Debu Gunung Galunggung meletus lagi, dan debunya mengurung kami di rumah. "Sepanjang gang ditutupi debu! Atap rumah ditutupi debu! Orang-orang memenuhi jalanan dengan pakaian aneh-aneh! Dan kuliah jadi kehilangan arti!" Thomas yang kami gelari si mahasiswa "rayap perpustakaan" itu berteriak-teriak cemas seperti dalam mimpi. Ia, menurutnya, seakan tersesat ke sebuah tempat asing dan aneh, dengan segala aturan mendadak, yang harus dieja kembali dari awal. "Tu apa?" "Bukit!" "Bukan. Itu lembah!" "Tu apa?" "Pohon!" "Bukan. Itu vas bunga!" "Tu apa?" "Tiang listrik!" "Bukan. Itu tiang jemuran!" "Tu apa?" "Danau!" "Bukan. Itu teh tubruk!" "Tu apa? Tu apa!" "Bukan. Itu apa!" "Anggap saja ini seperti salju di Italia. Atau di Jepang. Atau di Amerika!" "Bukan salju. Ini debu!" teriak Thomas. "Ini memang seperti salju. Dan kita mendapat selingan gaya hidup. Jika sebelumnya kita harus rajin bangun pagi, mungkin sekarang kita hanya tidur saja di rumah sepanjang hari." "Baik. Mulai sekarang kita makan debu!" "Mulai sekarang kita mandi pakai debu!" "Mulai sekarang kita tidur di atas debu!" "Tak ada permen karet?" "Tak ada. Kita sekarang mengunyah-ngunyah debu!" "Tak ada bedak? Bagaimana perempuan di sebelah?" "Tak ada! Perempuan sekarang berbedak pakai debu!" "Dari tanah kembali ke tanah!" "Dari debu kembali ke debu!" Sepanjang hari kami telah menyapu debu-debu yang menutupi halaman. Kami juga telah menyingkirkan debu-debu yang memenuhi atap belakang. Tapi kami salah perhitungan. Debu-debu itu masih saja menebar ke udara dan kembali memenuhi halaman dan atap. Lalu karena lelah, kami mengurung diri saja di kamar masing-masing. Dan sesekali keluar ke ruang tengah, memperdebatkan apakah kami sedang berada di Barat atau di sebuah jurang. Mungkin di masa lalu. Tapi boleh jadi di masa depan. Aku pernah melihat jurang batu cadas yang curam dan dalam, dari jendela sebuah bus yang kutumpangi, sedang mendaki di tubir sebuah pegunungan sunyi di bawah sinar matahari sore. "Pulang...! Pulang...! Pulang...!" Aku mendengar jeritan seorang perempuan memanggil-manggil dari kedalaman jurang. Entahlah. Aku tak tahu apakah suara yang terdengar sayup-sayup itu suara ibuku atau istriku. Saat itu aku sedang menggigil kedinginan dengan wajah tebal berdebu ditusuki jarum-jarum angin. "Brrr...brrr... Apalagi yang bisa kuperbuat di kota?" keluhku dengan bibir kaku. "Jangan pergi... Jangan pergi...," terdengar lagi suara itu. "Ayo. Kita ke rumah Nirwan di Cisitu!" Maka beberapa saat kemudian kami sudah berada di jalanan. Bergabung dengan orang-orang berpakaian aneh itu. Malam tak begitu cerah. Lampu jalanan menyorot suram menembus dedaunan akasia dan debu-debu yang meluruh. "...debu!" Itulah kata akhir setiap pembicaraan orang-orang yang sedang berada di depan kami maupun baru saja kami lalui. Sementara kami terus membisu dengan langkah cepat, seolah mau berangkat kuliah. "Heh! Ini bukan Cisitu Bandung. Ini Cilosari Jakarta!" kata Thomas mengagetkanku. Menyadarkanku untuk segera menyimak pemandangan sekitar. Dan kami ternyata memang sedang berada di sebuah gang buntu dengan rumah-rumah yang merapat mengelilingi kami. Rumah-rumah itu kelihatannya kosong. Beberapa bahkan gelap. Dua atau tiga rumah hanya diterangi bohlam lima belas atau dua puluh lima watt di depannya. "Ya. Ini memang Cilosari Jakarta," sahutku heran. Heran karena mendadak sekali kami kehilangan jalanan dan atap-atap rumah yang dipenuhi debu. Padahal langit di atas sana adalah langit yang itu-itu juga. Langit yang tampak gelap dan menyiratkan tanda-tanda mau hujan. Dan rumah Nirwan di Cilosari Jakarta itu, termasuk rumah yang kelihatannya kosong. Seakan tak dihuni lagi. Ke mana Nirwan Dewanto? Mungkin ke Erasmus Huis. Ada pekan film Eropa. Tapi debu di mana-mana. Langit jadi kelabu. Udara terasa panas. Sejauh mata memandang yang terlihat adalah lapisan debu yang bergerak sambung-menyambung bagai layar-layar raksasa. Dan lautan tak ada lagi. Berkasnya dulu tinggal daratan berbentuk kubah-kubah besar, dengan onggokan kerangka bekas kapal karam dari zaman kolonialisme terdampar di beberapa ceruk. Begitulah yang terbaca di sebuah koran, entah kapan, entah di mana. Kabarnya sebuah negeri telah hilang dari dunia. Gelombang debu menyerbu mereka suatu malam, ketika para penduduknya sedang merayakan hari-hari pemilihan umum. Sia-sia suka cita mereka atas kebebasan hak pilih, yang berhasil memenangkan seorang pemimpin yang mereka sukai dan percayai untuk duduk sebagai penguasa selama periode tertentu, yang sesuai dengan undang-undang mereka. Lanjut kabar itu, sebelum mereka semua mati tertutup oleh debu-debu berwarna coklat kelabu, banyak dari mereka menjeritkan kata-kata marah menghujat alam dan kehidupan atas ketidakadilan yang menimpa mereka. Saat mendengar kabar tersebut, kami sedang berada di kamar periksa dokter gigi tua. Seorang pegawainya yang bercerita. Dia bercerita dengan bersemangat. Tak perduli perintah tuannya yang sudah berkali-kali meminta agar dia mengusir kami, karena pengobatan sudah selesai, dan mudah-mudahan pasien lainnya akan segera datang. Sementara, Thomas masih terus membujuk agar si dokter gigi tua mau dibayar dengan sepatu yang dikenakannya. "Sepatu ini masih cukup baik," kata Thomas. "Sudahlah. Tak perlu," kata dokter gigi tua. "Kami jadi merasa tidak enak," kata Thomas. "Semua merasa tidak enak setelah debu-debu membalikkan segalanya," kata dokter gigi tua dengan kesal. Maksud si dokter gigi tua adalah, bahwa ia tiba-tiba saja harus melayani setiap orang yang mudah-mudahan mau datang kepadanya, agar ia punya kesibukan. Sebelum ada debu-debu, ia adalah makhluk paling mahal dan sulit ditemui. Setiap hari ia sibuk dengan pasien. Kadang dengan apa dan bagaimana saja ia mengobati, pasien akan percaya dan merasa panjang umur lagi karena kembali berkesempatan membayangkan makanan yang enak-enak dan gurih. Tak jarang ia cukup mengedipkan mata untuk mengobati penyakit seorang bocah yang sudah mengalami kerusakan pada gerahamnya, karena kebanyakan berkumur dengan coklat cair. Si bocah akan tertawa tergelak karena merasa lucu oleh kedipan mata si dokter gigi tua. "Aku sembuh! Aku sembuh!" Si bocah akan berteriak gembira dan berlari meninggalkan si dokter. Dan si dokter pun dapat segera bersembunyi ke kamarnya, untuk menghindari para pasien yang selalu berdatangan seperti tak habis-habisnya. Tapi itu dulu. Sebelum debu-debu menghanguskan niat orang untuk meninggalkan rumah hanya untuk memeriksakan gigi dan mengobatinya. Kini, karena debu ada di mana-mana, orang-orang lebih senang menahan sakit giginya dan memandang lewat jendela ke luar rumah. Berharap, dengan memandangi debu-debu yang sedang meluruh dan menimbuni halaman itu, sakit gigi mereka akan berkurang atau malah sembuh sama sekali. Untuk apa lagi ke dokter gigi? "Sepatu ini masih cukup baik," kata Thomas lagi. "Sudahlah. Tak perlu," kata dokter gigi tua itu. "Kami jadi merasa tidak enak," kata Thomas. "Semua merasa tidak enak setelah debu-debu membalikkan segalanya," kata dokter gigi tua. "Tapi sepatu ini kiriman dari Italia," kata Thomas. "Italia?" tanya si dokter gigi tua itu mendadak bersemangat. "Iya," sahut Thomas. "Kalau begitu boleh," kata si dokter gigi tua itu. "Sepatu itu boleh kau tinggalkan. Lumayan untuk kenang-kenangan pada Italia," lanjutnya. Lalu ia memerintahkan pegawainya yang senang bercerita itu, agar segera menyimpan sepatu tua yang sudah sobek dan penuh debu itu di dalam lemari pajangan, di samping Globe. Kami melihat, Italia, yang berbentuk sepatu pada Globe itu, agaknya telah lama tertutup debu yang meluruh dari langit-langit retak di atasnya. Dan di tengah alam semesta, Globe itu terus berputar kencang pada porosnya. Kami hanyalah butir-butir debu yang tertahan pada sisinya. Tertahan gravitasi Newton!***** (Bekasi Timur, 1990)