Janos Telek berjalan terseok-seok di sisi Istvan Stefan Hollossy. Hatinya pedih,karena sebenarnya ia tak ingin meninggalkan apartemen penuh kenangan diTimmendorf itu. Apalagi ia harus melakukan perjalanan paling aneh sepanjanghidupnya, tanpa tahu arah yang dituju, serta kapan dandi mana akan berakhir.Semuanya tergantung Hollossy, lelaki bengis yang baru saja membelokkanperjalanan hidupnya. Saat berjalan kaki menuju tempat parkir, pikirannya sempatmenerawang, membayangkan kembali peristiwa mengerikanyang terjadi beberapamenit sebelumnya.... Istvan Stefan Hollossy mengeluarkan sebatang rokok dari saku jas,menyelipkannya ke sela-selabibir, lalu menyulutnya dengan santai. Seperti biasa,gayanya macho dan berwibawa, persis anggota geng mafia. Wajahnya begitu dingin,dengan mata menatap tajam, langsung ke bola mata lawan bicaranya, Cornelia yangsedang duduk santai di sofa."Kamu bilang, urusan bisnis kita selesai sampai di sini?""Ya ..., sebaiknya begitu," ucap perempuan cantik itu.Hollossy tampak menganggukpelan. Lelaki bermata kucing dengan ekspresi yangtak mudah ditebak itu kian tajam manatap Cornelia. Yangdipandang jadi salahtingkah."Aku dan Janos berencana menikah. Untuk itu, mulai sekarang, kami harus lebihrajin menabung," sambung Cornelia.Di pojok ruangan, Janos Telek terlihat gundah. Ia memperhatikan dengan seksamapercakapan Stefan dan Cornelia. Saking seksamanya,Janos sempat terperangahketika tiba-tiba Stefan mengeluarkan sesuatu dari balik jasnya. Hollossymengarahkan pistol berdiameter 7,65 mm ke arahCornelia Renz. Dalam hitungandetik, dorrrr! Jidat wanita seksi itu ditembus peluru. Cornelia langsung jatuh di karpet,tak jauh dari tempat Hollossyberdiri.Dengan mata kepala sendiri, Janos menyaksikan Cornelia meregang nyawa dikarpet. Dua kali kaki wanita cantik itu bergerak, geliat refleks orang yang sedangsekarat, sebelum akhirnya tak bergerak sama sekali.Perempuan asal Yugoslavia berusia 20 tahun itu langsung meninggal. Janos betul-betul tak percaya, gadis manis yang beberapa bulan terakhir ini mengisi hari-hariindahnya, sekarang terbaring kaku dengan lubang di kepala. Ia makin takpercaya,karena tak dapat berbuat apa-apa untuk menyelamatkan kekasihnya.Semuanya begitu mengejutkan. Bagaimana mungkin Hollossy tega membunuhCornelia dengan cara sekeji itu? "Bukankah ia yang memperkenalkan aku padaCornelia?" pekik hati kecil Janos ....Traktir sepanjang malam"Aku berjanji, ini tidak akan menjadi perjalanan yang penuh intrik. Tapi semata-mataperjalanan bisnis. Aku punya penawaran menarik untuk kamu," suara Stefanmembuyarkan lamunan Janos.Stefan tak menjelaskan penawaran apa yangdibawanya, dan Janos pun tak pernah ingin tahu. Mereka akhirnya sampai di tempat48parkir, dan segera masuk kemobil Opel Rekord tua kepunyaan Janos. "Kamu sajayang menyetir," pinta Stefan sembari melirik lelaki di sampingnya dengan ujungmatanya."Tapi, SIM-ku baru saja dicabut sabtu lalu," jawab Janos."Siapa bilang mengemudi harus selalu pakai SIM," bantah Hollossy. "Kamu bolehpercaya atau tidak, saat ini polisi di lima negara menganggapku sebagai buronan.Tapi aku 'kan tidak boleh berhenti menyetir di negara-negara itu. Jadi, apa masihada gunanya SIM buat orang seperti aku?"Hollossy lalu "memotivasi" Janos, betapa suksesnya ia selama ini sebagai penjahat,karena nyaris tak pernah tersentuh hamba hukum. Menurut Hollossy, polisi Hungaria,Austria, Swiss, Jerman, dan Swedia selalu gagal menangkap dan memenjarakannyasecara permanen, dan sampai saat ini masih terus memburunya untukmempertanggungjawabkan perampokan sejumlah bank, pemilikan senjata api ilegal,serta beberapa percobaan pembunuhan.Hollossy juga bercerita, sebelum sampai di Luebeck, Jerman, petualanganterakhirnya adalah meloloskan diri dari sebuah penjara di Swedia, tempat iaseharusnya menjalani hukuman 20 tahun penjara. Dalam hati, Janos merasa ngeri.Stefan yang duduk di sampingnya, ternyata jauh lebih buruk dari Stefan yangdikenalnya selama ini. Sambil mengemudi, pikirannya kembali melayang, ke saatp ertama kali dia bertemu Hollossy dan Cornelia. Sebuah pertemuan yang sangatmengesankan ....... Janos Telek datang ke Luebeck, Jerman, sebuah kota di pinggir laut Baltik,setelah ditawari bekerja sebagai salesman sebuah perusahaan margarin. Iagampang mendapat pekerjaan, karena kefasihannya berbahasa Jerman, yanghampir sama dengan kemampuannya berbicara dalam bahasa-bahasa semenanjungBalkan lainnya. Kepandaian bercakap-cakap dalam berbagai bahasa pula yangmembuatnya berkenalan dengan Stefan Hollossy.Stefan, pria kelahiran Hongaria, sedang nongkrong di bar Blue Mouse, tempat gaulmalam terkenal di Luebeck. Saat itu, Janos menyapa Stefan dalam bahasa Hongaria.Begitu senangnya Stefan, sampai-sampai ia mentraktir Telek sepanjang malam. UsiaStefan tak beda jauh dengan Janos. Stefan mengaku sedang merintis karir sebagaibintang iklan. Janos begitu terkesan pada kawan barunya itu, yang sangat gampangmenghamburkan uang."Penghasilannya pasti besar," cetusnya dalam hati.Janos baru tahu pekerjaan Stefan "yang sebenarnya" setelah ia diajak menemuisumber dana yang tak ada habis-habisnya itu. Siapa lagikalau bukan Cornelia Renz,gadis cantik nan mempesona. Perjumpaan pertama Janos dengan Cornelia terjadi diKazoria, sebuah bar bergayaYunani. "Saya butuh duit, Cornelia," kata Hollossy,sembari duduk di meja, sambil terus menghisap rokok. "Hebat," desis Janos,"Merekrokoknya sama dengan yang dihisap Al Capone."Tanpa basa-basi, Cornelia mengeluarkan beberapa lembar uang kertas danmenyerahkannya kepada Hollossy. Janos agak heran, melihat betapa mudahnyaStefan mendapat uang. Ia menduga, kawannya itu mucikari, sedangkan Corneliapelacur yang punya banyak langganan orang kaya dan terkenal. Namun siapa punCornelia, di mata Janos, malam itu ia terlihat luar biasa. Janos bahkan merasa jatuhcinta pada pandangan petama.49Saat yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Ketika Stefan pergi ke kamar kecil, Janosmemberanikan diri mengajak Cornelia kencan. Hebatnya, tanpa berpikir panjang,Cornelia langsung menerima. Sejak itu, Janos makin seringbertemu Cornelia.Sampai akhirnya ia tahu, Stefan dan Cornelia memang berhubungan erat. Namunbukan hubungan mucikari - pelacur seperti diduganya semula.Cornelia memang melacur, tapi tidak dengan tubuhnya. Dia pun memberikansebagian penghasilannya pada Stefan dengan"sukarela". Hubungan merekalebihmirip sepasang kekasih, atausetidaknya gadis manis dengan centengnya ....Korban pertamaJanos kembali terbangun darilamunan, ketika mobil yang dikendarainya hampirbersenggolan dengan mobil lain. Di kursi sebelah, Stefan mulai mengoceh lagi. Dariocehan Hollossy, Janos jadi tahu, Cornelia merupakan korban pertama yangmeninggal di tangan Stefan. Sebelumnya, penjahat itu tidak pernah membunuhorang, meski korban yang dilukainya tak terhitung.Stefan bukan orang yang gemar membunuh untuk kesenangan. Ia melakukannyauntuk memecahkan kebuntuan atau jika memang benar-benar dibutuhkan. Saatmerampok bank misalnya, ia tidak pernah menembak orang-orang di dalam bankyang tidak melakukan perlawanan. Baru jika ada yang mencoba macam-macam,dengan senang hati dia akan menembaknya sampai mati."Mungkinkah Stefan menembak Cornelia untuk memecahkan kebuntuan?" tanyaJanos, lagi-lagi hanya di dalam hati. "Tapi mengapa harus Cornelia? Mengapa pulaharus diselesaikan menggunakan pistol? Bukankah segala sesuatunyamasih bisadibicarakan? Cornelia sama sekali tidak layak mati dengan cara seperti ini. Diaperempuan baik, bahkan sangat baik," Janos mencobamenekan emosi yangmelecut hati.Cornelia memang perempuan baik-baik. Dia bukan pelacur seperti diduga Janossebelumnya. Ia wanita pemijatterlatih berjari "emas" yang memiliki diploma dan tahuseluk-beluk pijat kesehatan. Bekerja di Little Sea Castle, sebuah hotel mewah dipantai Timmendorf, Teluk Luebeck, beberapa mil di sebelah utara kota. Gajinya dihotel mewah itu lebih dari mencukupi. Sampai akhirnya dia bertemu Stefan Hollossydi Nautic Bar, tempat gaul malam yang cukup laris di Luebeck.Layaknya orang Hungaria, Hollossy berwajah dan penampilan menarik. Me ski tidaktinggal serumah dengan Cornelia, mereka sering menghabiskan waktu bersama.Sayangnya, Stefan yang tidak mempunyai pekerjaan tetap mempunyai gaya hidupyang bisa membuat semua pacar-pacarnya sengsara. Iadikenal gemarmenghambur-hamburkan uang di bar. Selera gaul dan cara berpakaiannya punmeniru kalangan the have.Berbekal tabungan Cornelia, Stefan membeli Fiat 124 berwarna hijau terang, agarbisa bolak-balik Luebeck - Timmendorf tanpa harus naikbus. Cornelia, tentu saja takdapat terus menerus menopang gaya hidup Hollossy. Lama-kelamaan, rekeningtabungannya makin menipis. Saat itulah, Stefan menyarankan agar Cornelia"melacurkan" jari-jemari emasnya.Menurut lelaki perlente itu, dengan keahlian dan pengalamannya, Cornelia layakmendapat penghasilan yang lebih besar. Untuk itu, ia tidak boleh terpaku hanyapada "pijat kesehatan". Sebagai usaha sampingan, Cornelia mestinya jugamenawarkan "pijat organ-organ khusus" bagi pelanggan yang menginginkan. Sialnya,petuah sesat Hollossy itu ditelan begitu saja oleh Cornelia.50Aneh memang, Cornelia yang cantik, terlatih dan pintar mau saja menurutipermintaan Stefan. Apalagi belakangan terbukti, ia sebenarnya tidak betul-betuljatuhcinta pada lelaki itu. Cornelia jatuh cinta (lagi) pada Janos, cinta pada pandanganpertama. Dia bahkan terkesan tak takut pada Hollossy. Jadi, sebenarnya tak adaalasan Cornelia melacurkan jari-jari emasnya, hanya untuk membiayai gaya hidupStefan.Meski singkat, Janos merasa beruntung sempat merasakankebahagiaan bersamaCornelia. Mereka berpacaran seperti ABG yang baru saja mengenal cinta. Keduanyatinggal di apartemen Cornelia di Timmendorf, membuka tabungan baru, sertamenikmati tiap akhir pekan dengan makan malam di berbagai tempat makanmurahan. Tidak seperti Stefan, Janos tidak suka menghambur-hamburkan uang dibar atau tempat-tempat makan mahal. Mereka merasasangat klop.Stefan yang mencium hubungan Janos dan Cornelia, satu kali pun tidak pernahmenyatakan keberatannya. Sampai suatu sore, 3 April 1975, ia menelepontemannya itu. Stefan bilang, dia punya "penawaran bagus" untuk Janos. Namunketika tak lama kemudian Stefan sudah muncul di pintu apartemen, Janos sadarlelaki itu sedang merencanakan sesuatu. Sebuah kejutan yang tampaknya sudahdipersiapkan jauh-jauh hari.Peristiwanya berlangsung sangat cepat. Jarak antara kedatangan Stefan,percakapan singkatnya dengan Cornelia, dengan aksinya memgeluarkan pistol danmenembak kening Cornelia dari jarak dekat, hanya sekitar 5 menit ....Berkelahi pun belum pernahJanos melirik Hollossy. Lelaki itu tampak tenang, sangat tenang. Sepanjangperjalanan, satu per satu pertanyaan tentang Stefan, yang selama ini berkeliling dibenak Janos, mulai terjawab. Termasuk pertanyaan, mengapa Janos sebagai satusatunyasaksi mata pembunuhan Cornelia dibiarkan tetap hidup, bahkan diajakberkelana oleh Stefan."Aku bosan sendirian. Terus terang, aku menyukai kamu Janos. Aku ingin kamumenjadi partnerku. Pasangandalam melakukan kejahatan,"tegas Hollossy, suatuketika."Mulai sekarang, kamu harusmembiasakan diri berpikir praktis. Kita butuh uanguntuk makan, minum, bayar hotel, menikmati perempuan, beli baju, dan beli bensin.Di luar sana banyak sekali orang kelebihan uang. Jadi, sah-sah saja jika kitamengambilnya sedikit dari mereka 'kan?" sambung Stefan.Janos cuma menjadi pendengar yang baik."Cara paling gampang, kita rampok toko saja. Orang yang ada di sana pastimembawa uang. Ada yang sedikit, ada pula yang banyak. Tapi kalau mau uangyangsangat banyak, kita harus merampok bank. Yang terakhir ini tingkat kesulitannyatinggi. Aku enggak akan mengajak kamu merampok bank, sebelum punyapengalaman melaksanakan"operasi kecil". Pernah membunuh orang denganmenggunakan pisau?" tanya Hollossy."Tidak," sahut Janos singkat.Ah, jangankan membunuh, belajar jurus-jurus berkelahisaja Janos tidak pernah. Buat dia, kekerasan hanya bikin pusing kepala."Tidak masalah. Kita masih punya banyak waktu untuk latihan."51Untuk kesekian kalinya Janosterdiam."Bagaimana kalau latihan kitamulai dengan merampok t oko? Aku akan mengalihkanperhatian pemiliknya dengan mengajak dia ngobrol. Lalu kamu berputar ke arahbelakang, mengancamnya pakai pisau," cetus Stefan.Janos masih mencari jawabanterbaik, ketika Stefan kembalinyerocos."Tapi sepertinya lebih baik jika kamu memukul kepalanyapakai besi. Kamu bilangtadi, belum pernah memakai pisau, 'kan?"Janos kini manggut-manggut,bukannya setuju pada rencana Stefan. Namun iamengerti, mengapa Stefan selalu berusaha mendorongnya melukai atau membunuhorang lain. "Sekali saja aku melukai orang, apalagi sampai membunuh, aku akan jadiburonan, sama seperti dia, sehingga tak ada jalan lain, kecuali menjadipasangannya," ucap Janos, tentu di dalam hati Masalahnya, kapan ia harus bertindak? Menghadapi Stefan, modal nyali saja takcukup. Harus ada strategi khusus. Ah, bicara soal nyali dan strategi, Janos kembaliteringat peristiwa mengerikansiang itu ....Jika terjadi dalam novel atau film, pasti akan digambarkan sosok Janos sedang yangmarah besar atas pembunuhan Cornelia. Janos mungkin saja akan merebut pistolStefan, lalu balas menembak banjingan itu di jidatnya. Sayangnya, kejadian ituterjadi pada kehidupan nyata. Janos hanyalah salesman perusahaan margarin,bukan Superman atau Batman. Dia bahkan tidak yakin Stefan akan membiarkannyatetap hidup, karena dialah satu-satunya saksi mata pembunuhan Cornelia.Jarang sekali ada pembunuh yang mau menoleransi kehadiran saksi mata. Makanyadia begitu lega, lega yang teramat dalam, ketika tahu Stefan memasukkan kembalipistolnya ke kantung jas."Ayo kita angkat mayatnya ke tempat tidur. Tuhan tahu, tempat ini dan waktu kitajuga sangat sempit," ajak Stefan pada Janos.Dalam keadaan terkejut, tak mudah bagi Janos untuk menuruti perintah Stefan. Diajuga tidak tahan melihat darah yang mengucur dari lubang di kepala Cornelia. Yangpaling membuat hatinya sedih, adalah mata gadis itu terbuka lebar, seolahmemandangnya dengan pandangan minta tolong. Karena Janos tak kunjungbergerak, akhirnya Hollossy sendiri yang memulai mengangkat mayat Cornelia.Beberapa saat kemudian, baru Janos membantu meletakkan mayat Cornelia ditempat tidur.Janos sempat kaget ketika tiba-tiba Stefan berkelebat."Nenek itu, dia masih tinggal di sebelah rumah, 'kan? Jangan-jangan, dia ikutmendengar suara tembakan tadi," sergah Stefan. "Aku tidak mau ada saksi matalain." Stefan segera mengeluarkan pistol dari balik jaketnya, lalu menyelinap keluar,menuju apartemen sebelah. Janos seorang komunis, tapi menghadapi situasi sepertiini, ia berlutut, meski tak tahu harus berdoa pada siapa. Seluruh persendiannyalemas.52Beberapa saat kemudian, Stefan kembali. "Dia tidak adadi rumah," teriaknya padaJanos. Janos menarik napas lega, karena tak ada pembunuhan lagi. Namun,bagaimana dengan nyawanyasendiri?Di Ratzeburg, 20 mil dari Luebeck, mobil mereka mengalami masalah. Hollossymemutuskan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki menuju toko logistikterdekat. Setelah itu, mereka bermalam di rumah teman Stefan. Malam yang beratbuat Janos, karena hampir sepanjang malam, dia tak dapat memejamkan mata,memikirkan kejahatan apa kira-kira yang akan dilakukannya bersama Stefanbesok.Esoknya, pagi-pagi sekali mereka sudah naik kereta api menuju Hamburg. Sampaidetik itu, Janos tak pernah mengeluarkan uang sepeser pun. Stefan betul-betulmenepati janjinya, berlaku seperti bos mafia, yang bertanggungjawab atas semuayang terjadi pada anak buahnya. "Selama ikut aku, kamu tidak perlu membayar apapun," bilang Stefan.Jam sembilan pagi mereka sampai di Hamburg. Siang dansorenya, merekamenghabiskan waktu mensurvei berbagai toko perhiasan. Seperti biasanya, Janostak banyak bicara. Apalagi setelah Hollossy menunjukkan tiga pistol yangselaludibawanya ke mana-mana."Orang-orang selalu bilang, mengantungi pistolterkokang itu berbahaya, tapi aku lebih suka mati karena pistol sendiri, daripadatertembak musuh karena pistolku tidak siap," ucap Hollossy setengah mengintimidasi.Mereka menginap di Union Hotel. Hollossy mengunci pintudan memasukkankuncinya ke kantung celana, lalu kkkrrr r, tidur pulas. Janos sempatmempertimbangkan menibani kepala Hollossy dengan lampion. Namun, nyalinyamengkerut jika mengingat refleks Hollossy bak macam kumbang. Pertimbangannyaterbukti benar. Jam dua pagi,Hollossy dengan sigap meletakkan pistol di telingakanan Janos, setelah mendengar bunyi sirine mobil polisi yang sedang berpatroli.Betul-betul mirip macan kumbang.Celah di antara celahEsoknya, hampir seharian mereka habiskan untuk mensurvei kembali toko-tokoperhiasan. Begitu sore tiba, Hollossy yang tidak pernah menginap dua malamberturut-turut di satu tempat, memilih menghabiskanwaktu di sebuah hotel dipinggiran kota. Seperti kemarin malam, lagi-lagi Hollossy membangunkan Janos diparuh pagi. Kali ini bukan karena mendengar mobil patroli polisi."Aku sedang berpikir tentanguang kontan. Kita butuh uangkontan. Bagaimana kalaukamu turun dan membunuh perempuan tua pemilik hotel ini, lalu merampokuangnya?"Janos kaget alang kepalang."Tapi kalau kita merampok tempat ini, polisi akan mencari-cari kita. Padahal kitasudah berencana merampok toko perhiasan," tolaknya halus.Hollossy berpikir sejenak, lalu mengangguk."Masuk akal. Tak kusangka kamu ternyata partner yang pintar."Mereka lalu kembali "tidur", meski praktiknya, mata Janostak pernah terpejamsampai pagi tiba.53Paginya, lagi-lagi Hollossy mengajak Janos mengintai toko-toko perhiasan, kali iniyang berjejer di sepanjang Spitaler Street, kawasan yang lumayan ramai olehpejalan kaki. Janos makin deg-degan. Firasatnya mengatakan, inilah tempat palingtepat untuk menghindari perbudakan Hollossy. Namun,bagaimana caranya?Janos terus mencari celah. Suatu saat, Hollossy tampak sangat serius mengamatipintu masuk sebuah toko perhiasan. Nah, ketika sang residivis mencari celah masuk,Janos justru menemukan celah untuk melarikan diri. Pelan-pelan, dia bergesermenuju ujung sebuah gedung, menghilang di balik gedung itu, lalu sekuat tenagaberlari menuju sebuah pusat perbelanjaan, masuk dari satu pintu dan keluar daripintu yang lain. Janos kemudian menyetop taksi."Tolong antarkan aku ke kantorpolisi," pintanya singkat.Sepuluh menit kemudian, Janos sudah bersaksi di depan Inspektur Frank Ludersdan Detektif Max Peters dari Kantor Kepolsian Hamburg. Oleh Luders, semua ceritaJanos dikonfirmasi lewat telepon pada kepolisian Luebeck dan Timmendorf. Begitumendapat kabar positif, yakniditemukannya mayat Cornelia,Frank Luders dan MaxPeters langsung meblokir Spitaler Street dan memeriksa gedung-gedung disekitarnya. Polisi juga berjaga-jaga di stasiun dan gerbang keluar kota lainnya."Menurut Anda, di mana kira-kira dia sekarang?" tanya Luders."Entahlah. Dia berencana merampok salah satu toko perhiasan yang kami survei.Tapi dia sendiri belum memutuskan, toko mana yangakan dirampok," jawab Janos."Sersan, kumpulkan data semua toko perhiasan. Tempatkan minimal satu orangpolisi di sekitarnya," perintahLuders pada Peters.Namun Hollossy tetap Hollossy. Jika tekadnya sudah bulat, tak satu pun rintangandapat menghalangi niatnya. Tak juga polisi. Siang menjelang sore, penjahatberdarah dingin itu merampokHoellinger Jewellery di Alstertor Street. Dengansenjata otomatis 9 mm, dia melukai pemilik toko Josef Hoellinger (74 tahun),menembak mati istri Josef, Maria (66 tahun), dan pembantu mereka CristelSemmelhack (33 tahun).Hollossy lalu membajak truk yang dikemudikan Werner Novak. Novak selamat,setelah lari terbirit-birit meninggalkan truknya, begitutahu status Hollossy dari radio.Beberapa saat kemudian, Hollossy menembak Walter Klein, yang ditemuinya diIfflland Street.Polisi yang datang ke lokasi atas laporan Novak, menjumpai Klein dalam keadaanluka parah. Namun Klein sempat menunjuk gedung Grauman's Way No 20 sebagaitempat Hollossy bersembunyi.Polisi, didahului oleh pasukankhusus, menyerbumasuk. Namun, dor! dor!, Hollossy memberikan perlawanan sengit. Gas air mata punmelesak ke dalam gedung, seiring desingan peluru dari kedua belah pihak.Beberapa saat kemudian, tembak menembak reda. Polisimendapat seorang lelakiterbaring tak bergerak, dengan luka tembak di bahu kanan, kepala, dan kaki kiri.Hollossy telah mati.Belakangan diketahui, peluru 9 mm nan mematikan yang bersarang di kepalaHollossy, ternyata berasal dari pistolnya sendiri! Sampaikematikannya, Hollossymasih ingin menentukan nasibnya sendiri.(Kisah Nyata/John Dunning/Icul)