Jakarta, suatu waktu, suatu tempat. Entah sudah berapa lama dia rindu pulang. Rindu pada kampung yang sangat dicintainya. Pada rumahnya yang sempat menyaksikan dia lahir, tumbuh, dan dewasa. Pada kenangan yang selalu dirindukannya untuk kembali. Sebab, setiap waktu adalah jejak yang ditanggalkannya. Jejak yang akan menyisakan bau-bauan yang hanya dapat dikenal oleh dirinya sendiri. Telah ribuan, bahkan jutaan kenangan yang sudah dia lewati dari kampungnya. Bukankah setiap detik, menit, jam dan hari-hari selalu mengirimkan kisah yang akan menjadi jejak dan kenangan bagi seseorang kelak? Kenangan yang pernah dia rasakan, tak akan pernah hilang dari kepalanya. Tidak! Sudah berapa lamakah dia tidak pulang? Entah, dia tak ingat betul. Barangkali sejak dia kawin dan memutuskan pindah ke kota. Keputusan itu datang tiba-tiba saja, ditambah bujukan istrinya, ditambah suasana sepi sepeninggalan kedua orangtuanya waktu itu, ditambah berbagai pertimbangan-pertimbangan yang selalu mengusiknya. Setelahnya, dalam waktu yang sangat cepat. Keputusan yang sangat cepat, dia dan istrinya pindah ke kota. Sejak kepindahan itulah, dia tak pernah lagi ingin menghitung hari-hari yang dia lewati. Sekali pun tidak. Hasilnya, hari-harinya kini tak lagi berarti. Hanya bau kematian saja yang setiap hari dia dapatkan. Bahkan setiap detik, menit, jam, dan hari-harinya seperti terbuang sia-sia, memaksa untuk selalu kembali dari awal, tanpa rasa puas dan selalu berisi penuh tuntutan. Semua ini membuatnya bosan, kesal, benci, dan marah. Kenangannya hampir musnah! Bagaimana tidak? Suasana sejuk, ramah, dan penuh ketulusan tak pernah dia temukan lagi. Nyanyian kodok di halaman rumahnya yang selalu dia dengar setiap malam, kini telah digantikan oleh bunyi-bunyian elektrik yang asing baginya, membuat telinganya hampir mau pecah. Bahkan semua kedamaian selalu saja digantikan oleh keangkuhan demi keangkuhan yang lagi-lagi memisahkannya jauh-jauh dari kenangan. Hidupnya kini harus berhadapan dengan berbagai-bagai strategi, kelicikan, kesombongan dari orang-orang yang selalu saja mendewakan kemenangan yang sesungguhnya tak pantas disebut menang. Keberhasilan yang bukan keberhasilan. Kekuasaan. Semua itu adalah kebohongan, kepura-puraan, sandiwara. Sehingga lama-kelamaan barulah dia sadar bahwa ketulusan, keluguan, kejujuran adalah sampah saja. Hanya sampah. Kehidupan kota semakin lama semakin terasa kejam. Keadilan dan kesejahteraan seolah-olah hanya milik orang-orang yang berkuasa. Namun sebaliknya, hukum dan peraturan hanya diperuntukkan bagi orang-orang miskin dan tak berpendidikan seperti dia. Tidak seperti di kampungnya; keadilan milik semua, peraturan milik semua, hukum milik semua, semuanya milik semua. Semua. Ah, makin pusing saja kepalanya memikirkan itu semua. “Besok kita pulang, dik,” katanya pada istrinya. “Mengapa, bang? Bukankah disini terlampau enak? Di kampung itu ada apa? Apa kau mau seperti dulu lagi? Jadi orang bodoh, ketinggalan jaman. Sudah, kau kerja saja sana. Biar bisa beri aku uang lebih buat belanja, gitu. Tidak usah ngomel melulu!” Sejak itu, dia tak lagi sudi bekerja, tak lagi sudi berbicara dengan istrinya, tak lagi sudi mengurus anaknya. Hatinya benci. Sampai suatu saat dia tak lagi bisa berbicara dengan istrinya sendiri, tak lagi bisa melihat anaknya sendiri. Mulutnya bisu, matanya buta, serta-merta hanya kepada istri dan anaknya saja. Ada sebuah dimensi yang tidak bisa dia jelaskan sendiri yang memisahkan dia dari istri dan anak yang dulu dia kasihi. Sebenarnya sudah berapa lama dia rindu pulang? Rindu pada kampung halamannya. Mungkin sekaranglah puncak kerinduan itu mencapai ubun-ubun kepalanya, mengental dan mengeras, membuat darahnya mengalir kencang, membuat jantung, kepala, tangan, kaki dan semua organ tubuhnya bergetar dan meronta-ronta, semua mau pulang! Lalu dia pusing. Berdiri. Mengelus dadanya. Menenangkan pikirannya. Berjalan. Bergegas pulang dalam waktu yang sangat cepat. Pada kampung halamannya yang dia cintai. Pada keputusan yang baru saja diambilnya. Catatan harian, suatu waktu, suatu tempat. Bulan purnama tergantung. Jejak langkahku makin lama makin lama makin keras tercium. Aroma kedamaian makin lama makin terasa. Aku sendirian. Istri dan anakku kutinggalkan. Masalahnya bukan aku curang, tapi aku tak lagi mampu melihat dimana mereka berada. Bau mereka pun telah hilang, punah, musnah dari indra penciumanku. Ah, buat apa kupikirkan panjang-panjang. Hidup memang selalu akan menghasilkan perpisahan. Hanya caranya saja yang berbeda-beda. Tapi, itulah hukum tak tertulis yang akan selalu ada sepanjang manusia ada, dan bertahan sampai tiada. Bukankah selama langit masih di atas kepala dan tanah masih di bawah tapak kaki, pemisahan masih terus berlanjut? Kecuali, bila tak ada lagi aku memisahkan langit dan bumi ini, barulah semua itu tak lagi terpisah oleh karena keteladanan. Malam makin gelap. Aku teringat mereka, istri dan anakku. Sedang apa mereka? Ooo.. aku tahu! Mungkin mereka sedang menipu atau ditipu orang, atau sedang memfitnah atau difitnah orang, atau sedang membunuh atau dibunuh orang…..., Hiii…Kota memang terlalu menyeramkan, membuat manusia terbuai, terpengaruh. Suasana itulah yang membuat hati yang polos bisa jadi buas dan menakutkan. Maka dari itulah, istri dan anakku kini berubah. Mulanya mereka terpengaruh, coba-coba, dan lama-lama kebiasaan. Aku jadi teringat istriku yang suka menuntut macam-macam padaku, minta rumahlah, motorlah, perhiasanlah, baju barulah. Padahal dulu dia selalu menerima apa yang kudapat, apa yang mampu kuberi. Apalagi anakku, baru masuk sekolah, sudah minta dibelikan sepatu barulah, tas barulah, buku barulah, semua serba baru. Dan yang terakhir untunglah aku tak bisa melihat dan berbicara dengan mereka lagi. Ohh, Alhamdulillah. Hening…………………… Bulan mau tenggelam. Matahari mau terbit. Berdesak-desakan dengan gumpalan awan yang kusaksikan sendiri dari sudut jendela bis ini. Makin lama semakin dekat aku diantarkan bis ini kepada kampungku, kepada masa kecilku, kepada tanah orangtuaku yang telah ditanam di dalamnya. Sebentar lagi, yah sebentar lagi aku akan menumpahkan semua bebanku. Semuanya. ---Pandopo Padalaran--- Suatu kampung, suatu waktu, suatu tempat. Akhirnya, tiba juga dia di kampungnya. Pada jalan di kampung yang mulai berubah. Sudah diaspal. Tak seperti dulu, hanya jalan tanah saja yang ada. Matahari sudah tinggi. Lama juga perjalanan yang sudah dia tempuh untuk kembali ke kampung halamannya. Kurang lebih dua hari dua malam telah dia habiskan dalam perjalanannya. Baru saja dia membayang-bayangkan kenangan yang terus mengusiknya, harapan yang terus diharapkannya, dia berpapasan dengan seorang pemuda. Pemuda itu biasa saja penampilannya, mukanya kusam. Siapakah? Rasanya dia kenal. Ingatannya mondar-mandir. “Oh,..kau rupanya. Apa kabar? Bagaimana keadaanmu sekarang? Baik? Ah..masih ingat aku kan? Masa lupa?” kata dia setelah ingat betul siapa pemuda itu. Tubuh pemuda itu ingin langsung dirangkulnya. “Eit…eit, tunggu dulu. Siapa kau? Aduh. Tak usah cari perkaralah sama aku! Sok kenal segala, kuno!..kuno! Cara lama!” Dia bingung. Apa maksud kau? “Hoi..hoi. masa lupa? Kau Galuh kan? Kawanku dulu kecil. Aduh, jelek benar ingatan kau ini. Iya kan? Aku ini Pandopo, lupa?” Pemuda itu diam. Berpikir. Mengerut-ngerutkan dahinya. Sedangkan dia diam saja, menunggu temannya ingat. “Ohhh..oo.., kau rupanya. Iya-iya, aku ingat. Bagaimana pula kabar kau? Wah darimana saja kau? Ck…ck..ck, kelihatannya sudah mapan kau. Sudah makan? Hahaha.., bolehlah kau traktir aku makan dulu, belum juga makan aku dari pagi hahaha,” “Eh, iya iya bolehlah, kita kan kawan lama. Hahahaha.” Sesudahnya, langsung saja kedua kawan lama itu tancap gas ke warung makan terdekat. Mereka berjalan sambil senyum-senyum terus. Pada jalan-jalan yang dititinya, barulah dia bisa melihat perubahan kampungnya yang dia pikir cukup drastis. Disana-sini sudah banyak dibangun gedung dan rumah-rumah besar. Rupa-rupanya listrik pun sudah masuk ke kampungnya. Waw, canggih betul. “Makan apa?” kata kawannya setiba di warung sambil senyum-senyum terus. “Seperti dululah.” “Wah..wah, seperti dulu bagaimana? Ayam goreng pred ciken atau stik sapi?” Dia jadi bingung. Gantian pula dia mengerut-ngerutkan dahinya sekarang. “Ah, terserah kaulah kawan.” “Bang, aku minta stik sapi dua, sama pred ciken dua. Minumnya air putih saja dua. Jangan lama-lama ya, bang!” kata kawannya teriak-teriak kepada pemilik warung. “Ayolah duduk. Kenapa kau ini? Santai saja. Hahahaha. Ngomong-ngomong kau ada uang tidak? Kalau ada, pinjamlah sedikit. Begini, anakku sakit, kau tahu tak kalau di kampung ini mulai menyebar wabah diare? Nah! Anakku kebetulan kena. Perlu banyak biaya untuk ke dokter, beli obat, macam-macamlah. Kau tahu sendiri kan, jaman sekarang ini mana ada yang murah lagi. Tolonglah aku!” “Yang benar? Waduh harus sesegera mungkin kau bawa anakmu itu ke dokter. Baiklah, ini kupinjamkan kau uang. Sesama manusia bolehlah saling menolong, apalagi kita kawan Tapi, kapan kau mau bayar? Soalnya uangku tinggal ini saja.” Diberikannya semua uang kertasnya kepada kawannya itu. Kawannya mengambil uang itu sambil tersenyum malu-malu. Mereka makan dengan lahap. Sesudah makan, dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, kawannya langsung pergi sambil berkata kalau dia mau pulang mengurus anaknya yang sakit dan mengucapkan terima kasih padanya seraya berjanji akan mengembalikan uangnya besok pagi-pagi sekali. Sesudah makan kenyang, dia langsung pulang ke rumahnya. Bersiul-siul sambil tersenyum-senyum kepada setiap orang yang ditemuinya. Sesampai dirumahnya, barulah dia tahu kalau di sebelah rumahnya itu sudah dibangun sebuah gedung yang tinggi, megah, dan bagus sekali penampilannya. Entah untuk apa? Entah milik siapa? Tapi, badannya sudah terlampau lelah untuk melihat-lihat dan masuk bertamu ke rumah itu. Lalu dia masuk rumahnya dan mendapatinya sama seperti saat dia meninggalkannya. Rindunya terpenuhi satu-satu. Tanpa ganti pakaian, tanpa mandi, tanpa pikir-pikir dia langsung tidur. Pulas sekali. Besoknya, pagi-pagi sekali dia bangun dengan sakit perut yang tak bisa lagi ditahannya. Dia lari sekencangnya ke kamar mandi untuk memuaskan permintaan perutnya itu. Sesudah itu, sambil ngomel-ngomel terus karena sakit perutnya, barulah dia rasa kalau perutnya mulai lapar. Lapar, oh iya, baru dia ingat kalau bicara tentang lapar pasti juga bicara tentang uang. Dan bicara tentang uang, pasti juga bicara tentang kawannya kemarin. Mana dia? Mana Galuh? Tapi, setelah ditunggunya sampai matahari sudah jauh condong ke atas, kawannya tak juga muncul-muncul untuk mengembalikan uang. Sedang perutnya tak juga reda-reda laparnya. Dia berpikir sambil duduk kelaparan. Coba menghapus pikiran-pikiran negatif mengenai kawannya itu. Akhirnya, dia putuskan untuk mengumpulkan sisa-sisa uang receh yang masih dimilikinya untuk dia pakai makan. Setelah dikumpulkannya uang-uang sisa itu, dia bergegas keluar rumah pada pagi yang masih sisa. Sesampainya di luar rumah, dia dikejutkan oleh ribut-ribut yang berasal dari gedung besar di sebelah rumahnya. Ada dua orang yang sedang ribut-ribut disana, seperti mau berkelahi. Orang yang pertama berpakaian dinas polisi dilihatnya sedang menuding-nuding lawan bicaranya dengan kasar. Sedangkan lawan bicaranya itu terlihat pasrah saja, sambil menunduk lesu. Ditatapnya kedua orang itu dengan kebingungan. Didekatinya. Setelah dekat, barulah dia bisa melihat wajah kedua orang itu dengan jelas. Jelas sekali. Dia kaget juga, setelah sadar kalau lawan bicara polisi itu ternyata Galuh. Namun, baru saja dia sadar, tiba-tiba dilihatnya polisi itu hendak memukul kawannya. Bertambah kagetlah dia. “Hop,…hop, stop! Ada apa ini? Masih pagi begini sudah ribut-ribut. Stop!” teriaknya sambil melerai keduanya. “Siapa kau? Tak usah ikut campur! Ini bukan masalah kau!” jawab polisi dengan marah. Wajahnya garang. Sedang kawannya, Galuh, diam saja. “Baik, baik…begini bapak polisi yang aku hormati. Pertama, kalian berdua ribut-ribut di depan rumah aku. Kedua, lawan bicara bapak itu kawan aku. Ketiga, apa masalahnya tidak bisa diselesaikan baik-baik?” “Memangnya kau siapa? Jawab dulu! Mau kawan kau, kawan siapa kek. Aku tak peduli. Hei abang, kawan kau ini banyak hutang. Dia itu kalah judi. Apa kau mampu bayar?” kata polisi sambil melotot. Bertambah seramlah wajahnya. Kagetnya bertambah lagi satu. Ada apa gerangan? Polisi ini siapa? Hutang? Judi? Apa-apaan ini? “Ada apa ini?” tanya dia kepada kawannya. Kawannya diam saja sambil tertunduk lesu. Sedangkan, bapak polisi di depannya itu membusungkan dadanya, menyombongkan wajahnya. Dia jadi kesal. “Hoi bapak! Aku sudah tahu masalahnya. Begini, bapak Galuh ini anaknya sedang sakit. Nah, jadi dia butuh uang. Kurasa anaknya ini belum juga sembuh-sembuh. Bapak apa tidak kasihan sama dia? Apa tidak ada perasaan? Bapak ini seorang polisi, bukan? Hah, bagaimana pula? Benar tidak kataku itu?” katanya coba untuk menyimpulkan sendiri persoalan yang terjadi. Polisi itu dibuat kaget juga oleh jawabannya yang lantang itu. Polisi itu kini terdiam, sedangkan Galuh yang semula tertunduk gantian membusungkan dadanya, menyombongkan wajahnya. Polisi ini jadi malu. Biasanya dia yang bertugas mengintrograsi, membentak, menuding, mengancam orang. Tapi, kali ini dia yang harus mendapat semua itu dari manusia-manusia yang seharusnya menjadi mangsanya. Hukum karma? Ah! Otaknya berputar-putar. Goblok juga polisi ini, untuk berpikir pun memerlukan waktu yang lama. Tapi, tak lama polisi mengangkat wajahnya yang semula menunduk, berganti dengan senyum penuh kemenangan untuk pada akhirnya tertawa keras-keras. Terpingkal-pingkal. Galuh dan Pandopo dibuat heran olehnya. “Hahahaha, begini abang. Kujelaskan dulu sama kau duduk persoalannya. Pertama, aku tak tahu kau ini siapa. Kedua, aku ini polisi, jadi jelas aku lebih pintar dari kau, lebih gagah, lebih hebat, lebih berani… Ketiga, yang harus kau tahu, kawan kau ini tidak punya anak. Keempat, kau itu terlalu bodoh. Mengerti???” Kontan saja Pandopo terkejut. Kaget untuk kesekian kalinya. Nafsu makannya hilang. Kepalanya pusing. Dipandangnya Galuh lekat-lekat. Kawannya itu diam saja. Mengkerut lagi wajahnya. “Nah, bagaimana abang? Sudah paham? Hahahaha,” “Terus apa hubungannya dengan urusan judi yang kau sebut-sebut. Hutang yang kau sebut-sebut? Apa?” “Begini, aku kira uang yang kau pinjamkan sama tukang hutang ini!” Kata polisi sambil menunjuk-nunjuk kepala kawannya. Lalu menghela nafas. “Uang kau itu sudah dipakainya buat main judi di gedung ini. Sebelah rumah kau ini. Nah, seperti biasanya kawan kau ini kalah. Sampai mengutang segala. Dan sekarang dia tak mampu bayar. Coba kau pikir, bukankah sudah tugasku buat menangkap dia? Benar tak?” Pikirannya buyar. Debar jantungnya jatuh di bawah harapannya. Jatuh. Jatuh. Jatuh. Memvonisnya. Tak lama kemudian dia angkat bicara. “Judi? Bukankah itu dilarang? Haram hukumnya? Kenapa bapak yang polisi malahan menjadikan menagih hutang karena judi sebagai tugas bapak? Apa tugas bapak malah bukannya menegakkan hukum di kampung ini? Menangkap mereka?” kata dia berapi-api. Perasaannya hampir punah. Rasa kemanusiaannya tenggelam. Polisi itu lalu mengusap-usap tanda pangkat yang ada di bahunya. Pertanyaan macam ini memang sering didapatnya. Juga sering dipikirkannya. Direnungkannya. “Abang, menurut hemat aku, aku ini tiadalah bersalah. Kalau memang aku ini salah, pastilah kesalahanku itu lebih kecil dibandingkan petinggi-petinggiku, dibandingkan pemilik rumah judi ini. Kau tahu tak kalau keluargaku juga perlu makan enak, perlu hiburan, perlu uang. Bang, hukum bukanlah hukum kalau tidak dilanggar. Kehidupan bukanlah kehidupan kalau tiada kecurangannya. Benar tak?” Tapi, menurut dia kebenaran adalah kebenaran. Kesalahan adalah kesalahan. Sekecil pun tetap kesalahan, tak ada pertengahan diantara keduanya itu. Hitam dan putih mana bisa disatukan Sekarang mereka bertiga sama-sama terdiam dan tertegun. Dia menatap harapannya, menatap kampung yang dulu dia cintai. Menatap rumah yang dulu dia cintai. Menatap kawan yang dulu dia kasihi, dia percayai. Dan menatap keputusan yang telah dia pilih yaitu pulang. Percakapan itu tiba-tiba dibuyarkan oleh hujan yang memaksa turun bertambah geledek dicampur petir dahsyat seolah-olah sudah direncanakan untuk menghentikan persolan yang mulai dalam, mulai bermakna dan pada akhirnya harus dihentikan oleh kebencian yang perlahan timbul, tanda tanya yang semakin besar. Dendam! Setelah itu, mereka bertiga: dia, kawannya, dan polisi berlari menuju tempat berteduh yang mereka cari sendiri. Kawannya berteduh pada pelariannya akan hutang yang melilit, kepura-puraan, kebohongan atau lebih tepatnya melarikan diri pada kesempatan dalam kesempitan yang baru saja tercipta. Bapak Polisi itu berteduh pada pelariannya akan kenyataan bahwa dia adalah aparat bukan keparat seperti sekarang, bersembunyi dari hukum, kebenaran, keadilan, kejujuran yang selalu akan mengejarnya. Tanggung jawabnya! Sedang dia, berlari pada keteduhan yang fana. Pulang. Keputusan yang dia ambil adalah harapan-harapan yang sudah hilang. Betapa dia merindukan pulang. Pada kepulangan yang sesungguhnya. Palembang, 31 Juli 2002 Long imagination : Juni-Juli ‘02 R . A .