Mardok Profesor Mardok kaget. Ketika bangun tidur ia tidak punya kepala lagi. Tangan kanannya meraba lehernya. Leher itu putus. Kepala botaknya lenyap. Ia lebih kaget lagi ketika menyadari dirinya tidak mati walau tanpa kepala lagi. Namun, ia lupa, ketika akan tidur masih memakai kepala atau tidak. Profesor ahli bioteknologi itu bermaksud mencari kepalanya dengan matanya, barangkali jatuh ke kolong ranjang. Tapi, dia tidak bisa melihat apa-apa lagi. Ia bermaksud memanggil istrinya, tetapi suaranya hanya berhenti di tenggorokan saja. Dengan kedua tangannya dia lantas meraba-raba seluruh sudut kamarnya, tetapi ia tidak menemukan apa-apa. Tubuh tanpa kepala itu kemudian berjalan ke luar kamar dengan tangan meraba-raba ke depan. Pemandangan aneh ini mengagetkan seisi rumah. Mereka mengira ada hantu tanpa kepala. Sambil menjerit, “Hantuu!” dengan mata terbelalak dan suara gemetar ketakutan, Bu Mardok berlari mundur menuju pintu ke luar. Akan tetapi sial, kaki kanannya menyangkut kaki kursi sehingga dia terjengkang ke lantai. Nasib sial juga dialami Tugiyem, pembantu Bu Mardok. Begitu muncul di ruang tengah dari pintu dapur dia langsung pingsan saking takutnya melihat tubuh tanpa kepala itu. Pak Mardok terus melangkah mendekati Bu Mardok. Dengan tangannya dia memberi isyarat agar Bu Mardok tidak takut. Akan tetapi, istrinya malah semakin ketakutan. Ia bangkit dan berlari cepat keluar. Akan tetapi, sial lagi, ia menabrak kedua anaknya yang sedang bermain-main di beranda rumahnya. Ketiganya terjerembab ke semak-semak tanaman bunga. Merasa orang-orang yang didekatinya ketakutan, Profesor Mardok akhirnya membelokkan langkah ke kamar kerjanya. Istrinya berlari lagi sambil menyeret kedua anaknya ke jalan kampung yang sudah mulai ramai. Beberapa tetangga yang melihat ribut-ribut di pagi hari itu segera berdatangan. “Ada apa, Bu?” tanya salah seorang tetangganya. “Ada … ada hantu tanpa kepala di rumah saya,” jawab Bu Mardok. “Pagi-pagi begini ada hantu?” “Ya, saya lihat sendiri. Hantu itu malah mengejar saya.” “Jangan-jangan orang iseng.” “Jangan-jangan malah maling!” “Iya, ya.” “Coba saya lihat.” “Saya juga mau lihat.” “Saya juga.” Mereka pun bersama-sama menuju rumah Profesor Mardok. Sampai di depan pintu mereka sangat terkejut. Sosok tanpa kepala itu sudah berdiri di pintu sambil merentangkan selembar kertas karton bertuliskan “Jangan takut. Aku bukan hantu. Aku Pak Mardok. Kepalaku hilang. Tolong carikan!” Mereka terpana beberapa saat melihat pemandangan aneh itu. Bu Mardok mengucak-kucak matanya, mencoba meyakinkan apa yang dilihatnya. “Masak, kepala bisa hilang?” gumamnya. “Itu Bapak, Bu,” kata salah seorang anak Bu Mardok. “Kau yakin, dia Bapak?” tanya Bu Mardok. “Yakin, Bu. Lihat kaos dan celananya. Itu yang dipakai Bapak ketika akan tidur tadi malam. “Ya ya. Cincin yang dipakai juga cincin Bapak. Benarkah kau Bapak?” Sosok tanpa kepala itu menganggukkan tubuhnya seolah mengiyakan pertanyaan Bu Mardok. Namun, tiba-tiba tubuh tanpa kepala itu roboh di depan mereka. Semuanya terkejut. “Bapaaaak!” jerit Bu Mardok sambil menubruk tubuh suaminya. “Kenapa Bapak jadi begini?” Kedua anaknya juga menjerit dan menyusul menubruk tubuh sang profesor. Kemudian mereka menggotong tubuh itu serta membaringkannya di atas dipan di kamar kerja Profesor Mardok. Beberapa saat kemudian tubuh itu bangun, turun dari dipan, melangkah sambil meraba ke meja kerjanya dan mengambil kertas serta spidol, lantas menuliskan sesuatu di atas kertas itu: “Tolong kepalaku segera dicarikan. Kepalaku harus ditemukan dan dipasang hari ini juga. Jika tidak aku bisa mati!” Kertas itu langsung disodorkan kepada istrinya. Dengan tersengguk-sengguk Bu Mardok membacanya. Yang lain berebutan ikut membaca. “Lho! Kepalanya hilang kok masih hidup, ya?” komentar seorang tetangganya. “Pasti punya ilmu armagedon,” komentar yang lain. “Ah, tidak. Pasti ilmu leak. Ia kan pernah berguru di Bali.” “Ilmu leak bukan seperti gitu. Ia pasti menggunakan ilmu debus. Bukankah dia kelahiran Banten.” Mereka makin terheran-heran. Dalam keadaan tanpa kepala, Pak Mardok masih segar bugar. Juga tidak ada darah yang mengalir dari lehernya yang putus. Potongan leher itu cuma tampak agak kemerahan. “Tolong carikan kepala Bapak!” teriak Bu Mardok tiba-tiba setengah histeris. Kerumunan orang-orang di sekeliling Bu Mardok langsung bubar. Mereka pergi ke berbagai penjuru kampung untuk ikut mencari kepala professor itu. Semua sudut dan kolong di rumah Bu Mardok juga mereka periksa. Mereka juga memeriksa kandang kambing, kandang sapi, kandang ayam, kandang kerbau sampai kandang bebek. Akan tetapi tidak ditemukan apa-apa. Karena itu, salah seorang tetangga Bu Mardok segera menghubungi polisi untuk meminta bantuan. Beberapa petugas polisi segera tiba di rumah Profesor Mardok. Mereka bingung ketika akan memeriksa ilmuwan yang terkenal dengan penemuan-penemuannya yang kontroversial di bidang bioteknologi itu. Polisi bingung bagaimana harus mengorek keterangan darinya dan bagaimana harus menanyakannya karena professor itu sudah tidak punya telinga dan mulut lagi. Pancainderanya sudah lenyap bersama kepalanya. Polisi ingat penemuan kontroversial professor itu. Dengan teknik bioteknologi yang dipadu dengan ilmu pijat syaraf, dia mampu memindahkan fungsi otak ke hati. Dengan penemuannya itu makhluk hidup yang terpenggal kepalanya masih bisa bertahan hidup sampai kepalanya ditemukan dan disambung lagi. Hasil penemuannya itu sekaligus mampu mengendalikan aliran darah dan syaraf, sehingga rasa sakit bisa hilang dan darah tidak keluar dari bagian tubuh yang terpenggal. Sementara orang di media massa menyebut penemuan itu sebagai hasil perkawinan yang paling kontroversial antara ilmu kedokteran dan ilmu debus. Namun, sejauh ini penemuan itu baru berhasil dicobakan pada tikus dan monyet. “Apakah Pak Mardok masih bisa mendengar, Bu?” tanya polisi pada Bu Mardok. “Saya kurang yakin, Pak. Namun, tadi ketika saya tanya dia bisa bereaksi,” jawab Bu Mardok. “Menurut kesaksian Ibu sendiri bagaimana?” “Ya, seperti yang saya ceritakan tadi. Bapak keluar dari kamar sudah tanpa kepala.” Polisi itu mendekati Profesor Mardok untuk mencoba menanyakannya. Namun tiba-tiba professor itu menyodorkan secarik kertas berisi tulisan dengan spidol hitam berbunyi, “Aku bisa mendengar suara kalian. Aku tidak ingat kapan kepalaku hilang dan dicuri oleh siapa. Aku minta tolong agar segera dicarikan. Jika dalam waktu 24 jam kepalaku belum dipasang, aku bisa mati.” Kasus hilangnya kepala Profesor Mardok segera menggemparkan hampir seluruh warga kota. Bahkan, Walikota menganggap kasus tersebut sebagai kasus besar dan penting untuk segera diselesaikan mengingat hasil penemuannya yang luar biasa dan belum diwariskan kepada siapa pun. Walikota sangat berharap, keahlian professor tersebut bisa ikut mengatasi korban-korban kecelakaan yang serius dan makin sering terjadi di kotanya. Puluhan anggota polisi pagi itu pun dikerahkan untuk mencari kepala professor botak itu. Akan tetapi, sampai pukul 12 siang polisi belum berhasil menemukannya. “Saya yakin kepala itu dicuri oleh suatu sindikat perdagangan kepala yang sudah lama mengincarnya. Seingat saya sudah tiga kali Profesor Mardok luput dari percobaan pembunuhan dan penculikan. Sudah sebulan kunci rahasia penemuannya hilang dicuri orang. Dengan formula rahasia itu orang dengan gampang bisa memasang kepala professor di tubuh orang lain, bahkan ditubuh binatang sekalipun tanpa kehilangan pengetahuan dan kecerdasannya,” kata Dokter Rusmin, kepala proyek penelitian yang dilakukan oleh Profesor Mardok, kepada polisi. “Lantas motif pencurian itu sendiri kira-kira apa, ya?” tanya polisi. “Itulah yang masih perlu kita selidiki. Namun, sebelum itu tubuh Profesor Mardok harus cepat-cepat diselamatkan dulu. Jika tidak, dia bisa mati.” “Bagaimana caranya?” “Kita bawa saja ke kamar bedah rumah sakit terdekat. Kita transplantasikan dulu kepala sementara pada lehernya. Mudah-mudahan ada kepala yang nganggur.” Tubuh tanpa kepala Profesor Mardok akhirnya dilarikan ke rumah sakit. Para petugas medis dan polisi segera sibuk mencarikan kepala sementara bagi tubuh professor itu. Sementara itu, pencarian kepala aslinya yang hilang terus digencarkan. Akan tetapi, sampai sore mereka belum berhasil mendapatkan kepala yang cocok bagi professor. Kepala professor sendiri juga belum berhasil ditemukan. Stok kepala tua di bank organ tubuh manusia rumah sakit itu habis. Yang tinggal hanya kepala seorang gadis kecil korban kecelakaan. “Aduh, bagaimana ini Pak Rusmin? Nasib Bapak bagaimana?” kata Bu Mardok resah. “Sebaiknya bagaimana, Dokter? Apa tidak ada alternatif lain? Apa tubuh Pak Mardok tidak bisa diawetkan lagi?” tanya Pak Rusmin pada dokter bedah yang menangani professor itu. “Wah, kami tidak berani menjamin, Pak. Kami selama ini hanya mengawetkan organ-organ tubuh saja, sepotong-sepotong. Kami tidak pernah mengawetkan tubuh tanpa kepala seutuhnya. Apalagi yang masih bernyawa. Kasus ini baru pertama kali terjadi. Jalan terbaik saya kira dipasang saja kepala seadanya. Kepala anak gadis itu atau kita carikan kepala monyet,” kata dokter itu. “Jangan! Masak kepala Bapak mau diganti kepala gadis, apalagi kepala monyet. Saya sangat tidak setuju!” kata Bu Mardok. “Ini darurat, Bu. Lagi pula untuk sementara. Jika kepalanya sudah ditemukan bisa diganti,” kata Pak Rusmin. “Kalau tidak ketemu bagaimana?” tanya Bu Mardok. “Itulah masalahnya. Ibu harus merelakan Pak Mardok berganti kepala,” kata Pak Rusmin. Dokter Rusmin kemudian menarik lengan dokter bedah itu ke ruang bedah. Mereka melakukan perundingan empat mata. Beberapa saat kemudian mereka muncul kembali dan mendekati Bu Mardok. “Usia tubuh Pak Mardok tinggal satu jam, Bu,” kata dokter itu pada Bu Mardok. “Jika tubuhnya tidak diselamatkan dengan kepala orang lain, Beliau bisa mati. Kami sudah memutuskan untuk memasang kepala gadis itu pada tubuhnya. Kami harap Ibu setuju!” Bu Mardok diam saja. Dokter itu masuk kembali ke kamar bedah. Tiba-tiba datang seorang tetangga Bu Mardok, seorang janda muda. Ia berjalan tergesa-gesa sambil menjinjing sebuah kotak kardus cukup besar. “Maaf, Bu Mardok. Ini kepala Pak Mardok. Tadi malam tertinggal di kamar saya,” kata janda itu. “Maaf, Bu, akhir-akhir ini dia memang sering tidur di kamar saya.” Bu Mardok terkejut, bukan kerena telah ditemukannya kepala itu, tetapi karena berita memalukan yang dibawa janda itu. Dengan nada marah, akhirnya dia menyuruh janda itu untuk membawa kembali kepala itu ke kamarnya. Ia memutuskan untuk mengganti kepala Pak Mardok, suaminya, dengan kepala monyet saja.