Kami kumpulkan seluruh kedirian kami untuk menjadi preman. Inilah yang terbaik bagi kami. Ketika jalan-jalan dan semua pintu telah tertutup, kami berhenti untuk berharap, kami buang mimpi kami akan kehidupan yang baik dan benar jauh-jauh. Persetan dengan harapan! Harapan hanya membuat kami merasa tersiksa. Ia seperti bandul mainan yang memaksa kami untuk terus mengikuti kemanapun ia bergerak. Dan pada saat kami sudah tidak lagi percaya dengan harapan itu, maka kamipun merasa lega. Dahulu kami juga pernah merasakan bangku pendidikan, setidak-tidaknya kami pernah menjadi murid, pernah mengecap bagaimana rasanya menjadi siswa, walaupun akhirnya kami tidak menjadi kaum terpelajar dan terdidik. Kami menganggap sekolah hanya sekedar legalitas formal seseorang untuk meraih status yang lebih tinggi. Sungguh-sungguh otak kami tidak mumpuni untuk hal seperti itu. Begitu juga dengan biaya yang ditanggung orang tua kami. Sampai kami tidak mengerti lagi arti sebenarnya dari bersekolah, berkuliah atau yang lain. Sewaktu kami telah dewasa, sering kali kami mengetawakan mereka yang bersekolah. Bagaimana tidak lucu melihat siswa-siswa itu bertarung di jalanan, seolah pendidikan di sekolah hanya mengajarkan mereka untuk bertahan hidup dengan menjadi preman seperti kami. Begitulah keputusan kami. Menjadi preman, segerombolan orang-orang yang murka atas kehidupan yang payah, orang-orang bebas, tidak terikat macam-macam peraturan, tidak pula perlu menjaga supaya aturan-aturan itu dijalankan dengan sebenar-benarnya; kalau kau bisa menenggak arak di depan sebuah gedung pemerintah, maka kau juga bisa membuang ampas arakmu di depan gedung itu sebagai kencing. Semuanya bukan tidak beralasan, kenapa mereka menyuruh kami mematuhi aturan-aturan itu, sementara kami tidak pernah mendapatkan apa-apa. Bahasa yang dapat kami mengerti sudah jelas bukan bahasa intelek. Preman itu manusia marjinal yang tidak dapat diajak bicara dengan rasio, apalagi nurani. Satu-satunya bahasa yang dapat kami pahami adalah bahasa “hitam putih”, yang tersalur melalui sebuah energi jahat yang serba kasar dan buas. Bahasa kekerasan. Siapa yang mengatakan bahwa kami manusia yang tidak berguna? Hanya menjadi parasit yang menghisap denyut nadi ketentraman sosial? Memang hampir semua orang mengatakan demikian. Tetapi mereka harus ingat! Kami dapat juga menjadi suatu bagian paling luar dari manusia yang lebih jahat, menjadi semacam martir karatan dari bajingan yang bisa membayar kami. Kami tidak perduli siapapun bajingan itu, bisa saja para koruptor yang ingin lepas dari jerat hukum, pejabat yang ingin tetap berada pada posisinya, kaum partai, sampai seorang Presiden. Terkadang kami bisa saja meneror orang yang pernah membayar kami. Siapa yang ambil pusing dengan semua itu? Tidak ada! Mungkin karena kami dan mereka menyembah berhala yang sama: Iblis dan Uang. Kami lima orang. Bono yang berperawakan kurus, Mat Sani yang pendiam dan buta pada salah satu matanya, Dagger yang bermuka dingin, Munte yang lebih ganteng dari kami semua, dan aku. Sekarang kami tengah berkumpul di sebuah gudang tembakau milik seseorang. Sebab kemarin, kami telah selesai melakukan teror terhadap pesaing bisnis pemilik gudang tembakau itu, dan kami ingin mengambil pembayaran terakhir. Kami tidak pernah bertemu secara langsung dengan orang yang menyewa kami. Bertemu atau tidak bukanlah hal yang penting, yang terpenting bagi kami adalah berapa ia sanggup membayar. Utusan pemilik gudang itu meminta kami menunggunya pada tengah malam, dan kami telah menunggunya satu jam lalu. Tatkala tengah malam sudah lewat hampir dua jam, si utusan belum juga menampakkan dirinya. Kami mulai gelisah, bosan dan merasa telah ditipu. Akar kekhawatiran sedikit demi sedikit tumbuh menjalar di hati kami. Ini perangkap! Polisi! Pasti polisi! Bisikan-bisikan sial itu mengacaukan syaraf otak. Kondisi itu diperburuk oleh geraman Dagger yang sudah naik pitam. “Setan!” Suara mengutuk dari mulut Dagger pecah. “Kalau keparat itu tidak datang, kita bakar saja gudang ini!” Kami berempat diam saja. Tidak seorangpun di antara kami yang berusaha menenangkannya. Gerombolan kami tidak mempunyai pimpinan. Kami bekerja secara naluriah, tidak ada yang mengatur atau yang mengambil inisiatif. Jika seorang dari kami terjebak dalam bahaya, maka ia harus berusaha membebaskan dirinya sendiri. Adapun kalau ia luka atau bahkan tewas, kami tidak lagi perlu membicarakannya. Ia luka, ia mati, ia menanggungnya sendirian. Buat apa rasa kasihan? Dalam dunia kami, hati nurani dan kasih sayang hanya seujung tahi kuku kami. Hukum Rimba yang berlaku di kalangan hewan mungkin masih mengenal tradisi kasih mengasihi itu, tetapi mahluk komplek seperti manusia selalu berhasil membuat hukum yang lebih keji. “Brengsek! Uh! Bejat!” Sebongkah batu yang menyembul dari rumbai daun tembakau yang membusuk menjadi sasaran kemarahan Dagger. Batu itu ditendangnya hingga terpelanting ke arah pintu gudang. Keremangan, aroma menyengat tembakau, bercampur aduk dengan nafsu yang kotor dan kejenuhan menunggu, sudah lebih dari cukup untuk meledakkan kedongkolan kami. Dan Munte, si tampan itu, malah menggurat-gurat tanah dengan sebuah ranting di tangannya. “Aku punya usul…” Tiba-tiba ia bicara. “Apa? Katakan!” Dagger menyambutnya acuh. “Kita tunggu setengah jam lagi. Kalau dia tidak muncul, kita bakar saja gudang ini.” “Tolol! Kemana saja telingamu itu! Tadi juga aku bilang begitu, Bego! “Ah…aku-kan cuma memperjelas usulmu, itu usulan yang baik.” Ia menjawab tenang-tenang. Gudang itu kembali hening. Entah kenapa kedongkolan yang ada di hati kami mendadak saja lenyap. Ketololan Munte seperti air es dingin yang mengguyur api di dada kami. Tapi tidak lama kemudian, gemeretak langkah sepatu terdengar. Di depan pintu langkah itu berhenti, sesosok bayang-bayang menyusup dari celah bawah pintu, kami mengira orang yang datang ini sedang mengamati keadaan di sekitarnya, kami segera bersiaga. Bono merapat ke dinding, sebilah badik dikeluarkannya dari balik jaket. “Biar aku terjang saja!” Bisik Dagger ke telingaku. “Sttt, mungkin dia utusan itu.” “Kenapa dia berhenti?!” Dagger sudah tidak sabar lagi “Ya, kenapa dia berhenti di situ?!” Sahut Munte. “Mungkin polisi!…mungkin bukan cuma satu orang!” Bono berkata pelan-pelan, badik ditangannya memancarkan kilatan cahaya yang haus darah. “Peduli apa! Terjang! Habisi!” Dagger sudah tidak dapat lagi menahan kegeramannya, ia sudah hendak beranjak maju, sembari menghunus samurai. Aku mencegahnya cepat-cepat. Sementara Mat Sani bergeming pada posisinya, seakan ia adalah seorang pendekar hebat yang tak kenal rasa takut dan sudah siap untuk mati, meskipun jelas sekali air mukanya tidak dapat menyembunyikan kepanikan. “Kita awasi dulu!” Aku membentak Dagger. “Cis! Itu tindakan paling bodoh! Selama kita mengawasi, dia akan memanggil teman-temannya dan mereka akan mengepung kita!” Ia memburu ke arah pintu dan aku mendorongnya ke belakang keras-keras. “Bedebah! Jangan coba mengatur! Menyingkir, Kau setan!” Ancam Dagger kepadaku. “Diam, Monyet!” Aku menjadi muntab. Sekali tinjuku melayang dan mendarat tepat di permukaan hidungnya, ia terhuyung, samurai di tangannya bergoyang-goyang. Kejadian ini, membuat insting binatangku bangkit dan menyuruh tanganku menggapai celurit yang terselip dibalik bajuku. Dalam pada itu, Dagger mundur dua langkah, memasang kuda-kudanya dengan mantap. “Ayo! Kau mau berkelahi, heh!” Ia pegang samurainya dengan dua tangan. Aku juga telah bersiap. “Hei, kenapa kalian ini!” Teriak Munte mencoba meredakan kemarahan kami berdua. Bono dan Mat Sani mendekat, tetapi mereka bertiga tidak berusaha mencegah perkelahian itu. Kami tidak perduli! Aku menaksir-naksir pertahanan diri Dagger yang paling lemah dan terbuka. Begitu aku mendapatkannya, celurit di tanganku akan berkelebat melukainya. Dan aku yakin, Dagger-pun sedang menaksir bagian tubuhku yang bisa dikoyak oleh samurainya. Perkelahian memang sudah tidak dapat dicegah lagi. Satu langkah Dagger, seiring dengan ayunan samurainya, aku lawan dengan tangkisan. Kedua benda tajam di tangan kami beradu, mengeluarkan suara denting yang menyeramkan. Berikutnya kami saling menyerang dan menangkis. Munte, Bono dan Mat Sani melingkari kami, membentuk arena pertarungan di dalam gudang tembakau itu. Mereka tidak berniat melakukan apa-apa, selain menunggu siapa di antara aku dan Dagger yang akan jadi pemenang. Kurang dari dua menit, aku dapat menyarangkan beberapa sabetan ke tangan dan perut Dagger. Ia terluka parah, darahnya mulai menceceri lantai gudang yang kotor. Ujung celuritku juga berhasil melubangi kepalanya. Tubuh kekar Dagger limbung, ia tidak mampu lagi mengangkat samurainya, teriak kesakitan mengiringi dirinya yang segera roboh. Perkelahian seketika terhenti, dan akulah yang tampil sebagai pemenang. Tapi aku rasakan sekujur tubuhku melemah, nafasku terputus-putus, pandanganku kabur, celurit di tanganku terlepas, jatuh ke lantai tanpa bisa aku dengar jelas bunyinya. Kesadaranku merosot dan yang bisa diperintah otakku hanyalah indera penciumanku yang membaui bau amis darahku sendiri. Dalam keadaan setengah sadar, aku terduduk bersandar ke tumpukan daun tembakau, aku tidak pingsan, sebaliknya aku berada antara hidup dan mati. Aku masih bisa melihat Munte, Mat Sani dan Bono memeriksa keadaan kami berdua. “Mati…Dagger mati!” Entah siapa yang mengatakan itu. “Bagaimana dia?” “Ah, paling juga sama. Mati.” Pintu gudang tiba-tiba dibuka. Seorang berumur sekitar empatpuluhan masuk ke dalam. Ia melangkah ragu-ragu. Munte, Mat Sani dan Bono terkejut, masing-masing mengeluarkan senjata. “Sial! Kau utusan itu-kan?!” Bono mencengkeram kerah bajunya dan mengguncang-guncangkan tubuhnya kuat-kuat. Si utusan itu pucat pasi. Bono belum puas, dihempaskannya tubuh si utusan ke dinding. “I…iya…” “Kenapa kau tadi diam saja di luar, tolol! Bentak Munte. “Ampun…sa…saya…ha…harus hati-hati…” “Apa, hah! Kau bikin kekacauan!” Bono menendang perutnya. “Ukh…Ampun…ampun…saya harus mengawasi…keadaan dulu, itu pesan bos. Ta..tapi waktu akan mem…buka pintu, saya dengar ke…keributan di sini…jadi saya tunggu…” “Dasar bedes! Mampus!” Bono dan Munte memukuli si utusan itu bertubi-tubi. Mat Sani hanya menonton perbuatan keduanya. Pada saat tubuh si utusan sudah melemah, Bono menikamkan badik ke ulu hatinya. Sedangkan Munte membentur-benturkan kepala si utusan ke dinding. Si utusan menjerit, menahankan pedih pada lukanya, lalu tubuhnya berkelojotan, ia meregang nyawa dan tewas. Aku menyaksikan semua peristiwa itu samar-samar. “Puh! Mampus dia! “Kita ambil uangnya dan cepat-cepat pergi!” Ketiga orang itu memeriksa baju si utusan yang telah tewas. Satu persatu kantong pakaian si utusan mereka buka. Mereka mempreteli mayat itu dengan garang dan kejam. Mat Sani menyerobot arloji, rokok, sepatu dan celana. Munte dan Bono lebih tertarik kepada uang. “Mana! Mana uangnya!” Geram Munte kesal. “Copot dulu kausnya!” Bono menarik-narik kaus oblong si utusan sampai robek. Kemudian mayat si utusan ditengkurapkannya. Ia temukan segepok tebal uang disampuli amplop yang diselipkan si utusan di kausnya. “Ini! Ha…ha…ha!” Bono melompat girang, lalu terburu-buru merobek amplopnya. Munte dan Mat Sani berusaha merebut uang itu dari tangan Bono, tapi cepat-cepat ia tepis. “Tunggu! Biar aku yang membagi uang ini! Kalian berdua tenang saja!” Ia melotot pada Munte dan Mat Sani. Yang terakhir ini memain-mainkan goloknya. Mengancam. “Cepat bagikan!” Mat Sani yang pendiam terbakar nafsunya demi melihat tumpukan uang yang sangat menggiurkan. “Harus dibagi rata!” “Hei! Kau mencurigaiku!” “Aku memang harus curiga! Jangan melarang!” “Jangan membentak!” “Tutup mulut!” “Kau…!!! Aku tidak mampu lagi menyaksikan akhir keributan itu. Kelopak mataku menyusut, suara-suara yang masuk ke telingaku berubah menjadi dengungan lebah. Duniaku gelap. Sampai akhirnya aku sadar dan sudah berada dalam ruangan serba putih. “Demikianlah kejadiannya, Pak.” Aku menutup ceritaku kepada Briptu Sumarno yang menanyaiku di ruang intrograsi, satu bulan setelah aku sadar dari koma dan sudah pulih dari luka-luka. Polisi muda itu manggut-manggut. “Kamu menyesal?” Tanyanya. Aku merunduk, tidak perlu repot-repot menjawab pertanyaan seperti ini. “Sayang sekali. Tidak.” Jawabku tegas. “Kenapa?” Tanyanya kembali. “Pak, sewaktu kemarin saya terluka dan hampir tewas, saya sudah menyesal, sebab ketika itulah saya menyadari betapa pentingnya arti harapan dan kasih sayang. Saat itulah saya menyadari bahwa akal sehat dan hati nurani lebih menyenangkan dari kekerasan dan kekejian…” Kapten Sumarno mendengarkan penjelasanku dengan khidmat. Aku melanjutkan. “Setiap kita punya garis kehidupan sendiri. Bapak seorang polisi dan saya seorang kriminalis. Di mata Tuhan kita sama, tapi mata Tuhan tidak sama dengan mata manusia. Dan akhirnya kita harus memutuskan jalan hidup kita masing-masing…Saya sudah memutuskan menjadi preman…Saya membunuh, dan itu salah. Saya mengakui, tapi saya tidak menyesal. Kadang kita menyesal tapi kita tidak menjadi sadar, kadang kita sadar, tapi kita tidak menjalani kesadaran kita itu.” Aku berhenti bicara, benar-benar melelehkan dan memalukan pembicaraan seperti itu. Sebab membuatku seperti seorang betara yang bijaksana dan suci. Kapten Sumarno memerintahkan bawahannya membawaku ke sel. Ketika aku memasuki ruang sempit berjeruji itu, seakan aku masuki sebuah lorong gelap dan panjang, hanya ada satu titik kecil terang yang jauh. Sangat jauh. Mungkin titik kecil terang itulah jalan keluar dari lorong gelap yang aku masuki ini. Betapa jauh. Aku dan semua manusia yang tersesat harus berjuang keras untuk mencapainya. Palembang, 15 Maret 2003