Burung Biru BILA burung biru itu muncul, maka bencana pun segera tiba. Dan tak seorang pun melihat burung biru itu terbang malam-malam, mengepak-ngepakkan kedua sayapnya yang lebar, lalu hinggap di wuwungan Rumabolon. Tapi Intan sangat yakin akan penglihatannya. Kepada teman-teman gadisnya, ketika mereka pulang dari gereja, beramai-ramai menyusur jalan setapak di tepi danau itu, Intan malah berani memastikan pendengarannya: bahwa burung itu melolong seperti anjing. "Melolong? Seperti anjing?" cetus seorang temannya itu tergelak. "Burung tidak melolong, tapi mengaum," gurau yang lainnya. Yang kemudian disambut tawa beramai-ramai. Sementara Intan sudah mengatupkan kedua rahangnya dengan wajah panas. Dan segera menukas dengan suara bergetar. "Ya sudah, kalau kalian tak percaya. Yang jelas aku sudah menceritakan apa yang kulihat dan kudengar. Mau percaya boleh, mau tidak -- terserah." "Bah. Jangan marah dulu. Lihat dulu ceritamu, tentang apa," kata salah seorang gadis itu menanggapi dengan wajah tegang. Intan tidak menanggapi. Malah melengoskan wajahnya ke arah danau di sebelah kanan sana. "Ya tentang burung biru," sambung gadis lainnya mencoba menampung pikiran temannya yang tiba-tiba saja tampak serius itu. "Na itu. Siapa yang mau percaya kalau burung biru itu muncul, tapi hanya Intan yang melihatnya. Mana malam hari lagi," kata si gadis yang menanggapi Intan itu. "Iya, benar, Tan. Kata orang-orang tua, burung biru itu selalu muncul tiba-tiba, pada siang hari, di tempat ramai. Hingga banyak saksi mata yang akan melihat warna kebiruan sayapnya. Dan orang-orang pun bisa bersiap menanti bencana yang akan datang. Sementara burung biru itu sendiri langsung mati," kata yang lainnya dengan sabar, mencoba mencairkan kekesalan Intan yang tampak begitu nyata meredam amarah. "Tapi aku benar-benar melihat dan mendengar suaranya," kata Intan dengan wajah serba salah. "Kalau tentang kematiannya, bisa saja sehabis hinggap ia kemudian terbang lagi, dan jatuh di suatu tempat," lanjutnya. Teman-teman gadisnya itu mulai tak tertarik. Mereka segera mengalihkan perbincangan pada topik yang sangat mereka sukai. Tentang jubah pendeta yang tampak baru, dan tentang para pemuda yang hari itu datang ke gereja. Jubah pendeta pastilah baru dicuci dalam dua hari ini, dan langsung disetrika berkali-kali oleh ibu pendeta. Ibu pendeta itu tentunya telah sadar, bahwa sekian lama jubah suaminya telah menjadi perhatian para jemaat yang kebetulan duduk di depan. Hingga mereka dapat melihat bercak-bercak di bagian punggung -- setiap kali pendeta itu meninggalkan mimbar. Lalu tentang para pemuda yang datang ke gereja kali itu, para gadis itu serentak bersikukuh dengan perasaannya masing-masing. Dan saling berlomba pula berbicara tentang si pemuda yang diam-diam menjadi pusat perhatian masing-masing. "Ah, dia masih saja jual mahal," kata salah seorang tentang pemuda idamannya. "Akhirnya datang juga dia ke gereja," kata yang lainnya tentang si pemuda yang telah menarik perhatiannya. "Dia pasti datang karena tahu aku rajin ke gereja..." "Tapi aneh... Hari ini yang datang dari Rumabolon cuma Intan. Ke mana abang dan adik-adiknya? Ke mana Ayahnya? Ibunya?," kata salah seorang, yang segera pula menjadi perhatian gadis-gadis lainnya. "Iya. Hari ini agak lain. Kenapa cuma Intan yang datang dari sana. Biasanya si ibu tetap hadir kalau yang lain berhalangan. Si ibu paling rajin. Tak satu minggu pun terlewatkan olehnya dari gereja," sambung temannya. "Sementara Intan sendiri terbilang malas dibanding kita," kata yang lain tertawa. "Eh! Mana Intan? Tadi dia bercerita lagi tentang burung biru di wuwungan rumahnya. Mana dia?" seseorang bertanya dan mencari-cari. "Ah, Intan ini semakin hari semakin aneh dan keras kepala saja. Itu, itu dia, sudah jalan duluan... Hoii, Intan, tungguuu!..." salah seorang dari gadis itu menunjuk ke depan dan berteriak memanggil. "Intan, tungguuu!..." teriak yang lain. "Mau apa pula dia buru-buru pulang ke Rumabolon? Tadi kita sudah janji mau jalan-jalan ke pemandian air panas," gerutu salah seorang. "Pakai berlari segala," tukas yang lain. "Intannn!" teriak dua orang gadis bersamaan."Sudah. Biarkan saja!" ketus salah seorang. "Kita harus cepat. Biar jangan pulang kesorean," lanjutnya. "INNTAAANNN...!" teriak yang lain. INTAN dapat mendengar teriakan teman-teman gadisnya itu. Teriakan-teriakan yang kemudian bersipongang di perkampungan teluk berbukit-bukit itu, dan bersipongang pula dalam keluasan benaknya yang berdenyut-denyut kecewa selama bertahun-tahun. Teriakan-teriakan yang pasti dapat pula didengar oleh orang-orang di beberapa kampung yang berserak di bukit-bukit dan dekat ke tepi danau yang mereka susuri itu. Di bawah langit siang, dengan pemandangan permukaan danau yang tenang dan bercahaya kebiruan -- teriakan-teriakan seperti itu akan menjadi hal pertama yang menarik perhatian, di antara kesenyapan alam yang telah menjadi rutin bagi penduduk tepi danau itu, selama berabad-abad. TAPI INTAN sekarang lebih memusatkan perhatian pada apa yang dilihatnya di depan. Ia berusaha mengatur nafasnya sedemikian rupa, hingga seirama dengan langkahnya. Sampai bertahun-tahun kemudian, sekilas ia masih saja merasa heran atas perbuatannya, mengapa ia harus berlari-lari. Dan mengapa pula ia enggan menoleh ke belakang, menanggapi panggilan teman-temannya itu. Sementara Rumabolon, rumah adat yang sudah tua termakan waktu itu, tampak berdiri sunyi siang itu. Beberapa jendela terbuka lebar, dan terdengar gema percakapan yang aneh dari sana. Agaknya ada beberapa orang, dan mungkin juga banyak orang, sedang mengadakan semacam pesta, atau entah apa, di dalam sana. Intan kembali mengatur nafasnya; dan mulai merasa tenang. Namun kemudian secara tiba-tiba saja merasa bingung oleh pikiran, bahwa ia harus memiliki alasan yang tepat untuk kedatangannya siang itu. Rasanya ia sudah akrab dengan Rumabolon itu. Lain saat, ia pun teringat, bahwa sudah berkali-kali hadir di tempat itu, terutama bila ada pesta adat yang pasti melibatkan para penduduk teluk itu. Tapi belum pernah ia datang seperti siang itu: sendirian, dan akan menceritakan sesuatu yang bagi teman-teman gadisnya sangat mustahil. "Heh, Intan. Sini, mari masuk!" kata seorang ibu dengan penuh perhatian begitu Intan muncul di depan pintu Rumabolon itu. Pintu itu terbuka lebar, dan segera memperlihatkan apa saja yang terdapat di ruang tengah Rumabolon itu. Sebelum mencapai pintu itu, Intan terlebih dulu harus menyuruk ruang kosong di depan pintu itu, dan menaiki tangga lima undakan, baru berdiri di depan pintu. Agak gelap di dalam. Tapi Intan segera mengenali si Ibu penghuni Rumabolon itu dari suaranya. Dan mengenali pula wajah-wajah penghuni lainnya. Namun selanjutnya ia tak bisa menutupi rasa herannya, ketika melihat orang-orang yang saat itu duduk melingkar di atas tikar, di ruang tengah Rumabolon itu. Mereka adalah orang-orang yang tadi dilihatnya hadir di gereja. Dan di pojok, duduk di samping si Bapak yang menjadi kepala keluarga di Rumabolon itu -- tampak si Pendeta sedang menyuapkan makanan ke mulutnya. Semuanya, orang-orang di ruang tengah Rumabolon itu, ternyata sedang makan siang. Dan beberapa ibu telah menoleh kepadanya dan mengingatkan agar ia segera masuk dan ikut makan siang. "Anak gadis bergabung saja dengan teman-temannya di belakang," kata seorang bapak tertawa. "Sudah adatnya..." Intan ingin menanggapi, tapi tiba-tiba saja ia merasa kehilangan kata-kata. Sementara, benaknya serentak penuh oleh berbagai kilasan perasaan yang ingin diungkapkan. Namun ia hanya dapat berdiam diri, dengan sepasang kaki gemetar, melintasi ruang tengah Rumabolon itu, melangkah menuju pintu yang akan membawanya ke dapur. Sesaat ia merasa kurang sopan, karena belum mengucapkan sepatah kata pun kepada orang-orang yang sedang makan siang itu. Tapi kemudian ia pasrah saja, kalaupun nanti menerima celaan atas ketidaksopanan itu. Sementara kedua kakinya yang semakin gemetar, tak bisa ia tahan ketika membawanya semakin dekat dengan dapur Rumabolon itu. Tawa ramai teman-teman gadisnya segera memasuki pendengarannya, menyongsong seperti dari masa lalu. "Heh, ini Intan! Ayo, bergabung, sama-sama makan siang," kata salah seorang begitu melihatnya. Sementara yang lain segera bergegas menyiapkan piring, gelas, dan cuci tangan. "Jangan berdiri saja, duduk sini," kata yang lain. "Aku benar-benar melihatnya, dan mendengar suaranya...," kata Intan nyaris berbisik dan ikut duduk di atas tikar di antara teman-teman gadisnya itu. Teman-teman gadisnya itu berdiam diri saja mendengar kata-katanya. Tawa mereka yang selalu ramai, dan sudah akrab dalam pendengarannya -- terasa aneh ketika hilang begitu saja dari pendengarannya. Intan segera mengitarkan pandangnya. "Sudah. Cuci tangan dulu, segera makan," kata salah seorang dari gadis-gadis itu. Intan mencuci tangan dengan ragu. "Intan, Intan. Di rumah sendiri pun sudah jadi orang asing," kata yang lainnya. "Kita harus mengganti pakaiannya. Dengan bulu-bulu burung biru ini ia bisa sakit," sambung salah seorang dari gadis-gadis itu. Yang lain mengangguk setuju dan melanjutkan makan, seperti halnya Intan.*****