watch sexy videos at nza-vids!
KALAH CERDIK

Hari Selasa pukul 13.00 telepon di meja Mandala Baring berdering, padahal iabermaksud keluar kantor untuk makan siang. Setengahhati, direktur utamaperusahaan importir buah-buahan itu meraih gagang telepon."Halo, ya, oh Mama. Ada apa, Ma?" sahutnya asal-asalan."Dewi, Pa, Dewi. Dewi diculik!" kata Aryati, istrinya, sambil menangis."Hah! Diculik?" teriaknya tak percaya. "Bagai mana ceritanya sampai bisa terjadi,dan siapa yang menculik?" tanyanya gugup."Enggak tahu, sampai sekarang belum ada kabarnya."180Mandala Baring bergegas pulang ke rumahnya di kawasan Sunter, Jakarta Utara.Menurut istrinya, seperti biasa supirnya, Salyono, menjemput Dewi Anggraini disekolah. Namun, gadis cantik kelas 3 SD itu sampai usai jam sekolah tidak tampakbatang hidungnya.Dari gurunya Salyono mendapat informasi bahwa sekitar pukul 09.00, Dewi dijemputseseorang yang mengaku pegawai rumah sakit. Ia mengatakan, ibu Dewi mendapatmusibah kecelakaan mobil dan kini terbaring di rumah sakit dalam keadaan koma.Dewi dijemput untuk menengoknya di rumah sakit. Si penjemput menambahkanbahwa sopirnya, Salyono, taksadarkan diri."Lo, Salyono itu saya sendiri,Pak. Bisa-bisanya ngarang orang itu," sanggahSalyono.Mandala Baring duduk tertegun di samping istrinya yang terus-menerus menangis.Sesaat kemudian, ia berdiri memanggil Salyono yang duduk diam di tangga teras."Kamu kenal sama penculik Dewi?" tanya Mandala gusar."Ndak, Pak. Lihat mukanya saja tidak, apalagi kenal," sanggah Salyono."Kok dia tahu nama kamu?""Mungkin tahu dari supir-supir lain."Jam sudah menunjuk pukul 15.00, tapi tidak ada kabar berita tentang gadis kecil itu.Mandala makin panik. Ia memutuskan segera melapor ke polisi.Setengah jam kemudian tiga orang polisi dipimpin oleh Kapolsek AKP TaufikAbdullah, perwira muda yang energetik, muncul di rumah Mandala."Sudah ada kabar dari si penculik, Pak?" tanya AKP Taufik pelan."Belum.""Kalau begitu, saya akan segera memasang telepon paralel dan alat perekamnya." Sekitar pukul 17.00 telepon
berdering. AKP Taufik memberi isyarat agar Mandalamengangkatnya.Dengan tangan sedikit gemetar, pria berusia empat puluhan itu mengangkatnya."Putri Bapak aman di tangan saya. Jangan khawatir," terdengar suara seorang lakilakidengan suara serak. "Kalau Bapak mau bekerja sama, diaakan pulang denganselamat.""Kerja sama, apa maksud Anda?""Saya akan buktikan bahwa putri Bapak memang bersamakami. Ada tanda lahir dipunggung kiri dan tahi lalat dipangkal paha kanan. Betul 'kan? Nah, kalau Bapaksudah yakin, sediakan uang tunai seratus lima puluh juta rupiah. Saya beri Andawaktu 48 jam. Selanjutnya, tunggu telepon dari saya. Jangan sekali-kali melapor kepolisi kalau ingin putri Anda selamat! Kalau Bapak lapor ke polisi, perjanjian batal.Saya tidak bertanggung jawab atas keselamatannya. Berapa nomor ponsel Anda?181Saya akan menghubungi lewat ponsel agar tidak dikuping orang lain," ancam sipenculik yang lalu menutup telepon setelah diberi tahu nomor ponsel Mandala.Cerai dari istri pertamaTumini, pembantu rumah tangga yang sibuk menghidangkan kopi dan makanankecil, ikutan tegang. Meski baru bekerja tiga bulan di Keluarga Mandala, Tumini yangberwajah lugu itu sudah akrab dengan Dewi. Apalagi anak tunggal Tuminisepantaran dengan anak perempuan majikannya itu.Sekitar pukul 23.00, telepon kembali berdering. Ketiga polisi itu pun siap kembalidengan tugas masing-masing."Ya, halo ...?" jawab Mandala dengan suara bergetar."Perjanjian kita batal, sebab di rumah Anda banyak polisi. Nanti saya hubungi kalaukeadaan sudah memungkinkan." Telepon langsung ditutup. Mandala dan istrinyalemas seketika.AKP Taufik gusar. "Kok dia tahu di sini ada polisi, pasti ada yang tidak beres dirumah ini. Oh, ya, Pak Mandala tadi bercerita kalau guru Dewi menyatakan, sipenculik menyebut nama Salyono, supir Ibu. Jangan-jangan Salyono kenal dengansipenculik, atau malah bekerja sama?" desak Taufik."Salyono sudah hampir tiga tahun bekerja di sini, saya kira tidak," timpal Aryati."Itu dulu, Bu. Di zaman
krismon begini, siapa tahu mend adak timbul masalah,menyangkut soal ekonomi. Saya kira, Salyono orang pertama yang patut dicurigai,"tegas AKP Taufik sambil mengeluarkan buku catatan untuk mencatat alamatSalyono."Selain keluarga Bapak, siapa lagi yang tinggal di rumah ini?" tanyanya lagi."Tiga orang pembantu perempuan dan satu pembantu laki-laki, Sutardi namanya,tukang kebun. Pembantu perempuan kami, Tumini - tiga bulan lalu kami ambil dariyayasan, tugasnya memasak dan ke pasar. Yang dua lagi sudah lima tahun ikutkami, sebagai tukang cuci dan setrika, lalu satu lagi bertugas membersihkan rumah.""Dalam bisnis, apakah Bapak punya pesaing atau musuh?""Rasanya, tidak ada," jawab Mandala."Maaf, selain Ibu, apakah Bapak mempunyai ... WIL (wanita idaman lain)?" tanyaTaufik sambil melirik ke istri Mandala. Tentu saja Mandala menyanggah."Sekali lagi maaf, Pak. Apakah Ibu istri pertama Bapak?""Bukan, dia istri kedua. Istri pertama sudah 'pisah' dua belas tahun lalu.""Boleh tahu alasannya?""Dia mandul.""Sekarang apakah istri pertama Bapak itu sudah menikah lagi? Lalu di manaalamatnya?"182"Wah, saya tidak tahu, sebab tidak pernah berhubungan lagi.""Ketika Bapak mencerai kannya, apakah ia merasa dendam atau sakit hati? Atau iamenerima saja?""Sulit dikatakan, sebab selama delapan tahun perkawinan, kami jarang bertengkar.Paling-paling berdebat soal anak yang tidak kunjung kami miliki."AKP Taufik mengalihkan pertanyaan kepada Aryati."Maaf, ini pertanyaan pribadi.Sebelum bertemu Bapak, apakah Ibu pernahberpacaran dengan seseorang?"Sedikit ragu-ragu Aryati menjawab singkat sambil melirik ke arah suaminya,"Ya,pernah.""Mantan pacar Ibu sekarang sudah menikah?""Dengar-dengar sih belum.""Kok 'dengar-dengar', apakah Ibu masih berhubungan dengan dia?""Wah, enggak.Itu tidak sengaja saya dengar, pas keluarga saya datang dari daerah."Surat dari penculikEsok harinya ketika Mandala mampir ke kantor polisi, AKP Taufik mengatakan, "PakMandala, dari empat orang yang kami curigai, dua orang
patut diduga kuat terlibatkasus ini, yaitu Salyono dan Tumini. Alasannya, si penculiktahu persis kalau malamitu di rumah Bapak ada polisi."Polisi memutuskan untuk sementara tidak mengunjungirumah Mandala walaupuntetap akan diawasi selama 24jam nonstop.Kamis pagi, sekitar pukul 06.00, ponsel Mandala berdering. Aryati yang sejakperistiwa itu kurang tidur selalu berdebar hatinya kalau mendengar bunyi deringtelepon."Ya, Mandala Baring di sini.""Coba lihat di kotak surat. Di sana ada surat." Telepon langsung mati.Mandala meloncat dari tempattidur, lari bergegas ke luar.Sebuah amplop berwarna cokelat dalam kotak surat itu berisi dua lembar kertas.Satu lembar berisi denah suatu lokasi, satu lagi surat yang berbunyi, "Dewi akanselamat kembali ke rumah jika tuntutan saya dipenuhi. Pada denah tergambarlapangan pacuan kuda. Di utaranya ada jembatan. Kira-kira seratus meter darijembatan, sebelum halte bus,ada sebuah tong sampah plastik biru. Pukul 23.00masukkan uang seratus lima puluh juta rupiah yang dibungkus plastik hitam kedalam tong sampah itu. Anda harus mengendarai mobil sendirian. Awas, jangansampai ada orang lain yang melihat dan curiga.""Ikuti saja kemauannya. Tapi jangan berikan seluruhnya, sebab kata-kata si penculikbelum bisa dipercaya," saranAKP Taufik kepada Mandala yang segera menemuinya."Maksud Pak Taufik?"183"Selipkan saja dengan potongan kertas HVS, hanya tumpukan paling atas dan palingbawah yang uang asli. Seperti di film-film itu lo!"Tepat pukul 22.45 Mandala Baring mengendarai mobilnya keluar kompleksperumahannya yang tergolong mewah itu. Langit sedikit cerah dan jalanan tidakmacet. Dengan tenang Mandala mengendarai mobilnya melewati depan lapanganpacuan kuda, lalu menuju jembatan sesuai instruksi si penculik.Saat berhenti di atas jembatan, terlihat dua orang sedang memancing di sungaidekat jembatan itu. Tong sampah plastik ternyata berada dekat halte bus. Selain adatukang rokok, di sana ada gerobak roti dengan lilin menyala terang.
"Sial!" pikir Mandala, "Kalau plastik berisi uang itu saya buang ke tong sampah, te ntukedua orang itu akan curiga."Perlahan-lahan mobil Mandalameluncur ke arah halte.Untungnya, kedua pedagang itu tidak memperhatikan, sebab mereka tengah asyikmemainkan bidak-bidak catur.Sesudah menaruh bungkusanplastik ke tong sampah,Mandala pulang menunggu reaksi penculik dengan rasa waswas.Sepeninggal Mandala dari tempat itu, tampak sesosok gelandangan yang jalannyasedikit pincang perlahan turun ke sungai persis di bawah jembatan. Salah satu darikedua orang yang sedang memancing tadi merasa agak terganggu, lalu dengansenternya menyorotkan cahaya ke arah orang itu."Mau ke mana, Pak? Bikin takut ikan-ikan saja," bentaknya."Maaf, mau buang hajat. Permisi," jawab orang itu.Tak berapa lama kedua pemancing itu naik ke seberang jembatan, menemui danbercakap-cakap dengan seorang tukang becak. Malammakin gelap. Salah seorangpengail mengeluarkan teropong kecil dari saku, mengawasi dengan teliti kawasan disekitar tong sampah dekat halte."Mana Suwandi?" tanya si pembawa teropong kepada situkang becak."Sedang main catur dengan Bakri, Pak.""Boleh main, asal jangan lupatugas, dan jangan lengah.""Siap, Pak!"Rupanya, mereka adalah sejumlah petugas polisi yang sedang menyamar. Hampirtiga jam mereka mengamati keadaan, tetapi belum ada orang yang datangmendekati tong sampah atau orang yang patut dicurigai.Karena yang ditunggu tak juga muncul, para petugas itulalu mendekati danmemeriksa tong sampah plastik yang penuh dengan sampah kertas itu. Rupanya,bungkusan plastik hitam berisi uang itu sudah raib. Setelah diperiksa, sebagiandasar tong sampah itu ternyata berlubang, tembus ke gorong-gorong air yanglangsung menuju ke sungai dibawah jembatan. Diameter gorong-gorong itu hampirsatu meter, cukup bagi orangdewasa untuk berjalan dalamposisi jongkok."Sialan, jangan-jangan si gelandangan tadi orangnya," AKP Taufik geram karenamerasa kecolongan.184Mau menikah lagiMasih belum ada perkembangan baru sampai
di suatu Sabtu pagi Mandala Baringkembali menerima surat dari si penculik. Kali ini disertai selembar foto polaroid."Sepertinya, Anda mau bermain-main. Boleh saja. Uang yang Anda sampaikanternyata kurang dari Rp 10 juta, selebihnya hanya potongan kertas tak berguna.Sekali lagi, jangan main-main,karena akibatnya ... lihatlah foto kiriman saya ...." Difoto itu tampak Dewi Anggraini hanya mengenakankaus singlet, tangannya terikat kebelakang. Namun, yang mengejutkan, terlihat goresan luka yang meneteskan darah,seperti bekas sayatan pisau,pada pipi kanan gadis itu.Menyaksikan foto itu, Aryati serta merta pingsan.Dalam beberapa hari selanjutnya tidak ada informasi apa pun dari si penculik.Keluarga Baring makin panik. Polisi mencoba bertindak cepat dengan melakukanpenyelidikan terhadap Salyono dan Tumini.Brigpoltu Ayu Mawarni melaporkan, setiap dua hari sekali Tumini belanja ke pasar.Pulangnya selalu naik ojek."Meski tukang ojeknya selaluberganti-ganti, ia tetap perludiawasi. Itu karena iapunya kesempatan untuk berhubungan dengan orang lain," tutur Brigpoltu Ayu."Bagaimana dengan Salyono?""Ia tinggal di Prumpung. Anaknya empat orang. Tapi sepertinya ia 'ada main' denganPartinah, pemilik warung nasidi dekat kantor majikannya," jawab Bharatu Suwandi."Apa perempuan itu masih lajang?""Lajang, tapi 'perawat'.""Katanya tukang nasi, kok 'perawat'?" tanya AKP Taufik."Maksud saya, 'perawan agak lewat'," jawab Bharatu Suwandi sambil tersenyum."Hus, jangan bercanda. Terus, apa lagi?""Partinah mengaku, ia diberi kalung emas 15 gram, sebagai tanda jadi.""Berarti, Salyono banyak uang dong, dari mana mendapatkannya? Kalau begitu,bikinkan surat perintah pemanggilan untuk Salyono sebagai saksi," perintah AKPTaufik.Esok paginya Salyono memenuhi panggilan polisi. Pakaiannya rapi. Tampangnyamemang lumayan."Selamat pagi, Pak Salyono," AKP Taufik memberi salam."Saya dengar daribeberapa rekan Anda di Kantor Pak Mandala Baring, Pak Salyono hendak menikahlagi dengan Partinah, pemilik
warung nasi, benarkah?"Dengan malu-malu Salyono mengiyakan.185"Masalahnya, istri saya sakit-sakitan, Pak. Katany a, gejala sakit kuning. Enggakboleh kerja berat, enggak boleh capek. Kalau begitu, saya kebagian apa?" katanyasambil tersenyum penuh arti."Sudah dapat izin dari istri?""Belum sih, Pak. Tapi saya pernah menyinggung persoalan ini. Kayaknya, dia bisamaklum," jawabnya."Mengurus dua keluarga itu berat lo, Pak, terutama soal keuangannya.""Partinah 'kan punya warung,saya tinggal tambahi sedikit modal, beres.""Berarti, Pak Salyono banyakduit dong," pancing AKP Taufik. "Banyak sih tidak, Pak,tapi ada sedikit. Pembagian warisan dari kampung. Sawahorang tua kami kenaproyek jalan tol. Nah, uang ganti rugi itu dibagi dengan adik saya.""Omong-omong, selain Tumini, siapa lagi pembantu rumah tangga Pak Baring?"
"Ada Bu Sumiati, tukang cuci, dan Bu Piyah, tukang bersih-bersih rumah. Maaf, Pak,di sini boleh ngerokok?""Oh, silakan," jawab Taufik spontan.Dari sakunya Salyono mengeluarkan sebungkus rokok kretek, lalu sebotol kecilminyak angin. Salyono punya kebiasaan, sebelum disulut dan diisap, ia melumuribatang rokoknya dengan minyak angin."Memang enak, rokok diolesi minyak angin?""Kalau sudah biasa, enak, Pak. Kretek rasa mentol," sahutnya.Pembantu baru misteriusSeminggu kemudian rumah Keluarga Mandala kedatangan seorang perempuanmuda berambut pendek. Ia turun dari bajaj, menjinjing kopor. Tumini yang kebetulanmau berangkat ke pasar membukakan pintu pagar untuknya."Maaf, Mbak. Apa betul ini rumah Pak Mandala Baring?""Betul, Adik siapa?""Saya keponakan Bi Piyah, dari Tasikmalaya.""Oh, yang mau menggantikan Bi Piyah? Iya, kemarin Bi Piyah bilang, mau pulangkampung beberapa hari, ada urusan penting."Gadis hitam manis bernama Sugiarti itu mengangguk.Sugiarti tinggal di kamar yangbersebelahan dengan kamar Tumini dan hanyadibatasi tembok berventilasi. Di malam hari Sugiarti lebih suka ngendon di kamarmendengarkan radio. Sudah hampir 10 hari Sugiarti bekerja di rumah MandalaBaring.186Bila hari sudah malam, Sugiarti sering mendengar Tumini seperti berbicara denganseseorang. Ia juga sering memergoki Tumini sendirian di taman belakang malammalam.Sugiarti tidak tahu apa yang dilakukan teman kerjanya itu.Suatu sore selagi masih di kantor, ponsel Mandala Baring kembali berdering."Halo, ya. Bagaimana? Saya harus antarkan ke mana?" jawab Mandala gugup."Malam ini pukul 23.00 Anda mengendarai mobil sendirian. Siapkan uang, janganlupa bawa ponsel. Saya akan beri petunjuk selanjutnya nanti malam. Ingat, janganmelapor pada aparat," ujar suara dari seberang."Ya, ya. Tapi, bagaimana dengan anak saya?""Jangan khawatir, dia aman bersama saya," jawabnya singkat sebelum mematikantelepon.Tanpa buang waktu, Baring menyiapkan uang yang diperlukan. Malam itu Sugiartidipanggil Bu Aryati. Cukup
lama ia berada di rumah induk. Ketika mau kembali kekamarnya, ia dicegat Tumini."Kok lama amat? Disuruh apa sama Nyonya?""Bantu ngitung duit, sekalian memasukkan ke kopor.""Banyak duitnya?""Banyak sekali, ratusan ribu semua. Saya sampai bingung ngeliatnya.""Untuk apa malam-malam begini nyiapin duit segitu banyak?" "Enggak tahu. Katanya,malam ini Tuan ada urusan."Menjelang pukul 23.00, Tumini membukakan pintu gerbang. Mandala Baringmemasukkan kopor ke dalam mobil mewahnya. Ia tampak terburu-buru. Diperjalanan Mandala tampak seperti orang linglung, karena tidak tahu arah yangharus dituju.Beberapa saat kemudian, ponselnya berdering."Anda terus saja ke lokasi yang dulu, dekat lapangan pacuan kuda. Dulu Anda ke kirike arah jembatan, sekarang ke kanan ke arah kuburan. Lewati terus gerbangkuburan, sampai Anda menemukan telepon umum. Berhenti di situ, turun dari mobil,tapi mesin mobil jangan di-matikan. Tinggalkan uang di jok depan. Saya akanmemberi petunjuk selanjutnya."Perlahan Mandala mengemudikan mobilnya. Di sepanjang jalan tampak deretanwarung remang-remang. Di dekat telepon umum di bawahpohon mangga, sepertiyang dimaksud si penculik, ponselnya kembali berdering."Seperti perintah saya sebelumnya, tinggalkan uang di jok depan. Mesin mobil harustetap menyala. Anda bisa mengambil putri Anda di depan gerbang makam ."Mandala sempat terkesima, keningnya berkerut. Nada suara orang yangmeneleponnya sejak tadi sore terdengar berbeda dengan yang sudah-sudah.Suaranya dibuat-buat, seperti takut dikenali.187Makam itu sangat gelap. Tak tampak sebentuk sosok manusia pun di sana. Ketika iatengah menajam-najamkan penglihatannya, tiba-tiba terdengar bunyi derum mobil.Terlambat, seseorang telah melarikan mobilnya, dan uangtebusan sebesar Rp 150juta.Salah perhitunganSekitar pukul 04.00 Tumini tampak berjingkat-jingkat keluar dari kamarnyamembawa tas besar. Saat ia keluar pintu gerbang, sebuahtaksi kebetulan melintas.Taksi dengan penumpang Tumini kemudian meluncur ke
arah Cililitan, lalu terus keselatan. Sesudah melewati perempatan Kampung Rambutan, mobil itu berbelok kekiri. Sekitar 100 m dari mulut gang, taksi berhenti di depansebuah rumah papanbertingkat. Tumini segera masuk dengan kunci cadangan.Tanpa disangka, setengah jam kemudian, polisi sudah mengepung tempat itu.Setelah memberikan peringatan, polisi langsung mendobrak tempat itu. Di sebuahkamar di lantai atas, polisi mendapatkan Dewi Anggraini meringkuk di pojokan. Didepannya berdiri tegap Tumini. Di tangannya tergenggam sebuah cutter berlumurandarah."Sudah sering saya bilang. Kamu boleh memeras, tapi jangan menyakiti sandera. Eh,kamu malah berniat mencabulibocah ingusan seumur anakku," katanya beringaspada lelaki setengah mabuk, yang merintih di pojok lain ruangan itu. Bagian pinggullelaki yang hanya bercelana dalam itu terluka memanjang bekas sabetan cutterTumini.Dalam pemeriksaan diketahui,Tumini dan Sumarlan ternyatakomplotan penjahat.Mereka pernah beroperasi didaerah Jakarta Barat. Ketika kedua majikan Tuminibekerja, ia leluasa mengurasharta majikannya. Saat itu Tumini baru setengah bulanbekerja. Ia kabur membawa hasil jarahannya dengan mobil sewaan yangdikemudikan Sumarlan. Setelah itu dua kali mereka melakukan kejahatan serupa disebuah perumahan mewah di Jakarta Selatan.Namun, mereka tampaknya salah perhitungan ketika bekerja di rumah KeluargaMandala. Keluarga itu ternyata memiliki banyak pembantu rumah tangga sehinggakesempatan untuk merampok menjadi sulit. Memeras majikan dengan menculikanaknya adalah gagasan alternatif Tumini. Dengan harapan hasilnya akan lebihbesar, meski risikonya juga tidak kecil.Tumini, janda beranak satu, dan Sumarlan perjaka pengangguran berniat menikahdan membuka warung di kampung. Untuk itu, mereka perlu modal.Malam itu, begitu tahu kalau Mandala sudah mengirimkan uang tebusan, buru-buruTumini ke rumah kontrakan Sumarlan. Ia khawatir Sumarlan kabur dan menipudirinya. Tumini belum percayasepenuhnya pada kekasihnya itu. Ketika sampai,
didapatinya Sumarlan tengah mabuk, bahkan hendak berbuat tidak senonoh padaDewi. Nalurinya sebagai ibu bangkit, ia teringat pada anak tunggalnya di kampung.Cutter yang selalu ada di kantung bajunya pun ikut bicara."Di foto polaroid pipi Dewi tampak terluka, tapi ini kok tidak ada bekasnya?" tanyaAKP Taufik pada Sumarlan yang terbaring kesakitan."Saya dulu pernah membantu bagian tata rias dan efek khusus sebuah produksi filmlaga."188"Jadi, lukanya cuma tipuan? Kamu buat dari apa?""Dari sejenis lateks yang dilumuri 'darah', campuran madu dan zat pewarna.""Supaya Pak Mandala syok dan cepat mengirimkan uang tebusannya? Begitu?"Sumarlan mengangguk pelan.Tumini, yang duduk di samping Sumarlan, terkejut ketika seorang polisi wanitamemasuki ruangan. Polwan ituternyata Sugiarti. Ia menggamit tangan Bi Piyah.Rupanya, Bi Piyah hanya dititipkan pada salah satu keluarga Polisi. Tidak pulangkampung."Ini Komandan, bukti rekamannya," katanya kepada AKP Taufik. Sugiarti diam-diammemasang wireless FM, mikrofon yang sangat peka, di lubang angin yangmenghubungkan kamarnya dengan kamar Tumini. Mikrofon itu dihubungkan dengangelombang FM radio, dan direkam. Dari bukti itu diketahui, setiap malam Tuminiberkomunikasi dengan Sumarlan menggunakan ponsel."Lalu, mana uang seratus lima puluh juta itu?" tanya AKP Taufik setelah menerimalaporan, di rumah kontrakan Sumarlan tidak ditemukan uang sebesar itu."Uang? Uang apa, Pak?" tanya Sumarlan kaget."Yang semalam diantar sendiri oleh Pak Mandala!""Kalau uang yang kurang dari sepuluh juta itu memang saya yang ambil. Tapi kalauyang semalam, saya tidak menerimanya. Saya harus menunggu perintah dari Tumini.Sejak sore saya hanya minum-minum," jawabnya serius.Pengakuan Sumarlan dibenarkan oleh Tumini. Ketika Mandala mengantar uangtebusan, Tumini segera menelepon Sumarlan dan memarahinya karena merasabelum memberi tanda aman, kok Sumarlan sudah meminta uang tebusan itu. Tuminimelihat masih ada polisi yang sering datang ke rumah majikannya. Celakanya,
jawaban Sumarlan kacau, karena ia mabuk. Tumini tidakpercaya. Karena takutdibohongi, pagi-pagi Tumini pergi ke rumah Sumarlan. Tanpa dia sadari, ia naik taksiyang dikemudikan Bharatu Suwandi yang mendapat informasi dari Sugiarti.Pagi itu juga AKP Taufik Abdullah meluncur ke rumah Mandala Baring. Dewi masihtampak lelah di pelukan ibunya."Pak Mandala, selain Ibu, siapa saja yang tahu nomor ponsel Anda?""Yang ini khusus untuk keluarga, orang luar yang tahu hanya sekretaris saya.""Bagaimana dengan Salyono, supir Anda?""Oh, betul, dia juga tahu. Ia sudah saya anggap sebagai keluarga sendiri, karenasudah lama ikut saya."Dari anak buahnya AKP Taufik mendapat kabar bahwa mobil Mandala Baringditemukan di pinggir jalan dekat TMII. Rombongan polisi segera mendatangi tempatitu. Mobil itu kosong, tas berisi uang itu pun raib. Di lantai jok pengemudi tampakpuntung rokok kretek yang masih panjang. Puntung itu gepeng, sepertinya diinjakuntuk mematikan apinya. Di dekatnya, agak terlindung karpet, terdapat botol minyak189angin yang kosong. Puntung itu diambil lalu dicium AKP Taufik. Tidak tercium bauapa pun kecuali aroma tembakau. AKP Taufik menduga, si pengemudi siap merokok.Seperti kebiasaannya, rokok itu harus diolesi minyak anginsebelum diisap. Karenaminyak anginnya habis, rokok yang terlanjur disulut itu dimatikannya dengan diinjak."Sekarang bagi tugas. Kamu ke rumah Salyono, kamu ke terminal bus," perintahAKP Taufik kepada anak buahnya."Mau ke mana, Pak Salyono? Kok sendirian?" sapa AKP Taufik setelah memergokiSalyono di sebuah terminal bus antarkota antarprovinsi di Jakarta Timur."Pulang kampung, ngobati istri. Sakit sejak dulu enggaksembuh-sembuh," jawabnyaagak grogi."Boleh lihat isi tasnya?" sela seorang polisi di sebelahnya.Dengan berat hatiSalyono menyerahkan tas gendongnya. Di dalamnya terdapat setumpuk uang,jumlah dan nomor serinya sama persis dengan uang yang dibawa Mandala Baringsemalam.Salyono memang cerdik. Ia pandai memanfaatkan kesempatan meski tidak punya
sangkut paut dengan komplotan Tumini dan Sumarlan.(Fiksi/Riady B. Sarosa, di Jakarta)