Kolusi GRIMIS kecil senja hari membangun dunia aneh di jalan itu, di atas genangan-genangan kecil sisa air hujan. Angin menghempas-hempas, merontokkan daun-daun akasia dan kelopak-kelopak kembang semboja. Tiba-tiba, seorang gadis dengan rok terusan kuning menyala dan rambut tergerai-gerai di udara berlari-lari kecil menyebrangi jalan itu. Seorang lelaki gendut, yang tampaknya sedang menunggu seseorang di balik kaca jendela, terkesima melihat pemandangan menakjubkan itu. Apalagi ketika gadis itu berlari kecil kearahnya dan menguak pintu kantornya, mengantarkan bau parfum yang aneh. Ah, barangkali sales parfum merek baru, atau lulusan akademi sekretaris yang akan melamar kerja, pikirnya. "Mau ketemu siapa?" "Pak Saliman." "Oh, saya sendiri. Silakan duduk." Gadis itu melangkah ringan ke kursi, meletakkan pantatnya di sana. "Saya ditugaskan Mbah Sastro untuk menemui Bapak sore ini." Bibir gadis itu, yang merekah kemerahan seperti irisan buah semangka, meletup-letupkan kata-kata lugas tapi terasa lunak. "Jadi, Adik mengantarkan tuyul dari Mbah Sastro?" "Tidak." "Lho, katanya Mbah Sastro mau mengirim tuyul sore ini." "Benar." "Mana tuyulnya?" "Saya sendiri." "Ah, yang bener? Masak ada tuyul secantik Anda. Yang saya tahu, tuyul itu kecil, jelek dan gundul." "Itu sih tuyul kuno, tuyul masa lalu. Tuyul sekarang banyak yang cantik. Namanya saja tuyul kontemporer, Pak. Tuyul posmo." Kelopak mata gadis itu mulai mengerjab-ngerjab, menggoda. "Apa? Tuyul posmo?" mata Pak Saliman terbelalak. "Ya, tuyul posmo, posmodern." "Jadi, wabah posmo juga merambah dunia tuyul?" "Benar. Terjadi semacam pluralisasi budaya permalingan di kalangan para tuyul. Tiap tuyul dibebaskan mengembangkan seni malingnya sendiri-sendiri, mau langsung sikat, pakai katebelece pejabat tinggi, me-mark up nilai proyek, atau ramai-ramai membobol bank seperti yang sekarang sedang trendi. Mereka juga bebas mengembangkan bentuk dirinya masing-masing. Ada yang memilih jadi perempuan cantik seperti saya, jadi lelaki gendut berdasi seperti konglomerat, atau tetap gundul jelek seperti aslinya." "Jadi , ada semacam diversifikasi teknik permalingan, begitu?" "Ya, begitulah." Lelaki gendut itu mengangguk-angguk sambil menepuk-nepukkan telapak tangan kanannya ke atas pahanya dengan irama yang monoton, sementara matanya mengusap semili demi semili tiap lekuk keindahan wajah dan tubuh gadis itu -- layaknya seorang pelukis pemula yang sedang berlatih menangkap detail anatomi tubuh wanita untuk dipindahkan ke kanvasnya. Gadis itu pura-pura tersipu malu dan segera menundukkan kepalanya. Keheningan lantas menyergap mereka. Titik-titik air hujan terdengar makin keras memukul-mukul atap gedung dan daun-daunan di luar. "Oh ya, siapa nama adik?" suara lelaki gendut itu memecah kebekuan. "Mbah Sastro memanggil saya Monika." "Kamu pasti bukan tuyul. Kamu cucu Mbah Sastro, bukan." "Swear, saya tuyul asli." "Okelah. Kalau kamu memang tuyul, apa yang bisa kamu lakukan untuk mendongkrak perusahaan saya yang hampir bangkrut ini?" "Itu tergantung imbalan dan jabatan yang bapak berikan kepada saya. Jika nasib perusahaan Bapak ingin cepat terdongkrak, angkat saya menjadi wakil direktur." Gadis itu mengangkat wajahnya dan matanya kembali menantang. ''Jadi, tuyul butuh jabatan juga." "Ya, sebagai sarana penyaluran bakat permalingannya." ''Butuh katebelece?" "Kadang-kadang, bilamana perlu." "Wah itu terlalu bertele-tele. Saya ingin yang praktis saja, yang tan-pa prosedur birokrasi segala. Jelasnya, nyolong> saja kamu sekarang. Entah pakai cara bagaimana, terserah kamu. Terserah, mau nyolong di bank atau menyikat habis uang saingan saya." "Wah, sorry saja, Pak. Saya bukan jenis tuyul yang diprogram un-tuk keahlian model sikat langsung begitu. Itu sih bagian tuyul-tuyul berkepala gundul. Sorry aja. Itu bukan level saya.” "Ya tuyul macam begitu yang saya minta dari Mbah Sastra. Yang dikirimnya kok malah yang kece macam kamu." "Bapak ini maunya main langsung sikat saja. Bapak benar-benar tak punya jiwa wirausaha. Belajar entrepreneurship dikit dong, Pak Orang kayak Bapak mestinya jadi garong saja. Bukan jadi pengusaha.'' Gadis itu tersenyum setengah mencibir. Muka Pak Saliman jadi masam. Seumur-umur dia tidak pernah dinasehati orang. Apalagi oleh yang lebih muda atau anak buahnya. Eh, kini tiba-tiba diceramahi oleh perem-puan kece yang mengaku tuyul. ''Jangan macem-macem kamu! Kalau kau memang tuyul yang diki-rim Mbah Sastro, nyolonglah sekarang juga." ''Kalau saya tidak mau?" "Lebih baik saya batalkan kolusi saya dengan Mbah Sastro." ''Baiklah kalau begitu." Gadis itu bangkit dari duduknya, menyibakkan rambutnya yang hitam mengkilap seperti model iklan sampo, lantas melangkah pergi, mene-robos pintu dan menyusup hujan rintik-rintik di luar. Leleki gendut itu ha-nya terpana melihat punggungnya. Begitu gadis itu lenyap di kejauhan, telepon disudut ruangan itu berdering. Si gendut bangkit dari kursi, melenggang beberapa langkah, dan mengangkat gagang telepon. ''Ini Pak Saliman, ya?" suara dari seberang. ''Betul." "Bapak ini bagaimana? Katanya minta tuyul? Sudah dikirim kok malah disuruh balik." "Oh ini Mbah Sastro, ya?" "Betul." "Ya, Mbah. Saya memang minta tuyul. Tapi yang Mbah kirim kan bukan tuyul." "Siapa bilang ? Itu si Monika, tuyulku yang paling istimewa." "Jadi, gadis itu benar-benar tuyul Mbah Sastro?" "La iya. Memangnya tuyul siapa?" "Tapi, kenapa dia menolak ketika saya suruh nyolong?" "Wah, Pak Saliman ini maunya main sikat saja. Kalau mau kaya, pakai seni sedikit dong. Jangan asal main sikat. Norak, Pak!" "Lantas bagaimana, Mbah?" "Terserah Bapak saja. Kalau memang tidak mau gulung tikar, turuti saja apa maunya si Monika.'' *** AGAKNYA, si gendut Saliman tidak menemukan pilihan selain memenuhi permintaan si cantik Monika menjadi wakil direkturnya. Tapi, ternyata bukan hanya jabatan itu yang dimintanya. Ia juga minta dikon-trakkan sebuah villa di Puncak dan sebuah kamar di hotel mewah. Si gendut tak tahu persis apa yang direncanakan dan dilakukan ga-dis itu. Lebih-lebih di luar kantor. Ia minta diberi kebebasan penuh untuk melakukan terobosan-terobosan rahasia tanpa harus menuruti mekanisme birokrasi perusahaannya. Si gendut hanya melihat, gadis itu amat sibuk keluar masuk kantor tiap hari, bahkan tiap jam. Teleponpun berdering-dering terus hampir tiap menit, mencari Monika. Dalam tiga minggu pertama masa kerjanya, gadis itu memang tidak mau diganggu oleh siapapun. Langkah-langkah rahasianya pun tidak mau diketahui oleh siapapun. Tak terkecuali oleh si gendut Saliman. Si gendut pun hanya sempat menangkap kelebatan tubuh gadis itu datang dan pergi, atau mengamatinya beberapa detik ketika gadis itu meletakkan pantat di kursinya, menyisir rambut, meratakan bedak dan lipstiknya, membuka-bu-ka sejenak mapnya, lantas pergi lagi. ''Gila! Apa saja yang dilakukan si Monika. Benar-benar tuyul edan!" gerutu si gendut sembari membuka-buka komik Dora Emon. Sejak ada Monika, praktis si gendut setengah menganggur. Sebagian besar tugas dan wewenangnya sebagai direktur harus diserahkan kepada gadis itu. Ia hanya kebagian mengawasi disiplin kerja beberapa staf kantornya, yang bisa ia lakukan sambil membaca komik anak-anak. "Kamu ini sopir apaan, sih?!" tiba-tiba terdengar ribut-ribut di luar. "Sopir mana yang kuat, Mbak. Dua hari dua malam jalan terus tanpa istirahat. Sopir bus kota saja ada istirahatnya." "Tapi ini acara sangat penting. Apa saya harus pergi sendiri?" Si gendut Saliman meletakkan komiknya di atas meja dan memburu suara ribut-ribut itu. Ternyata Monika sedang bersitegang dengan sopirnya. "Ada apa, Monika?" "Ini lho, Pak, si Pardi disuruh mengantar tidak mau." "Habis saya sudah tidak kuat lagi, Pak. Tobat dah!" "Kan memang tugasmu mengantar Monika, Di." "Tugas ya tugas. Tapi kalau terus-terusan begini bisa hancur tubuhku. Masak, dua hari dua malam jalan terus ke sana ke mari tanpa istirahat." "Apa sih sebenarnya yang sedang kamu lakukan, Monika? Kok sibuk amat." "Bapak tak perlu tahu. Kan Bapak sudah janji untuk tidak bertanya dulu tentang apa yang saya lakukan." "Tapi saya kan atasanmu. Saya harus tahu semua yang kamu lakukan." "Okelah. Sekarang terserah Bapak, mau melanggar janji dan semuanya berantakan sampai di sini, atau jalan terus dan Bapak tetap memegang janji." Ditantang begitu oleh Monika, si gendut terdiam dan mengerutkan keningnya. Agaknya ia harus berpikir keras untuk menjawab tantangan itu. ''Kamu minta diantar ke mena sih, Monika?'' ''Ke Puncak. Ada janji penting.'' ''Sore-sore begini mau ke Puncak?'' ''Ya.'' ''Pantas, si Pardi tak mau mengantarmu.'' ''Tapi ini amat penting, Pak. Kalau saya tidak datang, semuanya bisa gagal total.'' ''Kalau begitu, biar aku saja yang mengantarmu.” ''Bapak mau mengantar saya?'' ''Ya apa boleh buat.'' ''Tapi Bapak harus janji hanya sampai jalan besar. Masuknya biar aku sendiri jalan kaki. Dan, Bapak tak perlu tahu apa yang saya lakukan di villa saya.'' ''Tak apa kalau memang maumu begitu.'' Agaknya posisi memang harus dibalik untuk sementara. Si gendut tidak hanya harus kehilangan hampir semua wewenangnya selaku direktur, tapi kini ia juga harus menjadi sopir bawahannya, mengantar Monika jauh ke Puncak. ''Benar-benar tuyul edan!'' gerutunya. Untunglah, berkat jalan tol Jagorawi yang mulus, jarak Jakarta-Ciawi ia sikat tidak lebih dari satu jam. Tak seberapa lama sampailah BMW-nya di jalan masuk menuju sebuah villa cukup mewah di lereng bu-kit. Hujan turun agak deras. Namun Monika bersikeras tidak mau diantar sampai ke pintu villa. Ini membuat si gendut Saliman makin curiga dan ingin tahu apa sebenarnya yang akan dilakukan gadis itu. Ia pura-pura memutar mobilnya balik ke arah Jakarta, tapi kemudian memutarnya kem-bali dan merakirnya di jalan masuk menuju villa yang dikontraknya untuk tuyul itu. Hujan belum reda dan si gendut nekat keluar dari mobilnya, berja-lan kaki mengendap-endap menuju villa itu. Ia amat terkejut ketika melihat sebuah Baby Benz hitam diparkir persis di depan pintu villa. Ia pun terus mengendap-endap ke samping villa itu. Si gendut mengintip ke dalam lewat celah jendela. Tapi tak ada sia-pa-siapa. Hanya pakaian basah Monika tampak terpuruk di kursi kamarnya. Kemudian terdengar suara semprotan air cukup keras dari shower di kamar mandi. Agaknya si Monika tidak sendiri di kamar mandi itu. ''Kau memang benar-benar dahsyat, Monika,'' terdengar suara lelaki, berat dan agak serak. "Ah, masak?" sahut suara Monika, genit. "Tubuhmu benar-benar sempurna," suara laki-laki itu. "Hi hi hi…." "Coba lihat ini…." "Hi hi hi hi…." Monika makin cekikikan. Si gendut bisa membayangkan apa yang sedang dilakukan lelaki itu -- entah konglomerat mana, entah pejabat penting apa -- terhadap Monika di kamar mandi. Ingin sekali ia memanjat tembok dan mengintip mereka dari lubang angin. Tapi tubuhnya yang agak basah kehujanan makin menggigil saja. Sambil mengumpat-umpat ia pun melangkah cepat balik ke mobilnya. *** LANGIT sudah gelap ketika si gendut sampai di kantornya. Kantor kontraktor itu sudah sepi. Pardi, sopir Monika, mendengkur di kursi ruang tamu. Si gendut langsung membangunkannya. "Di, kamu tahu apa yang dilakukan Monika selama ini?" "Nggak tahu, Pak." "Kamu mengantar ke mana saja tiap hari?" "Ke sana ke mari, Pak. Ke kantor pejabat ini itu, menemui konglomerat ini itu, ke bank, belanja di supermarket, ke kamar hotelnya, ke Puncak, yah ke mana ajalah. Pokoknya macam-macamlah acaranya, sampai saya tidak bisa istirahat." "Apa yang dia lakukan di Puncak dan di kamar hotelnya?" "Nggak tahu, Pak. Saya hanya boleh menunggu di mobil atau di warung terdekat." "Jangan-jangan pelacur kelas kakap dia." "Kok Bapak berkata begitu?" Tiba-tiba telepon berdering keras menghentikan pembicaraan mereka. Si gendut segera mengangkatnya. Begitu ujung gagang telepon menem-pel di telinganya, wajahnya berubah kemerahan. Agaknya ada suara yang tak enak dari si penelpon. Beberapa detik kemudian ia meletakkan gagang itu dengan setengah membantingnya. "Wah, gawat, Di. Nyonya Besar marah-marah. Saya pulang dulu." "Hati-hati, Pak." Pasti ada yang tidak beres, pikir si gendut. Baru pukul 20.15 istrinya sudah marah-marah. Dalam keadaan normal, dengan alasan sedang rapat, istrinya maklum saja dia pulang sampai pukul 22.00. Istrinya pasti mengira, dia punya skandal lagi. Tapi dengan siapa, dan siapa yang mem-fitnahnya? Ia memang sudah dua kali terlibat skandal cinta dengan bawahan-nya. Pertama dengan sekretarisnya yang genit dan gampangan. Kedua de-ngan bendaharanya yang cantik tapi perawan tua. Keduanya sudah ia pecat atas desakan istrinya , yang sempat marah besar begitu mengetahui skandal itu. Bagaimana pun, ia memang tidak berani melakukan "perang habis-habisan" melawan istrinya -- yang memang kurang cantik dan bertubuh agak gembrot. Selain demi kedamaian hati ketiga anaknya, juga karena perusahaan yang memberinya jabatan direktur memang peninggalan almar-hum mertuanya. "Belum kapok ya, Pa?" sambut istrinya begitu si gendut duduk di depan meja makan. "Kapok bagaimana, Ma?" "Papa sudah berani memelihara perempuan lagi, kan?" "Ah, jangan mengada-ada, Ma. Siapa bilang saya memelihara pe-rempuan?" "Jangan bohong, Pa. Tadi ada perempuan cantik mencari Papa ke sini." "Perempuan cantik, siapa?" "Masih mau mungkir juga? Papa punya peliharaan baru yang nama-nya Monika, bukan! Tadi dia ke sini pakai rok kuning menyala." "Monika?" kepala si Gendut bagai di sambar geledek. "Benar-benar edan, anak itu. Bukanlah dia baru saja saya antar ke puncak?" "Jadi kau baru saja main cinta di puncak dengan perempuan itu? Kurang ajar! Kau tega, ya!" "Pacaran apa? Dia itu pelacur!" "Jadi, papa membawa pelacur ke puncak? Dasar hidung belang! Menjijikkan!" Bu Saliman berlari masuk ke kamar, membanting pintunya dan menguncinya dari dalam. Tampaknya ia marah besar. Si gendut terperangah sesaat. Kepalanya makin pusing, bagaimana ia harus menjelaskan tentang si Monika pada istrinya. Dalam gelisah ia melangkah ke kamar kerjanya, mengangkat gagang telepon dan memutar nomor telepon kantornya. "Pardi?" "Ya, Pak." "Untunglah kamu masih ada di situ." "Ada apa, Pak?" "Gawat, Di. Nyonya marah besar soal Monika. Ia mengira simpa-nan saya. Tadi dia ke sini mencari saya. Salahnya, saya tak pernah cerita soal Monika pada Nyonya. Tolong, jemput dia sekarang juga di kamar hotelnya dan bawa kemari. Kau harus ikut menjelaskan tentang dia pada Nyonya. "Baik, Pak." Begitu meletakkan gagang telepon, si gendut lantas menuju pintu kamar istrinya. Terdengar tangis sesenggukan dari dalam kamar. "Buka pintu, Ma. Berilah Papa kesempatan untuk menjelaskannya." "Semuanya sudah jelas. Papa memang bajingan!" "Dengar dulu, Ma. Saya tadi memang mengantar dia ke Puncak. Tapi, percayalah, saya tak berbuat apa-apa dengan dia. Saya mengantarnya karena dia melakukan transaksi penting yang berkaitan dengan perusahaan kita. Dia itu staf baru bagian marketing. Hanya dugaan saya saja dia me-rangkap menjadi pelacur." "Dia merangkap jadi peliharaan Papa, kan!" "Jangan begitu, Ma." "Tadi dia mengaku begitu." "Ya peliharaan, maksudnya pegawai baru. Dia memang suka melucu begitu." Gerimis masih memukul-mukul genteng dan daun-daunan di luar, ketika tiba-tiba terdengar derum mobil masuk pekarangan rumah Pak Saliman. "Nah, itu dia datang bersama Pardi, Ma. Mereka sengaja saya panggil untuk menjelaskan semuanya pada Mama." *** SANG Nyonya Besar pada akhirnya memang bisa dijinakkan. Ia bisa memahami kehadiran Monika di perusahaan peninggalan almarhum ayahnya yang kini dikelola suaminya. Apalagi, di hadapannya, gadis itu bersumpah tidak akan mengganggu Pak Saliman. Ia juga berjanji untuk memajukan perusahaannya dengan memanfaatkan jaringan koneksi yang telah ia bangun dengan sejumlah pejabat dan konglomerat. Namun, tidak berarti persoalan Monika selesai sampai di situ. Pada akhir bulan, ketika si gendut harus membayar gaji para karyawannya, Monika memberikan kejutan baru: "Cadangan uang kita di bank habis, Pak. Besok kita tidak bisa membayar gaji para karyawan," kata kepala bagian keuangan, menghadap si Gendut dengan wajah pucat dan suara gemetar. "Lho! Bukankah dua minggu lalu masih ada cadangan satu setengah milyar?" "Ya. Kini sudah habis dipergunakan Monika. Katanya sudah disetujui Bapak." "Tuyul edan!" "Lho, kok tuyul?" "Memang dia tuyul! Siapa lagi yang berani nekad menghabiskan uang segitu banyak kalau bukan tuyul edan!" "Salah Bapak juga, terlalu cepat memberi kepercayaan pada dia." "Pardiiii!" "Yaaa, Pak!" yang dipanggil tergopoh-gopoh masuk. "Ke mana kau antar Monika hari ini?!" "Belum saya antar ke mana-mana, Pak. Sejak pagi belum kelihatan. Saya jemput di kamar hotelnya juga kosong." "Wah, celaka kalau begitu. Uang kita di bank dia sikat habis. Benar-benar tuyul edan dia! Cepat kamu cari dia sampai ketemu. Kalau tidak, bisa tak gajian kamu besok." Pardi, sopir gadis itu, berlari kecil keluar untuk mencari Monika. Tapi tiba-tiba telepon di meja si gendut berdering. Ia langsung mengangkatnya, ternyata dari si tuyul. "Monika, gila kamu! Kamu kemanakan uang saya satu setengah milyar di bank?!" si gendut langsung menghardik gadis itu. "Tenang, Pak. Bapak kan ingin mendapatkan kakap besar. Umpannya juga harus besar!" jawab Monika dari seberang. "Omong apa lagi kamu?! Kakap kakap! Mana buktinya?! Kamu ini memang tuyul edan! Tuyul rusak! Kamu tidak mendapatkan duit, tapi malah menghabiskan duit!!" "Aduh, jangan teriak-teriak begitu, Pak! Nanti didengar orang, rahasia kita bisa bocor." "Biarin! Kamu memang tuyul edan! Tuyul rusak! Tuyul gendeng!!" "Dengar dulu, Pak. Saya sedang mengincar beberapa proyek besar, dan hampir berhasil. Percayalah, Pak. Dalam satu dua hari ini pasti sudah ada hasilnya. Uang satu setengah milyar tidak ada artinya dibanding keuntungan yang bakal kita dapatkan. Perusahaan Bapak saya jamin segera menggelembung jadi raksasa. Kalau saya gagal, Bapak boleh bakar padepokan saya di tepi hutan itu." "Tapi, gaji karyawan kita bagaimana? Besok mereka harus gajian. Kalaupun tidak, mereka hanya bisa mentolerir keterlambatan satu hari. Labih dari itu mereka pasti akan ribut. Aku tak mau kalau di perusahaan kita sampai ada unjuk rasa segala." "Jangan khawatir, Pak. Saya sudah mengajukan kredit 100 trilyun ke bank. Hari ini direksi bank sedang merapatkannya. Kalau di-acc, besok sebagian dana sudah dapat dicairkan." "Gila! Kredit 100 trilyun?!" "Ya." "Untuk apa uang sebanyak itu?" "Lho, kita kan bakal menangani proyek-proyek dan pabrik-pabrik besar. Mana bisa jalan kalau hanya dengan modal recehan." "Aku tak mau ikut pusing-pusing memimpikan yang tidak-tidak begitu. Pokoknya besok karyawan harus gajian. Kau harus mengusahakan uang gaji mereka. Saya tunggu hasilnya hari ini juga." "Beres, Pak!" *** MATAHARI sudah jauh melintasi titik ubun-ubun langit, bahkan sudah condong jauh ke barat. Si gendut gelisah menunggu kabar dari Monika. Sekali-sekali ia mondar-mandir di ruang kerjanya. Sekali-sekali berteriak memanggil Pardi, menanyakan apakah gadis itu sudah menampakkan batang lehernya. Sekali-sekali pula ia meminta pada bendaharanya untuk mengecek rekening banknya lewat telepon, apakah sudah ada uang masuk dari Monika. Semuanya masih nihil. Selebihnya, si gendut menghempaskan tubuhnya ke kursi kebesarannya, mencoba meredakan kegelisahannya dengan membaca komik Satria Baja Hitam. Sore sudah mengambang ketika gadis centil itu muncul dengan senyum khasnya. Si gendut langsung menyambarnya: "Bagaimana, Monika, hasilnya?" "Beres, Pak." "Beres-beres, bagaimana?!" "Lihat ini." Monika menyerahkan berkas-berkas yang dibawanya. "Gila! Kita mendapat kredit 100 trilyun?" Mata si gendut terbelalak melihat angka yang tercantum pada berkas dari bank itu. "Ya," "Bagaimana kamu bisa membuat bank percaya untuk memberikan kredit sebesar itu pada kita?" "Saya kan punya katebelece." "Katebelece? Apa kamu mau mengulang kasus Eddy Tansil, Sinivasan, Sofian Wanandi..... ?" "Jangan khawatir, Pak. Monika lebih lihai daripada Eddy Tansil, Sinivasan, atau Sofian Wanandi. Semuanya sudah saya atur rapi." "Kamu memang benar-benar tuyul hebat!" Serta merta si gendut menyalami dan memeluk gadis itu. Monika menyerah saja. "Bapak mau lihat daftar proyek yang telah kita menangkan tendernya." Si gendut melepaskan pelukannya. Monika mengeluarkan setumpuk map dari tasnya. "Ini proyek pengurugan Rawa Pening untuk disulap menjadi lapangan golf, ini proyek penggundulan sebagian hutan Irian Jaya untuk diekspor ke Jepang, ini proyek penggusuran seluruh kawasan kumuh Tanjung Priok untuk disulap jadi kondominium, dan ini proyek terowongan bawah laut lintas Selat Sunda. Semuanya bernilai 90 trilyun." "Gila kamu. Bagaimana kita bisa mengerjakan proyek edan-edanan seperti itu?" "Jangan khawatir, Pak. Saya bisa mengerahkan seribu jin untuk ikut menyelesaikan proyek-proyek itu tepat pada waktunya." "Jadi kita juga harus berkolusi dengan para jin?" "Betul. Itulah cara yang telah saya rancang agar perusahaan kita bisa tumbuh jadi raksasa." "Seperti Bandung Bandawasa ketika membangun Candi Seribu itu?" "Ya, begitulah kira-kira. Tapi tentu, proyek-proyek itu tidak harus kita selesaikan dalam semalam. Ya, agar orang percaya bahwa proyek-proyek itu memang murni karya kita, berkat kehebatan teknologi canggih yang telah kita kuasai." "Memang benar-benar edan kamu, Monika." "Bapak setuju, kan!" "Tentu saja, Monika. Lelaki mana yang mau berlaku bodoh dengan menolak kesempatan untuk menjadi besar." "Ha ha ha." Monika tertawa. "Ha ha ha.. ." Si gendut juga tertawa. "Tapi tunggu dulu, Pak." Kali ini wajah Monika berubah serius. Ia mundur selangkah dan duduk di atas meja, persis di depan si gendut yang masih berdiri setengah bersandar pada sandaran kursinya. "Tunggu apa lagi?" "Agar kredit itu benar-benar bisa mengucur dan proyek-proyek itu bisa berjalan lancar, ada satu syarat yang harus Bapak penuhi." "Syarat apa?" "Bapak harus mengawini saya dan menjadi bapak anak yang akan saya lahirkan." "Kenapa harus begitu?" "Ya, karena anak yang akan segera saya lahirkan harus punya bapak yang jelas." "Lho! Memangnya kamu hamil?" wajah si gendut tampak terperangah. "Ya." "Aduh, Monika. Kenapa tidak kamu gugurkan saja?" "Tak ada dokter maupun dukun yang sanggup menggugurkan kandungan tuyul. Sekarang terserah Bapak, mau menjadi Bapak anak saya, atau semuanya gagal dan selesai sampai di sini." Monika mulai menantang. "Kalau memang harus begitu, ya apa boleh buat, Monika. Aku akan menjadi Bapak anak yang kau kandung. Aku tak perlu tahu, itu anak siapa. Tapi, tolong sementara dirahasiakan dulu. Jangan sampai istriku tahu." Mendengar jawaban itu, Monika langsung melompat turun dari meja dan menghambur ke dada Pak Saliman. Si gendut terkejut sesaat, tapi lantas menyongsong gadis itu dengan pelukan. *** KREDIT 100 trilyun rupiah itu mengucur juga. Bahkan keesokan harinya sebagian sudah bisa dicairkan. Pada malam harinya si gendut langsung mengadakan pesta bersama seluruh staf dan karyawannya. Kesibukan terus meningkat pada hari-hari berikutnya. Lowongan kerja pun dia buka untuk merekrut para insinyur dan karyawan baru. Sejumlah insinyur asing segera didatangkan untuk menyiapkan pelaksanaan proyek-proyek besar itu. Monika pun tetap hilir mudik seperti biasa. Namun pada hari keenam tiba-tiba ia menghilang dan pada hari ketujuh datang kejutan dari Mbah Sastro untuk si gendut lewat telepon. "Kau harus datang kepadepokanku sekarang juga. Sangat penting!" suara pawang tuyul itu dari jauh. "Memangnya ada apa, Mbah?" "Monika melahirkan hari ini." "Lho, bukannya usia kandungannya baru tiga Minggu." "Ya, usia kandungan tuyul memang hanya duapuluh satu hari." "Baiklah, Mbah." Sampai di padepokan, si gendut langsung menuju kamar Monika. Ia penasaran, ingin tahu bagaimana wajah anak tuyul cantik itu. Begitu membuka pintu, si gendut terperangah. Pemandangan menakjubkan terpampang di depannya. Monika berbaring miring setengah telanjang, dikelilingi puluhan orok gundul sebesar lengan bayi. Beberapa diantaranya sedang berebutan menetek pada tuyul cantik itu. "Ini semua anak-anak kita," kata Monika sambil tersenyum. "Jumlah mereka ada tujuh puluh sembilan, sesuai dengan jumlah pendekatan khusus yang saya lakukan untuk mendapatkan kredit bank dan proyek-proyek besar itu." "Tujuh puluh sembilan?!" sahut si gendut dengan mulut menganga dan mata terbelalak. Untuk beberapa saat si gendut berdiri terpaku dengan ekspresi terperangah. Kemudian tubuhnya terhuyung-huyung dan ambruk ke lantai. Kali ini Monika tidak hanya memberikan kejutan bagi si gendut, tapi sekaligus membuatnya tewas akibat serangan jantung!* Jakarta, Akhir Juni 1994 * Cerpen ini pernah dimuat di Percakapan Senja, bonus kumpulan cerpen Majalah Sarinah, No. 309, 22 Agustus-4September 1994.