Pemanis Berharum Mawar BOWO bekerja di sebuah periklanan. Ia seorang visualiser. Aku bekerja di sebuah bank yang membuka cabang di gedung yang sama. Pada waktu istirahat siang kami bertemu di kantin. Suatu kali aku tersenyum ke arahnya karena ia mempersilakan si pelayan melayaniku lebih dulu. Kemudian kami berkenalan dan sering makan siang bersama. Kami saling menelepon ketika hendak meninggalkan kantor, agar tiba di kantin pada saat bersamaan. Jam makan siang yang terbatas membuat siapa saja memusatkan perhatian pada makan siangnya. Memperoleh, menghabiskan, lalu kembali ke ruang kerja secepatnya. Begitulah, aku dan Bowo pun lebih banyak menghabiskan waktu sepulang kerja, di rumah kontrakannya. Rumah kontrakan Bowo berfungsi juga sebagai kantor. Ia menggunakannya sebagai alamat menerima order dan mengiklankan dirinya sebagai visualiser "handal dan murah", tiga kali semi­nggu, di sebuah koran kecil. Dan telah banyak pekerjaan lepas yang ia peroleh. Menurut Bowo, secara ekonomis ia lebih leluasa dibanding beberapa temannya sekantor. Rumah kontrakan Bowo selalu terang-benderang. Ketika aku duduk di ruang tamunya, bau mawar setiap kali menyerbu penciumanku. Hal ini sekian lama menimbulkan tanda tanya di benakku. Dan suatu kali akhirnya kutanyakan langsung kepada Bowo. Dengan wajah agak malu, Bowo pun mengakui bahwa ia pernah meminta "pemanis" kepada seorang dukun, agar kliennya puas atas pekerjaannya. "Pemanis" itu adalah pewangi ruangan berbau mawar, yang harus disemprotkan Bowo setiap pagi di setiap ruang rumah kontrakannya itu. Setiap kali "pemanis" habis, ia harus membeli yang baru dan membawanya kepada si dukun agar "diisi". Di bagian tengah rumah kontrakan itu, ada sebuah ruang duduk yang diisi sebuah meja kecil dan dua buah kursi. Di atas meja kecil itulah, suatu hari, kutemukan tabung "pemanis" itu di antara tabung-tabung pewangi lainnya yang sudah kosong. Setelah kuteliti, segera kuketahui bahwa "pemanis" itu hanyalah pewangi buatan lokal yang harganya murah. Teman-teman wanitaku di kantor, menilai pewangi semacam itu "berbau menyebalkan dan norak". Banyak dijual di kaki lima, tak jauh dari gedung kantor kami. Aku dan beberapa temanku, berkali-kali melewati para pedagang minyak pewangi itu dengan jijik dan was-was. Khawatir, bau-bauan mereka yang tak mengenakkan itu menempel ke punggung kami dan terbawa ke ruang kerja kami yang resik. Namun "pemanis" Bowo membuatku merasa aneh. Mulanya aku memang agak jijik karena hidungku setiap kali terganggu bau mawar yang menyengat itu. Beberapa kali, aku malah nyaris muntah dan sudah membayangkan akan melepaskan diri dari pelukan Bowo, lalu berlari ke kamar mandi dan menumpahkan semua isi perutku di sana. Tapi kehadiran Bowo sebagai lelaki pujaanku, lambat laun agaknya membuat penciumanku menjadi semakin tumpul dan akhirnya kurang peka. Apalagi, setelah Bowo kemudian menceritakan latar belakang penggunaan "pemanis" itu, semata-mata hanya untuk menjerat klien. Maka, bau mawar yang berlebihan dan menjijikkan itu, kemudian benar-benar tawar dan terbiasa bagi penciumanku. Wewangian yang "menyebalkan dan norak" itu, malah membuatku takut kepada Bowo, sekaligus tak tahan berlama-lama jauh dari pelukannya. "Pemanis" itu, kadang kulihat dan kurasakan menjelma sebagai seekor ular yang melingkar di atas meja kecil itu. Diam tak bergerak, ular itu seolah tertidur di bawah penerangan ruangan yang temaram. Namun ular itu rasanya akan menyambar secepat kilat dengan taringnya, bila ia tersenggol atau memang sedang lapar. Lalu, bila aku terlalu ngeri memikirkan "pemanis" itu seper­ti seekor ular, aku pun menyumpahi diri sendiri sebagai si tolol yang membiarkan benaknya dikotori imajinasi menakutkan. Aku pun segera memusatkan perhatian ke arah lain, ke sosok lain, sosok yang lebih bersahabat. Misalnya, membayangkan "pemanis" itu sebagai seekor kelinci putih yang lucu. Maka, di tengah meja, kelinci itu pun memandangi dunia sekitar dengan tatapan tak berdosa. Sinar matanya seakan mampu menembusi apa saja; bahkan menembusi benakku yang secara perlahan mulai rileks dan jauh dari kengerian. Kemudian, ketika aku benar-benar merasa lega dengan diriku sendiri, maka "pemanis" yang telah berubah menjadi kelinci mungil itu, akan menggerak-gerakkan kedua telinganya yang menegang. Lalu terlihat pula bulu-bulu tengkuknya, bergerak perlahan, ikut mene­gang hingga berdiri tegak. Dan semua pemandangan itu, baru akan berakhir bila telingaku menangkap suara Bowo yang mengingatkan atau bertanya dari ruang tamu, mengapa aku begitu lama hanya mengambil minuman kaleng dari kulkas. Bowo tak pernah tahu, bahwa ruang kecil yang temaram di sebelah kamar tidur itu, selalu memukauku lebih lama dibanding ruang manapun di rumah kontra­kannya. Dan yang sering membuatku lebih lama di ruang temaram itu, adalah bila aku melihat tabung "pemanis" itu sebagai seorang kakek tua yang sedang dirantai ke dinding! Entah siapa yang merantai si orang tua. Yang pasti, ketika pertama kali aku menemukan pemandangan seperti itu, aku nyaris menjerit ketakutan bercampur marah! Tapi karena menyadari, bahwa aku "sebenarnya" cuma memandangi sebuah tabung pewangi ruangan, maka aku pun menenangkan diri. Menarik nafas dalam-dalam, dan mulai memusatkan pikiran membayangkan sosok tabung pewangi itu. Namun, berkali-kali sosok tabung pewangi baru akan muncul --setelah aku memusatkan pikiran dengan bersusah-payah, yang nyaris menguras kemauanku berpikir! Hingga terkadang, aku hanya mampu mengikutkan saja tatapanku menyelidiki sosok si orang tua! Orang tua itu tak terlalu tinggi, malah aku lebih tinggi. Ia juga tak terlalu besar, jelas terlihat dari dadanya yang telanjang; hanya berupa tulang-belulang kurus dilapisi daging tua yang keriput! Sementara, kedua tangannya yang terantai, seperti dua batang galah atau dua ranting kayu yang pipih kecoklatan! Seperti sepasang tangan patung perunggu, yang dikotori debu dan dilibati jaring laba-laba! Terkadang, karena begitu terpukaunya aku memandangi "pema­nis" itu sebagai si orang tua yang sedang terantai, aku sampai bertanya-tanya, mengapa si orang tua tak pernah makan atau minum. Dan tak ada tanda-tanda, bahwa ia memang pernah diberi makan atau minum oleh Bowo. Ia hanya terlihat sebagai seorang tua yang tak berdaya! Seorang korban! Seorang pesakitan! Terantai karena sedang melanggar hukum! Atau karena ia seorang pejuang! Tapi,bukankah pemandangan perantaian semacam itu, hanya terdapat pada film-film perjuangan melawan penjajahan?! Setiap kali aku memasuki ruangan kecil itu, dan menemukan sosok si orang tua-lah yang berada di sana -- bukan sosok seekor ular yang sedang melingkar malas atau seekor kelinci putih mungil yang sedang menatap tegang, atau sosok lainnya yang tampil lucu maupun mengerikan -- aku sering dihinggapi rasa takut, kalau suatu saat akan menemukan si orang tua sudah "mati" di rantainya! Pikiran tentang "mati" ini, membuatku ngeri dan terkadang marah atas ketidakpedulian Bowo. Tapi, aku juga merasa kesal kepada si orang tua! Ia begitu tak berdaya, tapi bukan berarti tak memiliki kesempatan untuk membebaskan diri! Atau, mengapa ia tak memberontak saja! Menghan­curkan rantai yang membelenggunya! Sekalipun dengan sisa-sisa tenaga yang boleh jadi akan sia-sia, tapi jelas memperlihatkan harga diri dan keberanian! Melakukan perlawanan sampai akhir?! Daripada terus terantai dengan wajah pasrah, yang lama kelamaan akan menimbulkan kemuakan bagi yang melihat?! Kemampuan menahan­kan derita sedemikian lamanya, sekaligus mempertontonkan dan membiarkan menangnya penghinaan?! Bila sudah sangat marah, tak bisa tidak aku pun tersadar dan segera mengedipkan mata berulang-ulang. Benar-benar tak tahan lebih lama lagi dengan benak dipenuhi sosok si orang tua yang sering tersusun menjadi kisah sedih itu. Satu-satunya harapanku adalah, kembalinya pemandangan asli di atas meja kecil di kamar berpenerangan temaram itu. Pemandangan sebuah tabung "pemanis", untuk menjerat klien Bowo! Setelah kami memuaskan kerinduan, biasanya Bowo akan memper­lihatkan beberapa bentuk desain visual pesanan para kliennya. Aku senang melihat brosur, leaflet, katalog, amplop, tas, dan berma­cam-macam kemasan produk toiletries hasil rancangan Bowo. Dan aku selalu bahagia membayangkan, bahwa Bowo adalah tipe lelaki yang senang bekerja, senang mencari uang, namun tidak terlalu ngotot menghabiskan seluruh kesehariannya untuk bekerja. Bowo juga menyenangi suasana rileks dan santai sepertiku. Kami berdua dapat menghabiskan waktu tiga jam, hanya tidur-tiduran dan mengobrol di ruang tamu itu. Dan Bowo kini tak pernah lupa mencopot nomor rumah kontra­ kannya bila kami ingin berlama-lama. Suatu kali, ketika kami sedang berduaan di jok ruang tamu, seseorang mengetuk dan tak mau berhenti hingga Bowo keluar mengatakan bahwa orang tersebut salah alamat. Ia memang bernama Bowo, tapi Bowo visualiser tinggal di gang sebelah dan biasanya tak menerima klien di atas jam enam sore. Orang yang mengetuk itu pergi setelah minta maaf, dan Bowo kembali ke sampingku dengan wajah masih memendam kesal. Kami akhirnya duduk mengobrol sampai jam sembilan malam. Lalu, ia mengantarkan aku pulang dengan wajah gembira, karena kami telah menemukan jalan keluar: mencopot nomor rumah kontrakannya setiap kali kami tidak ingin diganggu oleh kliennya. "Pemanis" itu kelihatannya memang ampuh. Klien Bowo tak pernah berhenti. Ada yang datang berulang-ulang. Ada yang datang setelah membaca iklan di koran kecil itu. Beberapaadalah pribadi yang hanya memerlukan desain untuk pabrik atau percetakannya. Tapi beberapa datang dari biro iklan seperti kantor Bowo. Namun bagi Bowo, semuanya adalah klien yang harus dilayani. Dan setiap kali para klien itu menghirup keharuman mawar di ruang tamu, agaknya mereka langsung tergoda memberikan pekerjaan dan tak pernah perduli kalau Bowo sudah meminta bayaran cukup tinggi. Para klien itu selalu pulang dengan wajah puas. Dan sebelum meninggalkan ruangan, mereka selalu mendongakkan hidung seakan merasa sayang bila tidak menghirup sepuas-puasnya keharuman yang menyebar di ruang tamu Bowo itu. Pengamatanku ini, pernah kusam­paikan kepada Bowo; dan aku menjadi terperangah karena Bowo malah tertawa lepas dan menatap tak percaya ke arahku. Setelah kutanya­kan kenapa, dengan sangat menyesalBowo menjelaskan, bahwa aku pun selalu melakukan hal yang sama seperti para kliennya itu. Sesaat aku merinding mendengar penjelasannya itu. Perasaan takut membuat dadaku berdebar tak menentu. Lalu aku masih meman­dang tak percaya ke arahnya, ketika menguatkan niat agar pada saat pulang menyadari perilakuku sepenuhnya. Aku ingin melihat, apakah aku memang mendongakkan hidung, lalu menghirup sepuas-puasnya keharuman mawar yang menyebar di ruang tamu itu, seperti klien-klien Bowo! Tapi yang terjadi adalah, berulang-ulang aku harus menyesali diri setelah tiba di halaman. Karena setiap kali aku ternyata lupa memperhatikan sikapku, ketika meninggalkan ruangtamu Bowo beberapa saat sebelumnya. Dan Bowo yang selalu mengantarku, berkali-kali menyesalkan dirinya; mohon maaf dengan sungguh-sungguh, karena "pemanis" itu ikut mempengaruhiku. Bila sudah begitu, aku pun segera merangkulnya dan balik meminta maaf karena terlalu membayangkan yang aneh-aneh. Padahal, "pemanis" itu telah menguntungkan kami berdua. Kami bisa menabung lebih banyak untuk masa depan yang kami rencanakan. Hanya saja, aku menyesalkan bahwa selama tiga tahun hubungan kami, aku sudah berkali-kali mengalami keguguran. Dan kuharap Bowo tak usah berwajah keruh dan putus asa setiap kali teringat hal itu. Kami toh masih memiliki banyak hari-hari di masa mendatang, yang dapat kami isi berduaan saja. *** Bekasi Timur, 1996