Singapura tahun '70-an, bukanlah negeri yang bersahabat buat trio warganya, OngChin Hock, Yeo Ching Boon dan Ong Hwee Kuan. Mereka merasakan betapatersiksanya hidup dengan penghasilan pas-pasan. Sementara biaya hidup makin harikian tinggi. Malam itu, 21 April1978, seperti biasanya tiga pemuda berumur 20tahunan itu bermain biliar di Kallang Amusement Centre (KAC). Hanya di tempatitulah, mereka dapat tertawa lepas, melupakan segala beban.Selepas nyodok, mereka ngobrol ngalor ngidul di sebuah taman, tak jauh dari KAC.Banyak hal diobrolkan, mulai masalah politik sampai kesehatan. Tapi ujung-ujungnya,tak jauh dari urusan perut. Maklum, kecuali Chin Hock yang sedang menjalani wajibmiliter, Ching Boon dan Hwee Kuan statusnya pengangguran."Hidup pasti jauh lebih mudah, kalau kita punya banyak duit," ujar satu dari mereka."Ya, dengan duit, kita bisa berbuat apa saja.""Tapi dari mana kita bisa mendapat banyak uang?"Ketiganya terdiam. Kuan yangberwajah kasar melontarkan ide setan,"Bagaimanakalau kita merampok?"40"Ide gila. Tapi boleh juga," sahut Yeo yang bertampang innocent."Tapi kita harus punya pistol.Zaman sekarang, lebih enak merampok pakai pistol,"balas Kuan."Ya. Aku tahu cara mendapatkan pistol dengan gampang," cetus Yeo.Ia lalu bercerita tentang tempatnya berdinas saat wajib militer dulu, markas polisiyang juga berfungsi sebagai asrama pasukan cadangan, di Mount Vernon. Tentangpenjaga pos kecil di pintu gerbang, yang hanya dijaga satu orang dan lebih seringdipercayakan pada polisi wajib militer. Juga perihal waktu terbaik untuk melakukantipu daya, yakni lewat jam dua belas malam, ketika konsentrasi petugas jaga mulaikendur."Yang belum aku tahu, bagaimana caranya merebut senjata petugas jaga."Mereka berpikir keras dan saling melontarkan ide. Tapi sampai jam sebelas malam,tak jua terbersit jalan keluar."Oke. Sekarang kita pulang. Tapi ingat, kita harus cepatmencari solusi masalah ini," bisik Yeo pada kedua sohibnya.Putus sekolahYeo, Hock dan Kuan berteman sejak kecil. Ong Chin Hock alias Ah Hock masihbujang, tinggal di New Upper Changi Road, anak buruh bangunan. Ia putus sekolah,sehingga terpaksa mengikuti jejak bapaknya sebagai kuli bangunan, sebelumakhirnya masuk wajib militer.Sedangkan Yeo Ching Boon, dikenal juga sebagai Ah Pui atau Freddy, masih tinggalbersama orangtuanya. Anak tertua dari empat bersaudaraini pernah dikeluarkan darisekolah karena berkelahi. Pernah juga bekerja sebagaipenjaga gudang padasebuah perusahaan tekstil, namun dikeluarkan, lagi-lagi karena berkelahi.Hwee Kuan alias Ah Kuan lain lagi. Ia sempat menjadi anggota kelompok Sio KunTong, yang kerap melakukanaksi pencopetan di sekitar Angullia Road. Tahun 1976,Kuan dan teman-temannya ditangkap polisi, sehabis merampok turisberkewarganegaraan Malaysia. Bulan April 1977, ia masuk rumah rehabilitasi,karena kecanduan narkoba.Keesokan harinya, tiga sekawan bertemu lagi di KAC. Sorenya, para pengangguranbanyak acara ini melanjutkanaktivitasnya dengan menonton pertandingan sepakboladi bekas Sekolah Dasar mereka, Tu Li. Di salah satu sudut sekolah inilah, merekakembali mendiskusikan niat jahatnya."Sebagai modal, kita juga butuh senjata tajam. Aku sarankan pakai pencungkil essaja," ujar Yeo."Aku setuju. Tapi kita juga perlu pisau," balas Kuan."Duitnya dari mana buat beli pisau?" sergah Yeo.Hock membuka jam yang melingkar di tangannya. "Jualsaja ini, pakai untukmembeli pisau," katanya.Yeo tertegun sebentar, lalu mengangguk dan tersenyum."Begini kira-kiraskenarionya. Keculai Kuan, kita semua memakai seragam pakaian wajib militer.Dengan begitu, akan lebih mudah mendekati pos penjagaan."41"Menurutku, kita sebaiknya jangan pakai seragam," komentar Hock. "Di sana kanada asrama. Kalau terlalu mencolok, berbahaya. Jika terjadi sesuatu, polisi-polisiyang tidak sedang bertugas bisa menyulitkan kita.""Jadi, gimana dong?" nada bicara Yeo terdengar putus asa.Lagi-lagi mereka saling melontar ide. Namun dari beberapa ide yang dibahas, tak satu pun disetujui secara aklamasi. Sampai akhirnya, Yeo mengetuk palu.""Oke, apapun recananya, takboleh terlalu mencolok. Yang penting kita setuju untuksegera melaksanakan rencana ini." Anggota tiga sekawan yang lain hanya manggutmanggut.Yeo pun melanjutkan, "Kita akan mulai bergerak jam dua dinihari, dua haridari sekarang. Setuju?"Hock dan Kuan mengangguk.Bajak taksiDua hari kemudian, persisnyasore menjelang malam, tiga sekawan sepertibiasanya berkumpul di KAC. Yeo sempat main biliar dengan sejumlah temannya,sampai sekitar pukul 21.00. Setelah itu, Yeo pergi ke sebuah kawasan pertokoan,untuk menjual jam tangan Hock, sekalian membeli dua buah pisau dapur."Jam-jam segini banyak patroli polisi berkeliaran. Enggak aman membawa-bawasenjata tajam. Mending pisau-pisau ini disimpan di rumahku dulu," tegas Yeo.Setelah menyimpan pisau, Yeo tak langsung keluar. Ia memotong sebuah tali terbuatdari nilon menjadi empat bagian. Cukup untuk mengikattangan, kaki, atau menjeratleher. Lalu memasukkan tali-tali tadi dan alat pencungkil es ke dalam travel bag kecilkepunyaan adiknya.Jam dinding menunjukkan angka 10, masih empat jam lagi dari jadwal yang merekarencanakan."Aku masih butuh duit buat transportasi," bilang Yeo memecah kesunyian."Jangan khawatir, aku punyaseorang teman yang bisa dipinjami uang," tanggapHock. Ditemani Kuan, Hock kemudian berangkat menuju rumah temannya di LorongKoo. Ketiganya berjanji bertemu kembali pada pukul 11.45 di sekitar Kallang Bahru.Namun saat bertemu kembali,Hock ternyata datang dengantangan hampa. HanyaYeo berhasil meminjam Sin 10dolar dari seorang teman.Sebagian uang itu mereka habiskan untuk makan dan minum di sebuah kafe.Setelah kenyang, Yeo menuturkan rincian rencananya. "Kita akan beroperasi dariatas taksi. Di tengah jalan, kita bajak taksinya. Hock lalumengambil alih kemudi,sedangkan Kuan duduk di kursi belakang, pura-pura mabuk. Aku sendiri, keluar taksidan pura-pura minta bantuandari polisi di pos jaga. Setelah penjaga mendekat, aku akan mendorongnya masuk taksi, kemudian kita culik danrampa senjatanya.Bagaimana?""Tapi jangan biarkan polisi dan sopir taksinya lolos begitu saja," timpal Kuan."Kamu'kan tahu, aku punya catatandi kantor polisi. Kalau sopir taksi dan penjagamengenali ciri-ciriku, kita akan langsung diciduk.""Baiklah, kita main aman. Keduanya harus mati. Setuju?" usul Yeo.42Kuan tampak senang, sedangkan Hock tak berkomentar sepatah kata pun.Tepat pukul 01.30, Yeo menyempatkan diri pulang ke flatnya, mengganti pakaiandengan t-shirt merah dan celana biru gelap. Ia memutuskan tidak memakai pakaianseragam wajib militer, sepertirencana semula. Kemudian keluar dengan menentengtravel bag, dengan pencungkil es terselip di pinggang."Semua siap?" tanya Yeo."Siap," sahut Kuan dan Hock serentak.Terjerembab di gotChew Theng Hin, sopir sekaligus pemilik taksi, tentu tak menyadari nyawanyasedang di ujung tanduk. Jarang-jarang jam segini ia masih berada di belakangkemudi. Biasanya ia sudah pulang ke rumahnya di Selegie House. Namun entahmengapa, pagi itu ia masih ingin berputar-putar mencari penumpang. Hatinya begitugembira, ketika melihat tiga pemuda melambaikan tangan, menyetop taksinya.Meski sudah berusia 60 tahun, lelaki berambut pendek ini masih kelihatan energik,setidaknya jika dibandingkandengan orangtua seusianya. Dengan tenang, ChewTheng Hin membuka pintu depan, mempersilakan penumpang nomor satu masuk.Penumpang nomor dua dan nomor tiga duduk di kursi belakang. Penumpang nomorsatu dengan dingin berkata,"Asrama polisi Mount Vernon!"Tak sedikitpun terbersit kecurigaan dalam hati Chew. Ya, siapa curiga, jikapenumpangnya bertujuan ke kantor polisi? Kalau bukan penegak hukum, pastikorban kejahatan yang hendak melaporkan kemalangannya. Chew yang sudah hafalkawasan itu, segera meluncur melewati Jln. Bendemeer, lalu ke Jln. Aljunied.Saat mendekati Police Reserve Unit (PRU) Mount Vernon, penumpang nomor satumeminta Chew belok kiri, ke arah gerbang belakang Mount Vernon yang selalu gelap gulita. Chew mulai menduga-duga, hendak ke mana sebenarnya tujuan tiga orangditaksi nya. Akhirnya, ketika taksi hampir sampai gerbang belakang PRU MountVernon, penumpang nomor satu menukas cepat,"Berhenti!" Chew pun menginjakpedal rem.Saat itulah, tiba-tiba penumpang nomor dua menempelkan pisau di leher Chew.Lelaki tua itu dapat melihat kilatan dan merasakan dinginnya senjata tajam pengirisdaging dan sayuran tersebut.Setelah itu, penumpang nomor satu menutup mulutChew dengan kain. Sambil memamerkan pencungkil es, ia berkata, "Jangan cobacobamelawan atau membuat gaduh." Ia lalu mengambil tali dan mengikat tanganChew erat-erat.Sampai di sini, Chew mulai sadar, penumpangnya pagi itu bukan manusia baik-baik.Ia juga mulai punya firasat, sesuatu yang sangat buruk bakal menimpa dirinya.Sejurus kemudian, penumpang nomor tiga turun dari mobil, berjalan ke depankendaraan, kemudian membuka pintu tempat Chew disandera. "Turun!" bentaknya.Chew merasa, ini baru awal dari perlakuan buruk yang bakal segera diterimanya.Instingnya berkata, meski menuruti semua perintah mereka, belum tentu ia akandilepas begitu saja.Akhirnya ia memutuskan memberikan perlawanan. Namun gerakan spontan Chewtak banyak menolong. Penumpang nomor satu mendorongnya dengan bahu,sedangkan penumpang nomortiga mempermainkan badan Chew dengan lutut.43Breppp! Sesuatu yang mengerikan terjadi. Penumpang nomor dua menusukkanpisau ke perut sang sopir taksi malang. Chew tersungkur di selokan, sembarimerintih menahan sakit.Penumpang nomor tiga segera duduk di depan kemudi. Taksi baru saja hendaktancap gas, ketika tiga penumpang yang sudah dikuasai nafsu setan itu melihattubuh Chew merangkak naik dari selokan. "Dia masih hidup," teriak salah satupenumpang. Penumpang nomor satu dan penumpang nomor dua spontan turun darimobil, dan tanpa ba bi bu menghujamkan pencungkil es dan pisau dapur ke leherChew.Dalam tempo sekejap, Chew terguling, kembali masuk got,tapi tubuhnya tampakmasih bergerak-gerak. Tanpa membuang waktu, penumpang nomor satu danpenumpang nomor dua menghampiri lelaki tua yang sedang meregang nyawa itu.Secara bersamaan, mereka menusukkan pisau dan pencungkil es ke daerah vitalsopir malang. Brepp! Kali ini Chew tak lagi bergerak.Pagi itu, nyawa seorang kakek tak berdosa lenyap sia-sia di tangan Yeo, penumpangnomor satu, Kuan si penumpang nomor dua dan Hock, penumpang nomor tiga.Sebaliknya, dengan pandangan nanar, tiga sekawan itu malah bertukar kegembiraan.Rencana pertama sukses terlaksana. Sasaran pembantaian berikutnya, bakalmenyusul. Setelah Hock mengarahkan taksi rampasanmereka ke pos penjagaan,persis di depan pintu gerbang PRU Mount Vernon.Telunjuk terpotongLee Kim Lai masih sangat muda ketika mendaftar wajib militer. Usianya baru delapanbelas tahun. Ia berasal dari keluarga baik-baik, anak kedua dari empat bersaudara.Sebagai polisi wajib militer, iatak boleh memilah-milih tempat berdinas. Itu sebabnya,dia bahagia saja saat ditempatkan di Mount Vernon.Pagi itu, dia baru sajamenggantikan Koh Kah Kway, rekannya yang telah bertugas sejak pukul 13.00.Seragam tebal tak sanggup melindungi Kim dari serangan dingin yang menusuk.Meski begitu, ia tetap berusaha menunaikan tugas dengan penuh rasatanggungjawab. Baru beberapa menit menjaga gerbang, ia melihat sebuah taksikuning melintas di depan pos jaga. Dari tempatnya berdiri, Kim dapat melihat denganjelas seorang pemuda keluardari pintu depan, lalu menghampirinya.Pemuda itu, Yeo, menunjukkan kartu keterangan wajib militernya. Kimmemperhatikan dengan seksama kartu yang ditunjukkan Yeo. Sesekali, matanyamelirik ke taksi kuning yang mesinnya masih hidup. "Jadi, kamu wamil yang tinggaldi asrama ini?" tanya Kim ramah."Betul sekali. Boleh aku mintatolong untuk memapah kawanku yang mabuk?Badannya berat sekali. Dia sekarang tergeletak di kursi belakang taksi," sambungYeo, sembari menunjuk ke arah taksi kuning."Dia tinggal di asrama ini juga?""Betul."Memangnya kalian dari mana?" tanya Kim, mencoba tetap ramah."Kami berdua baru saja jalan-jalan dan bertemu beberapa teman. Tapi dasar bandel,dia kelihatannya minum terlalu banyak. Akhirnya, seperti kamu lihat, malahmenyusahkan teman," bohong Yeo.44Kim calon polisi yang baik. Ia merasa sebagai seorang wajib militer, tugasnya takhanya sebatas perintah yangdiberikan komandan, tapi juga membantu sesama yangmembutuhkan pertolongan. Apalagi yang membutuhkan pertolongan sesamapenghuni asrama. Itu sebabnya, dengan senang hati ia berjalan menuju pintubelakang taksi. Saat pintu dibuka, ia memang mendapati seorang lelaki tengahberbaring di kursi.Namun ia terkejut saat Yeo tiba-tiba mendorongnya masuk ke dalam taksi. Lebihterkejut lagi setelah tahu, pemuda yang sebelumnya berbaring di kursi, Kuan,ternyata tidak mabuk sama sekali. Kim mencoba melakukan perlawanan. Tapi dari belakang, Yeo dengan pencungkil esnya langsung mengancam. "Tetap di dalam danjangan coba-coba melawan," bisiknya tepat di telinga Kim.Setelah menutup pintu, Yeo bergegas ke pintu depan. Saat itu, ia sempat melihatbeberapa orang di lantai satudan lantai dua markas polisi Mount Vernonmemperhatikannya. Untuk menghindari kecurigaan, Yeo mempercepat langkahnya."Cepat kabur! Ada beberapa polisi di atas sana sedang memperhatikan kita,"perintahnya pada pada Hock. Sedetik kemudian, Hock sudah melarikan taksinyamenuju arah Jln. Aljunied. Sementara di kursi belakang,Kuan masih setiamengancam Lee dengan pisaudapur. "Mana pisau satunya lagi?" teriak Yeo padaKuan. Kuan menunjuk sela di antara dua kursi depan."Aku engak punya uang. Benar-benar enggak punya uang!" pekik Lee. Ia tampakbegitu ketakutan.Kuan mulai menempelkan pisau di leher Lee. Namun tanpa diduga, aksi Kuan saatmengambil pistol dari pinggang Kim ternyata mendapat perlawanan. Dalampergumulan, pistol sempat jatuh. Yeo yang bearda di kursi depan langsungmembantu Kuan. Ia berbalik badan, seraya menghujamkan pisaunya beberapa kalike leher Lee. Begitu membabibutanya aksi Yeo, sampai-sampai jari telunjuk Kuanikut terpotong.Tubuh Kim sendiri langsung jatuh menghujam jok. Darah segar mengotori kursibelakang taksi. Termasuk kaos dan celana yang dikenakan Kuan."Kita harus mengamankan senjatanya. Berikan pisaumu," perintah Yeo pada Kuan.Lima menit kemudian, mereka telah sampai di kawasan Kallang Bahru, ketika Yeominta Hock menghentikan taksi."Pui," kata Kuan pada Yeo."Kausku berlumuran darah.""Bersembunyilah di belakang semak-semak," lagi-lagi Yeo memberi perintah. "Akuakan mampir ke flat dan membawakanmu pakaian bersih."Yeo lalu berlari menuju flat. Sepuluh kmenit kemudian, ia sudah kembali ke semaksemaktempat Kuan bersembunyi, dengan membawa tas plastik berisi celanapanjang biru gelap dan t-shirt warna putih. Kuan punberganti pakaian, memasukkanpakaiannya yang berlumuran darah ke dalam tas plastik. Tapi ketika mereka bersiap hendak meninggalkan semak-semak, terjadi sesuatu yang sama sekali di luarperhitungan.45Kantung plastik ditemukanMalam itu, detektif Siew Man Seng baru saja pulang berdinas. Polisi yang sudahbertugas selama 11 tahun ituberkantor di Kantor Polisi Beach Road. Ayah seoranganak perempuan dan seorang istri ini sudah tinggal di Geylang Bahru selama sekitarempat setengah tahun. Jadi, dia tahu betul daerah tersebut. Pagi buta itu, hatinyasedang berbunga-bunga, karena baru saja sukses menangkap tersangka kasuspenipuan sejam sebelumnya.Di persimpangan jalan Geylang Baru dan Kallang Bahru, perjalanannya terhalanglampu merah. Saat menunggu lampu hijau, sepintas dia melihat seseorang berjalandi belakang mobilnya, sambil menenteng bungkusan plastik. Lampu kembali hijau.Man Seng pun belok kiri, menuju arah Geylang Bahru. Namun dari balik spion iasempat memperhatikan, lelakiyang menyeberang jalan barusan ternyata menghilangdi sebuah jalan buntu.Nalurinya sebagai detektif mencuat. Bertahun-tahun dia bergaul akrab dengan duniakejahatan dan berbagai tipu muslihatnya. Tingkah laku lelaki tadi membuat ManSeng penasaran. Ia segera berbalik arah, mendekati jalan buntu. Dari kejahuhan diamelihat sebuah taksi kuning dengan mesin masih menyala.Tak jauh dari taksi,terhampar semak-semak. Lagi-lagi, insting polisinya memaksa Man Seng memeriksalokasi di sekitarnya.Mendekati semak-semak, ia melihat dua orang pemuda, Yeo Ching Boon dan OngHwee Kuan. "Sedang apa kalian?" teriak Man Seng, benar-benar memecahkesunyian.Yeo dan Kuan tampak gugup. Mereka punya feeling, orang yang dihadapinyaseorang polisi. Dalam sekejap, mereka mengambil keputusan untuk mengambillangkah seribu.Yeo yang lebih tahu medan, melilih kabur ke arah pertokoan. Sedangkan Kuanmenuju blok-blok apartemen di sekitarnya. Namun malang buat Kuan, dia tidakhanya berhadapan dengan gelapnya malam, tapi juga medan yang sama sekalibelum dikenal. Begitu paniknya, Kuan sampai jatuh,bangun dan jatuh lagi. Kini didepannya terbentang semak belukar. Ia tahu, jika terus lari, lambat laun pasti akantertangkap. Akhirnya ia memutuskan bersembunyi di salah satu semak.Namun Man Seng bukan polisiingusan yang gampang dikelabui. Di depan semaksemakitu ia berhenti. Kecurigaannyamemuncak ketika melihat jejak kaki, tak jauhdari salah satu semak. Dengan langkah pasti ia mendekat, mengeluarkan pistol darisarungnya dan membidik semak di depannya. "Cepat keluar!" Kuan pun keluar,masih dengan mata nanar. Meski sempat memberikan perlawanan ketika hendakdiborgol, pemuda putus sekolah itu akhirnya tak beradaya di tangan Man Seng."Mana tasnya?" tanya Man Seng."Aku buang saat lari tadi.""Apa isi tasnya?" "Sisir," jawan Kuan sekenanya."Tadinya kami mau merampokAnda. Tapi begitu tahu Anda polisi, kamimengurungkan niat tadi.""Siapa nama temanmu?"46"Ah Seng."Sekilas, Man Seng melihat noda darah di kaus yang kenakan Kuan, meskipun iabaru saja berganti baju."Noda darah siapa di kausmu?" Kuan berpikir, mencari alasan untuk berkelit.Akhirnya ia menunjukkan jaritelunjuknya yang beradrah-darah. "Sebelum Andadatang, saya berusaha memecahkan sebuah botol, agar bisa dipakai sebagaisenjata. Tapi karena ceroboh, botol tadi malah melukai jari telunjuk saya," Kuanberkilah.Ia terus berusaha mencari tas yang dibuang Yeo dan Kuan. Karena takmemungkinkan melakukan pencarian sendirian, Man Seng akhirnya memutuskanmembawa Kuan ke kantor polisi untuk diinterogasi. Namun sebelum masuk mobil,Kuan sempat minta. "Aku haus sekali. Boleh minta air?"katanya mencobamengundang iba. Sebelum Man Seng bereaksi, Kuan telah melangkah menujusebuah keran, tak jauh dari semak-semak.Di kantor polisi Beach Road, Man Seng menceritakan apa yang dilihatnya padaInspektur Polisi Poh Keng How. Tak lama kemudian, tersebar berita penemuanmayat seorang polisi, di dalam taksi kuning, tak jauh dari tempat Man Sengmemergoki Yeo dan Kuan. Satuan polisi khusus pun segera segera diterjunkan.Mereka bergerak cepat dengan segera menginterogasi Kuan. Namun mereka cukup kesulitan mengorek data daripemuda lajang tersebut.Berbagai cara telah dilakukan, tapi Kuan lebih memilih tutup mulut. Ia juga menolakdisangkutpautkan dengan kasus pembunuhan kejam terhadap sang polisi wamil.Beruntung, waktu tampaknya berpihak pada para detektif. Beberapa jam kemudian,mayat sopir taksi malang korban keganasan tiga sekawan, Chew Theng Hin, berhasilditemukan.Hasil penyisiran di sekitar lokasi kejahatan juga membuahkan hasil menggembirakan.Kantung plastik tempat Yeo dan Kuan menyimpan pakaianpenuh noda darahmisalnya, berhasil dilacak keberadaannya. Kali ini, Kuantak dapat mengelak lagi,terlebih setelah Ong Hwee Huat, adiknya, mengakui pakaian yang ditemukanmemang milik Kuan. Yeo dan Hock pun akhirnya ditangkap,berdasarkan pengakuanKuan."Beruntung", tiga sekawan yang sudah kerasukan setanini tak sempat melanjutkanaksinya. Jika mereka sempat memanfaatkan senjata yang berhasil mereka rebut dariMount Vernon, apalagi menjalankan aksi perampokan, korban kebrutalan merekapasti bakal lebih heboh dari dua nyawa sia-sia yang telahditemukan. sampai kini,tiga sekawan yang akhirnya dihukum mati ini dikenal sebagai salah satu pelakukejahatan paling kejam di Singapura.(Kisah Nyata/Nicky Moey/Icul)47