lompatan-lompatan kejadian yang pernah kulihat di malam itu membayang kembali. Sesekali aku meliriknya. Seolah mataku bisa menembus pakain putihnya. Aku jadi seperti dalam iklan rokok long beach. “Baru pulang, Mbak?” Tanyaku sok akrab ketika ban sepeda motornya sedang dipanasakan. “Iya, Mas.” Jawabnya rada acuh. “Pulang ke daerah mana, Mbak?” “Di daerah sana?” “Kok sana. Di terminal itu ya?” “Ah ... sampeyan ini bisa saja, Mas.” Jawabnya sambil senyum. Rupanya dia sudah mulai lentur dengan guyonku tadi. Lalu kulanjutkan lagi: “Wong saya nanya bener-bener kok malah dijawab guyon.” “Kenapa? Masnya mau main ke rumah?” paparnya. Namun sebelum aku melanjutkan pembicaraan dengan tanyaku lagi, ia rupanya memperhatikan api yang telah padam, “itu, Mas, apinya sudah mati!” Aku tak jadi menjawabnya dengan iya atas pertanyaanku tadi. Tapi biarlah. Akan kubuktikan kalau aku mendengarkan tawarannya tadi dengan sungguh-sungguh suatu saat nanti. Sebelum juga aku selesai menyelesaikan sepeda milik suster itu, lima antrian sepeda motor sudah berderet. Kalau begini kan aku jadi mudah mendapatkan rejeki, gumamku melihat semakin banyak antrian yang datang. “Makasih ya, Mas.” “Iya, Mbak. Sama-sama.” Suster itu menjalankan sepeda motornya lagi. Beralih, aku mengerjakan satu demi satu antrian pasien itu. Tapi tetap saja aku tak bisa konsentrasi. Mbak suster tadi benar-benar mengusik. Awas kamu, Mbak, Sus! Akan kubuktikan tawaranmu tadi. Bayang-bayang suster itu masih saja belum menghilang sampai pasien yang terakhir. *** Beberapa hari kemudian aku datang ke rumah suster itu. Dia sedang ada di rumah. Baru libur, katanya. Kebetulan, kataku. Ternyata aku telah dibuatnya jatuh cinta. Aku ingin mencari istri, bukan pacar. Itu-lah harapanku. Dan dengan sedikit grogi kuutarakan saja maksud kedatanganku dan perasaanku setelah panjang ngobrol kesana kemari. “Aaa ... apa Mbak Narti mau menjadi isteriku?” Ia kaget. “Apa tadi kamu bilang!” “Iya ... Mbak. Aku mencintaimu. Apakah Mbak Narti mau menjadi istriku?” “Gila kamu! Aku ini suster. Tak butuh kawin!” Seketika mukanya merah padam. Aku jadi tak nyaman. Akhirnya dengan kecewa aku pulang sambil ngrundel dalam hati: siapa bilang kamu nggak mau kawin, Sus! Yogya, 2002