watch sexy videos at nza-vids!
JEBAKAN BUAT PANGERAN HITAM

Hari tengah beranjak malam. Sersan Rinus de Gier dan Ajun Komisaris HenkGrijpstra, dua detektif nyentrik dari Kantor Kepolisian Amsterdam merasasudahsaatnya pulang, mandi air hangat sembari memijat-mijattengkuknya sendiri. Aduhaisedapnya. Namun, tiba-tiba telepon di meja de Gier berdering tiga kali. "Seorang ibumendengar suara tembakan dari rumah tetangganya," kata de Gier pelan.Grijpstra langsung meraih mantelnya. Sementara de Gierlangsung sibukmengenakan tempat sarung pistol barunya. "Pistolnya kegedean. Ketiakku sampaisakit," sungut de Gier beulang-ulang. Grijpstra memandangi mitranya sambiltersenyum. Pistol baru mereka, Walther P-5, memang punya plus-minus. Disatu sisi,lebih ringan dan lebih canggih, karena daya terjangpelurunya mencapai 200 m.Namun, ukurannya itu lo, lebih besar dari pistol sebelumnya."Kita bukannya polisi patroli jalan raya yang memamerkansenjata di pinggang. Tapidetektif yang justru harus menyembunyikan pistol," omelde Gier, sembari tergesagesamasuk lift. Keluar lift, mereka berpapasan dengan beberapa polisi berseragam.Salah satunya, seorang polisiwanita berparas ayu."Hai, Rinus," sapa sang polwan."Hai juga, Jane," balas de Gier."Jane?" komentar Grijpstra, setelah sang polwan berlalu."He-eh. Apa ada yang salah?Namanya bagus 'kan? Orangnya juga baik.""Memangnya kamu sudah kenal lama." "Enggak juga," de Gier membuka pintu, danmempersilakan Grijpstra masuk ke dalam mobil."Omong-omong, mau ke manakita?" tanya Grijpstra, sedetik setelah pantatnyamenempel di jok mobil."Ouborg," jawab de Gier pendek. Tak ada kata lain, karena pikirannya masihtertanam pada Jane.Dua belas bulan gajiOuborg adalah wilayah eksklusif di bagian selatan Amsterdam. "Ibu tadi bilang, iabukan hanya mendengar suara letusan senjata api, tapi juga teriakan suaraperempuan. Lalu sebuah mobilmewah warna perak kabur dari rumah tetangganyaitu. Sayang, nomor polisi mobil tak sempat dicatat," cerita de Gier, yang gemarmemacu mobil seperti pengebut jalanan.
Tak heran kalau sejurus kemudian, dari kaca spion tiba-tiba terlihat sebuah mobilpatroli polisi. Seperti biasanya, mereka memberi isyarat agar de Gier meminggirkanmobil."Cuekin aja," komentar Grijpstra. De Gier melirik speedometer. "Baru" 100 km perjam!"He-he-he. Enggak salah nih.Biasanya, Anda marah-marahkalau aku ngebut.""Memangnya orang enggak boleh berubah?" sahut Grijpstra.32"Lo kok malah berhenti?" protesnya kemudian."Ini 'kan mobil tua. Secepat apa pun dibawa ngebut, tak akan bisa menghindar darimobil-mobil patroli keluaran terbaru. Lihat saja, sekarangmereka sudah nongkrongdi depan kita."Grijpstra menarik napas panjang. "Lagi-lagi teknologi modern. Ya pistol, ya mobil,sama-sama bikin masalah!""Ho-ho-ho, boleh kami ikut jalan-jalan?" seru salah satudari dua polisi yang ada dimobil patroli, begitu tahu kendaraan yang hendak mereka tilang berisi dua detektifbengal. "Asal kalian tidak ribut dan menambah masalah,kenapa tidak?" balas deGier, sedikit kesal karena perjalanannya terhambat.Sesampai di Ouborg, tak jauhdari TKP, seorang wanita setengah baya tampakmelambai-lambaikan tangan pada mereka. Kelihatannya, ia wanita yang tadimenelepon de Gier. Setelah bertukar cakap sebentar, rombongan polisi itu segeramemeriksa keadaan di sekitar rumah besar, yang menjadi sumber suara letusan."Aku rasa, tindakan kita ini ilegal," terdengar komentar salah seorang polisiberseragam."Kamu benar. Detektif, kita butuh surat perintah untuk masuk ke dalam," teriak polisiberseragam satunya lagi."Idiot. Seorang perempuan tergeletak tak berdaya di tempat tidur. Berbusana minimdan wajahnya belepotan darah diterjang peluru. Tapi kalian malah omong soal suratperintah," umpat de Gier, sambil memukul-mukulkan popor pistolnya pada kacajendela. "Heh, percuma. Peralatan modern biasanya terbuat dari plastik ringan,mana mungkin bisa memecahkan kaca. Pakai yang ini saja, kuno tapi dijaminmanjur," anjur Grijpstra, seraya memungut batu sebesar kepalan tangan dari taman."Jane," pekik Grijpstra begitu
masuk kamar."A pa?" seru de Gier kaget."Ia mirip banget dengan Jane.Ya ampun, sepertinya bunuh diri. Lihat, tangannyamasih memegang pistol. Tapi sebelum bunuh diri, korban kelihatannya sempat pestaminuman keras dan obat-obatan. Masih ada gelasdan botol minuman di sini. Tapi,mengapa minum-minum dengan hanya berbusana minim?"Semua menoleh, tapi tak ada yang menjawab pertanyaan Grijpstra. Tak juga duapolisi berseragam yang tampak menyibukkan diri dengan menelepon nomor daruratmarkas besar mereka. Sementara Grijpstra terus berkeliling ruangan."Salut. Pemilik rumah ini punya lukisan karya Edward Hopper, pelukis terkenalAmerika itu. Kamu tahu, Gier, harga lukisan ini mungkin setara dengan dua belasbulan gaji kita di kepolisian. Rumah ini pun harganya pastimiliaran," sang AjunKomisaris terus ngoceh.Bukan bunuh diri"Sudah dapat informasi?" tanya Grijpstra, tiga jam kemudian."Pertama, Anda pasti tahu, wanita yang kita temukan sudah benar-benar dalamkeadaan meninggal. Kedua, dokter belum bisa memastikan penyebab kematiannya33sebelum melakukan autopsi. Ketiga, paling menyebalkan, tak ada sama sekali sidikjari pembunuhnya," jawab Sersan de Gier.De Gier menambahkan, untuk sementara, dokter curiga wanita cantik itu tidak matilantaran bunuh diri, melainkan overdosis narkoba. Perkiraan tim medis juga sejalandengan penemuan tim forensik kepolisian bahwa kemungkinan bukan korban yangmeletuskan senjata, meski saat ditemukan, pistol terselip di tangan kanannya."Kalau ia sendiri yang menarik picunya, noda bekaskeringat, uap yang keluar pascaletusan, dan pelumas pistol pasti bercampur jadi satu, menimbulkan jejak di telapaktangan. Padahal, saat ditemukan, tangan korban dalam kondisi bersih," ujar de Giermenirukan kesimpulan tim forensik."Ajun Komisaris, kalau bukankasus bunuh diri, tentu ada orang lain, mungkin sajapembunuhnya, yang sengaja meletakkan pistol di tangan korban," sambung de Gier."Sebelum mati, korban sempat bercinta dengan pembunuhnya.""Kelihatannya begitu. Lalu
pelakunya kabur memakai mobil mewah warna perak.""Omong-omong, siapa nama korban?""Cora. Cora Fischer. Sedangkan rumah yang kita datangi tadi milik pacarnya, biasadipanggil Waver. Kata para pembantu, beberapa hari terakhir, Waver tidak ada disana.""Waver? Kamu tahu Gier, harga rumahnya setara dengan 20 tahun gajiku dikepolisian," lagi-lagi Grijpstra mengeluarkan "datastatistik" yang tak terlaludibutuhkan rekannya.Waver sendiri bukan nama asing di kalangan detektif Amsterdam. Meski bukanpengacara, dokter gigi, atau akuntan (profesi-profesi"basah" di Belanda), Waverkaya bukan main. Sayang, kekayaannya itu diperoleh dari berbagai bisnis ilegal.Seperti rumah judi, transaksiobat-obat terlarang, dan klub seks. Waver juga bukanpembayar pajak yang baik. Pendek kata, ia layak menyandang gelar "PangeranDunia Hitam".Toh, sampai detik itu, belum pernah ada borgol polisi yang berhasil mengikat keduatangan sang "pangeran". Apalagi membawanya masuk bui. Waver selalu lolos,karena ia pandai memanipulasi pembukuan danmelenyapkan barang bukti. Lewatdetektif yang menyamar sebagai salah satu tukang pukulnya, polisi juga tahu,setahun terakhir Waver punya pacar baru, seorang mantan model. Grijpstra yakin,pacar anyar Waver itulah yang baru saja mereka temukan tak bernyawa dalamkeadaan berbusana minim."Ke mana kita sekarang, AjunGrijpstra?""Ke cafe. Kita perlu sedikit menenggak gin dan mengisaprokok hitam.""Ho-ho-ho. Pagi yang indah!"Dicekoki narkobaSiangnya, Grijpstra dan de Gier sudah berada di ruang autopsi. De Gier yang tidaktahan menyaksikan "adegan mengerikan" di meja bedah memilih jalan-jalan di luarrumah sakit. Sedangkan Grijpstra menguatkan diri, menonton para ahli patologi34membuat sayatan panjang dari bahu ke titik pusat, dan sayatan pendek dari perut kesekitar pinggang.Dokter yang lain menyayat kulit kepala untuk melihat tengkorak dan memeriksa lukabekas peluru. Huek! Grijpstramerasa, nafsu makannya hariitu bakal merosot tajam.Meski ini bukan pengalaman
pertama, ia tetap tak bisa menerima, mengapa tubuhyang sudah dirusak p embunuh, harus dirusak lagi dengan pisau bedah?Sambil memperhatikan meja bedah, Grijpstra mencoba mereka-reka duduk perkarasebenarnya. Semasa hidupnya, Cora pasti sangat cantik. Itu sebabnya, ia menjadimodel sejumlah pelukis terkenal. Setelah pensiun sebagai model, Cora jatuh kepelukan Waver. Wanita gemulai itu dengan gampangnya menjadi bintang dan"penguasa" klub seks milik Waver di Noordwijk. Kemudian ... uffs, Grijpstraterbangun dari lamunan.Seorang dokter tiba-tiba sudah berdiri persis di depanhidungnya. "Kami telahmelakukan serangkaian pemeriksaan," ujar anggota tim autopsi itu. "Tampaknyatidak ada bekas suntikan. Jadi, korban dicekoki atau mencekoki dirinya dengankokain lewat jalan normal. Korban juga merokok dan minum minuman keras terlalubanyak," tambah sang dokter."Jadi, zat-zat haram itu yangmembunuh Cora?""Bukan. Peluru di kepala yang membuat korban meninggal.""Anda yakin, Dok?""Yakin sekali."Tak lama kemudian, de Gier kembali dari acara jalan-jalannya. Hatinya senangmelihat autopsi sudah selesai."Ada hasil," tanyanya."Yapp," jawab Grijpstra,"Kamu sendiri?""Aku sempat melihat seorang lelaki dengan sepeda motor besar, berhenti lama takjauh dari tempat kejadian perkara. Wajahnya tertutup helm. Perawakannya sepertipetinju. Tingginya sekitar enam kaki (sekitar 180 cm - Red.)," cerita de Gier. "Daribalik helmnya, aku bisa melihat tatapan mata penuh rasa ingin tahu.""Kaki tangan Waver?"De Gier mengangkat bahu.Biaya hidup tinggi"Tuan Waver," de Gier membuka acara tanya jawabnya dengan Waver di ruanginterogasi kepolisian. "Kami punya fakta, selama ini Anda berada di belakang banyakkemaksiatan. Mulai rumah judi, pelacuran terselubung, hingga peredaran obat bius.""Saya juga punya fakta. Kalian tak pernah punya bukti.""Bukti? Kutukan dari masyarakat, itulah buktinya. Pacar Anda mati di kamar Andasendiri," de Gier berhenti sebentar.35"Hebatnya, ia dibuat seperti mati bunuh diri. Padahal kami
yakin, dassh!, ia ditembakpersis di kepalanya.""Seseorang juga telah memasukkan obat bius ke dalam minumannya," sambungGrijpstra."Dengar, Detektif. Semua orang tahu Cora suka minum dan mengonsumsi narkoba.Saat kejadian, saya sedang menghabiskan malam bersama wanita lain, Yvette, yangjauh lebih menggairahkan. Mungkin ia tahu itu, frustrasi,lalu nekat bunuh diri.""Dengar, Waver," potong de Gier."Untuk apa saya mendengarkan?" balas Waver hendak beranjak darikursi. "Sayapunya alibi dan Cora jelas bunuh diri. Semua orang tahuitu!""Duduk, Waver! Kami yang menentukan jalan ceritanya. Mulanya, Anda menerimaCora dengan senang hati. Ia cantik, menggairahkan, dan ikon yang cukup dikenal didunia seni. Ia seorang humasyang baik. Anda menjadikannya ratu di klub,membelikannya mobil mewah dan perhiasan mahal. Tapi lama-kelamaan, Andamulai sebal dan merasakan gaya hidup Cora yang jetset sebagai beban.""Cukup!""Masih belum cukup, orang besar. Sebagai orang bisnis, Anda concern padamasalah untung-rugi. Agar neraca 'berimbang', Anda memaksa Coramenyelundupkan heroin. Berbekal kemolekan tubuhnya, Cora dapat melakukantugas itu dengan mudah. Toh petugas pabean tak akan berani memegang-megangbagian tubuhnya yang sensitif. Tapi kemudian, Cora sadar tindakannya salah. Iasebenarnya perempuan baik-baik. Lelaki seperti Andalah yang membuatnya jadijahat!""Halo?" Grijpstra melancarkan perang urat saraf."Beberapa malam sebelum pembunuhan, Anda membakarmobil Camaro milik Cora.Karena Anda tahu, Cora sangat menyayangi mobilnya. Dengan cara itu, Andamengancamnya secara halus.""Detektif, kalaupun Cora mati dibunuh, kalian tak akan dapat menemukanpembunuhnya. Apalagi menuduh saya. Alibi saya kuat. Saya sedang tidak di rumahsaat itu!""Tentu saja. Karena Anda punya si badan besar Freddyyang siap melaksanakanperintah apa saja.""Ngawur. Saya pergi sekarang," Waver berdiri dan pergi begitu saja, meninggalkanruang interogasi tanpa mempedulikan Grijpstra dan de Gier yang salingberpandangan. Bang! Perang
baru saja dimulai."Omong-omong, dari mana kamu tahu soal Freddy?" tanya Grijpstra keheranan, taklama setelah kepergian Waver.De Gier tersenyum licik."Waver itu penjahat kelas kakap. Ia enggak akan mengotori tangannya sendiridengan darah Cora. Polisi menyamar yang selama ini mengamati Waver bilang, ia36punya tukang pukul andalan bernama Freddy. Aku sendiri sebenarnya tidak tahuapa-apa soal Freddy.""Gertakan yang bagus. Mudah-mudahan enggak meleset.""Tugas membunuh Cora banyak 'godaannya'. Itu sebabnya, mereka sempatberhubungan intim.""Tapi kita masih harus membuktikan banyak hal. Kenyataannya, Waver memangtidak di rumah itu. SedangkanFreddy, kalau betul memang dia pelakunya, tetap sulitdijangkau. Banyak saksi matadi Noordwijk yang akan memberi alibi. Freddy sedangmain kartu dengan si Anu
atau si Anu.""Eh, apa kabarnya Jane, ya?" De Gier tiba-tiba memelintir topik pembicaraan.Grijpstra diam, tapi jidatnya berkerut, tampak berpikir keras. Apa dia juga memikirkanJane?Mengancam kucingBeberapa jam kemudian, bel di apartemen de Gier berbunyi. Yang datang malammalambegini, tentu tamu istimewa, pikir De Gier. Ia segera meletakkan kucingkesayangannya di sofa, menaruh buku di meja, kemudian membukakan pintu untuktamunya."Selamat malam," seru seseorang. "Saya Freddy."Amboi! Kelihatannya, pancingan pada Waver mengena. Tanpa diminta, Freddylangsung duduk di sofa. Pantatnya yang segede pantat gajah nyaris menindih kucingde Gier."Yang sedang Anda duduki, aslinya memang tempat dudukkucing saya," jelas deGier."Kucing tolol!""Apa?""Dengar. Aku datang membawa sejumlah uang," bilang Freddy, seraya menunjukkansebuah amplop. "Ini baru uang muka. Anggap saja sebagai hadiah.""Cuma itu berita yang kamu bawa?""Dasar polisi bandel. Tapi aku suka polisi begitu. Itu sebabnya bos menawari kamuuang. Asal tahu saja, sudah banyak polisi yang kami bayar. Bagus kalau polisibandel seperti kamu mau bergabung.""Begitu?""Ya!" Freddy menyeringai.De Gier menyalakan rokoknya."Sebenarnya, aku sedang tidak butuh uang panas. Jadi,bisa saja tawaran inimembuatku tersinggung dan menembak jidatmu. Tapi aku ogah berkelahi di sini.Nanti merusak perabot," katanya santai.37"Kalau begitu, tunggu apalagi.Bos paling benci orang sok kayak kamu. Tak tahu diri.Kamu akan merasakan akibatnya!""Seperti apa?" tantang de Gier.Freddy meraih kucing kesayangan de Gier. Lalu mengeluarkan pisau lipat darikantung jaketnya. Dalam sekejap, pisau tadi menempeldi leher kucing betina yangsangat ketakutan."Aku bisa membedah kucing ini, persis seperti kalian membedah Cora. Bedanya, akuakan membiarkan isi perutnya berserakan. Tak ada jahitan penutup."De Gier mulai geram."Keterlaluan," katanya dalam hati. Tapi kemarahan ituditahannya sekuat tenaga demi keselamatan kucing tersayang."Aku juga akan membunuh ibumu dan seluruh isi
apartemen ini. Bos dapatmelakukan apa saja dan membeli siapa saja!" ancam Freddy.De Gier masih lebih suka mendengar ketimbang berdebat. Ia berharap mendapatinformasi tambahan tentang Waver dari anak buahnya yang pongah ini."Bisnis heroin dan kokain sedang bagus. Kamu juga bisa seperti aku, berlibur keBermuda, Seychelles, atau Indonesia," ujar Freddy, sambil berjalan keluarapartemen.De Gier lega, kucingnya selamat. "Good bye," katanyaseraya menutup pintu. "Danrasakan nanti pembalasan Tabriz," imbuhnya dalam hati.Tabriz adalah nama kucingDe Gier. Ia menunggu Freddy masuk lift. Lalu turun lewat tangga. De Gier yang tibalebih dulu di luar apartemen memberi isyarat pada Freddy, isyarat tantanganberkelahi. "Di sana," ujarnya menunjuk ke arah taman.Freddy yang jago karate danbertubuh lebih besar tampaknya bakal di atas angin.Tapi soal berkelahi tangan kosong, sabuk hitam judo de Gier tak layak dipertanyakan.Dalam waktu beberapa menit saja, tendangan dan pukulansimultan sersanberpostur jangkung itu berkelebat tanpa kenal lelah. Freddy tak berdaya, tersungkurdi tanah, pingsan!Tiga jam kemudian, tepatnya jam tiga pagi, rumah Cora Fischer didatangi tamu takdiundang. Tamu bersepeda itu kelihatannya maling profesional, karena denganmudah menemukan kamar tidur Cora, mengumpulkan beberapa potong pakaian,memb ungkus sejumlah perhiasan, lalu pergi begitu saja tanpa diketahui paratetangga.Pukulan mematikanBesoknya, Grijpstra dan de Gier melangkah lebih maju. Mereka langsungmendatangi sarang sang Pangeran Hitam di klubnya di Noordwijk. Keruan,kedatangan mereka"disambut ramah" oleh Waver. Pelayan cantik mengenakan rokmini (maaf, tanpa pakaian dalam) datang membawakan bir. De Gier sempatmemperhatikan wajah Waver.Lelaki yang beberapa hari lalu begitu sombong itu kiniterlihat pucat.Bahasa tubuhnya menampakkan ketegangan luar biasa. Sepertinya, Grijpstra dan deGier hanya tinggal melancarkan beberapa jab dan satu hook telak untuk membuatlawannya KO. "Saya dengar, Freddy meninggalkan
sesuatu di apartemen Anda,"38mata Waver mengarah pada de Gier. "Benar. Itu salah satu alasan kami ke sini.Silakan hitung jumlahnya," jawab de Gier, mengembalikan amplop.Tak lama setelah Waver mengambil kembali amplopnya, de Gier melancarkan jabpertama. "Anda kami tahan, Waver!"Sang "Pangeran Hitam" tersenyum sinis. "Ditahan untuk apa?""Untuk beberapa tuduhan serius. Mengedarkan obat bius, prostituasi terselubung,dan judi ilegal," jawab Grijpstra tegas."Benar-benar gila. Ini klub seks, bukan rumah bordil," Waver hendak beranjak darikursinya."Kalem, boy. Duduklah. Sersan de Gier 'kan sudah bilang, Anda ditahan!""Sudah kubilang juga, kalian tak punya bukti.""Bagaimana dengan upaya menyogok kolega saya, mengancam kucing de Gier, danterakhir, membunuh Cora Fischer?" Grijpstra melancarkan "jab" kedua."Omong kosong!" Waver berteriak."Sssst, Ajun Komisaris, permainan pianonya bagus banget. Aku mau menikmatimusiknya dulu," de Gier memalingkan wajahnya ke arah panggung.Waver makin kesal. Apalagi ketika Grijpstra menggeledahnya dan menemukan satugram kokain dan sebilah belati di kantung celana dan jaket. Sementara itu, pelayanpelayanseksi bertelanjang dada bergantian mengantar minuman. "Bagaimanadengan flute-nya, Gier?" celetuk Grijpstra. De Gier seperti tersentak, lalumengeluarkan semacam suling kecil dari balik jasnya.Disambut tepukan meriah pengunjung klub, de Gier memainkan sebuah lagu syahdu.Suara flute-nya memenuhi ruangan. Piano dan kombo tak kesulitan mengiringiimprovisasi sang detektif. Grijpstra sendiri tak menyangka, juniornya akan segila itu.Kegilaan yang makin membuatWaver stres. Bayangkan, para detektif itu tak hanyamenuduhnya dengan beragamkejahatan, tapi juga"menguasai" massa klubnya.Suasana telah terbentuk. Pikiran Waver pun sudah dibuat kacau. Kini saatnyamemberi pukulan mematikan. Tak lama kemudian, dari pintu masuk klub, munculseorang wanita bertubuh semampai. Tak diragukan lagi, paras dan lekuk tubuhnyabegitu menggoda. Dandanannya tidak seronok,
tapi berkelas. Rambutnya tertatadengan baik. Dibalut gaun indah dan perhiasan melingkari tangan dan leher, siwanita duduk tak jauh dari Grijpstra dan Waver.De Gier masih asyik memainkan "senjata" melengkingnya di panggung. SementaraGrijpstra menanti dengan berdebar-debar. Waver sendiri tampak gelisah. Matanyabergerak tak fokus. Sampai akhirnya tertumbuk pada sosok perempuan yang barusaja masuk klub. Seketika airmuka Waver berubah. Dari tempat duduknya, Grijpstrabisa mendengar Waver berdesah, "Cora ...."Grijpstra segera melambaikantangan pada detektif Cardozodan anak buahnya. DeGier pun menghentikan alunan flute-nya. "Saatnya melakukan penggeledahan," bisikGrijpstra pada Cardozo. SangAjun Komisaris menyerahkan secarik kertas padaWaver. "Surat izin melakukanpenggeledahan," ucapnya cepat. Seperti perkiraan39Grijpstra, bukannya membaca"surat tipuan" itu, Waver malah mematungmemandangi wanita elegan tadi, sambil terus berbisik,"Cora ..., Cora ....""Cepat, kita harus menemukan sesuatu di klub ini. Prioritaskan pada heroin," sergahGrijpstra, setelah bergabung kembali dengan Cardozo dan de Gier. Jika Waver"tersadar" sebelum barang bukti ditemukan, sia-sia jebakan ini dibuat. Polisimemfokuskan penggeledahanpada heroin, agar dapat memenjarakan Waversementara waktu, sambil menyelidiki keterlibatannya pada kasus pembunuhan Cora.Pucuk dicinta ulam tiba. Di sebuah ruangan, Cardozo menemukan sebuah "patungdewa" berukuran sedang yang sangat dikenalnya."Patung seperti ini pernah kamisita beberapa waktu lalu. Tapi lebih enteng, karena dalamnya sudah bolong. Kamicuriga sebelumnya diisi heroin yang diselundupkan melewati perbatasan," ujarCardozo."Tapi patung yang ini beratnya lumayan," imbuh Cardozo."Kelihatannya kita telah menemukan harta karun Waver," balas Grijpstra."Juga modal untuk membuka outlet narkoba," canda de Gier. Senyum Grijpstramakin lebar, ketika seorang anak buah Cardozo melapor."Siap, Pak. Tuan Wavermengakui keterlibatannya pada kasus pembunuhan Cora Fischer."
"Secepat itu?""Ya, Pak, dan dia juga masih terus memandangi polwan Jane!""Ho-ho-ho, malam yang indah!" (Kisah rekaan/Janwillem van de Wetering/Icul)