Buntut Lek Parto kaget. Buntut sepuluh ekor sapinya lenyap tanpa diketahui sebabnya. Darah mengucur dari pangkal-pangkal buntut di pantat sapi-sapi perahnya. Saking kagetnya, ember yang dia cangking untuk menampung susu sapi perahnya jatuh terguling ke tanah. Ia mengamati pantat demi pantat sapinya. Semuanya menunjukkan tanda-tanda seperti baru saja dipotong buntutnya dengan pisau tajam. "Wong edan! Tega-teganya nyolong semua buntut sapiku," gumam Lek Parto sambil berjongkok di belakang pantat seekor sapi dan memelototi pangkal buntutnya. Ia kemudian memeriksa sekeliling kandang. Ia menemukan banyak tetesan darah di tanah. Jejak darah itu menuju pintu dapur rumahnya. "Mbokne! Sini sebentar!" Ia langsung memanggil istrinya. Ia langsung curiga, jangan-jangan istrinya yang punya hobi makan sop buntut itu yang menyikat semua buntut sapinya. Tanpa ba bi bu, istrinya yang dikenal penurut, langsung datang. Di tangannya tergenggam sebilah pisau berlumur darah segar. Lek Parto langsung menghardiknya. "Mbokne! Kamu ini waras apa tidak, toh? Masak buntut sapi dipotongi semua!" "Buntut sapi apa, Pakne?" "Jangan pura-pura tidak tahu, Mbokne! Ini yang motong buntut-buntut sapiku kamu, toh? Kamu bikin sop buntut, ya?" Mbok Parto mengamati pantat-pantat sapi yang ditunjuk Lek Parto. Ia juga sangat terkejut melihat sapi-sapi perah itu tidak punya buntut lagi. "Lho, buntutnya dimakan apa, Pakne?" Lho, wong kamu sendiri yang motongi kok malah balik bertanya. Mbok jangan ngawur. Kalau pingin buntut, ya beli di pasar. Jangan motongi buntut sapi yang masih hidup. Kalau sapi kita mati semua, bagaimana?" "Kamu ya jangan ngawur, Pakne. Wong saya tidak tahu apa-apa kok dituduh." "Lah itu, pisaumu belepotan darah. Kalau tidak untuk motong buntut sapi, lantas untuk apa?" "Oh ini toh, Pakne. Saya baru memotong ayam. Itu ayamnya masih kelojotan di dapur. Kalau tidak percaya, lihat sendiri!" Lek Parto buru-buru menuju dapur. Benar juga kata istrinya. Seekor ayam jago yang baru saja dipotong masih menggelepar-gelepar di lantai. Lek Parto kembali bertanya-tanya, siapa gerangan orang gila yang menyikat semua buntut sapinya. "Kalau begitu, cepat pergi ke rumah Pak Mantri Hewan. Minta tolong agar buntut-buntut sapi kita segera dibalut. Cepat, Mbokne! Nanti keburu pada mati. Saya akan mencari siapa pencurinya!" Mbok Parto buru-buru pergi menemui Pak Mantri Hewan yang ditempatkan pemerintah di daerah pengembangan sapi perah itu. Sementara itu, Lek Parto melacak kembali arah bercak-bercak darah dari kandang sapinya. Arah bercak-bercak darah itu semula memang menuju dapur rumahnya. Akan tetapi, sampai di depan pintu bercak itu berbelok ke arah pekarangan di samping rumahnya. Ia terus merunutnya melewati kebun belakang dua rumah tetangganya. Ia sangat kaget karena bercak-bercak darah itu menuju pintu dapur ketua RT-nya. "Sontoloyo! Apa toh maunya ini, Ketua RT? Buntut sapi orang disikat semua. Slompret!" Lek Parto langsung mengumpat-umpat. Karena pintu dapur rumah Pak RT dikunci rapat, Lek Parto lantas menuju pintu depan rumah pengurus kampung itu. Ia terheran-heran karena di halaman depan rumah Pak RT sudah berkerumun puluhan tetangganya. Beberapa orang di antaranya, Pak Salim, Pak Amat dan Pak Sastro, tampak sedang marah-marah sambil menuding-nuding Pak RT. Rupanya mereka juga kehilangan buntut sapi dan menuduh Pak RT sebagai pencurinya. Ia tampak kebingungan menghadapi tuduhan warganya. "Buntut-buntut sapiku juga hilang. Pak RT pasti yang mengambilnya!" Lek Parto langsung nimbrung ikut memarahi ketua RT-nya. "Pak RT ini maunya bagaimana toh? Wong buntut sapi kok dicolongi semua? Mau jadi juragan buntut tanpa modal ya,Pak ?Apa jualan buntutnya tidak laku, Pak?!" "Tenang dulu, Bapak-bapak. Jangan menuduh sembarangan! Kalau saya tidak terima bisa saya adukan ke pengadilan, lho. Demi Allah, saya tidak mencuri buntut-buntut sapi Bapak!" "Lalu siapa yang nyolong, Pak? Kok bercak-bercak darahnya menuju pintu dapur Bapak!" "Pasti ada yang mencoba menfitnahku. Demi Allah, saya benar-benar tidak mencuri buntut-buntut sapi Bapak. Kalau tidak percaya, silakan periksa seluruh isi rumahku. Kalau Bapak-bapak menemukan buntut sapi, nanti sapi-sapi Bapak saya ganti dua kali lipat!" Mereka beramai-ramai memasuki rumah Pak RT, lalu memeriksa seluruh bagian dan isinya, termasuk kandang ayam, kandang bebek dan kandang marmutnya. Mereka tidak menemukan secuil pun buntut-buntut yang mereka cari. Mereka juga meneliti bercak-bercak tetesan darah yang menuju pintu dapur rumah Pak RT. Bercak-bercak itu ternyata hanya berhenti di depan pintu. Tidak ada yang masuk ke dapur. "Lantas, siapa ya, Pak, yang memotong buntut-buntut sapi kami?" Tanya Pak Salim. "Itulah yang harus segera kita selidiki. Yang jelas, pasti ada orang yang mau menfitnah saya. Siapa tahu ada orang yang diam-diam ingin menggantikan kedudukan saya sebagai ketua RT." "Ah, masak ingin jadi ketua RT saja pakai menfitnah-fitnah segala. Rasanya kok berlebihan, Pak," ujar Lek Parto. "Itu kan baru dugaan saja. Oh ya, jangan-jangan yang berceceran itu bukan darah sapi. Rasanya kok ada yang aneh. Masak darah buntut sapi bisa berceceran sebegitu banyaknya. Ayo kita periksa saja!" Orang-orang kampung beramai-ramai menuju halaman belakang rumah Pak RT. Mereka memeriksa bercak-bercak darah itu. "Saya curiga, jangan-jangan ini hanya ceceran kecap. Lihat, sudah mulai dirubung semut!" kata Pak RT. Ia lantas berjongkok dan mendulit bercak darah itu dengan ujung jari telunjuk tangan kanannya, kemudian menjilat dan menciumnya. "Benar dugaanku? Ini kecap. Bukan darah. Coba Bapak-bapak cium dan rasakan!" Orang-orang ikut berjongkok, mendulit, mencium dan menjilat bercak-bercak darah itu. "Wah, benar juga, ya. Ini kecap," guman mereka hampir bersamaan. "Benar-benar kurang ajar! Ulah siapa ya ini?" "Lalu, siapa ya, Pak, yang nyolongi buntut sapi kami?" "Saya tidak tahu. Yang jelas dia mau menfitnahku." "Jangan-jangan penjual sop buntut di ujung jalan itu?" "Ah, masak, jualan sop buntut kok sampai nyolongi buntut sapi?" "Bisa juga. Siapa tahu, dia kehabisan buntut dan terpaksa nyolong karena persediaan di pasar juga habis. Warungnya kan sangat laris." "Iya, ya. Bagaimana kalau kita selidiki saja ke sana, Pak RT?" "Ayo kita ke sana. Tetapi ingat, jangan main hakim sendiri!" "Ayo ke sana!" Orang-orang serentak menuju warung sop buntut di ujung jalan kampung mereka. Pak Madi, penjual sop buntut itu kaget digeruduk puluhan orang. Dengan terheran-heran dia keluar dan berdiri bingung di depan pintu warungnya. Jumlah kerumunan orang juga semakin banyak. Mereka ingin tahu apa yang terjadi. "Pak Madi nyolong buntut sapi kami, ya?!" Pak Parto langsung menyerang. "Buntut sapi apa, Pak?" bakul sop buntut itu balik bertanya. Tidak tahu apa yang dimaksud Lek Parto. "Sabar. Sabar! Jangan keburu menuduh dulu. Kita jelaskan dulu perkaranya," sela Pak RT mencoba menenangkan keadaan. "Begini, Pak Madi, para tetangga kita ini kehilangan buntut sapi. Mereka ramai-ramai datang ke rumah saya. Saya kan tidak tahu. Kami kini mencari siapa pencurinya. Lha kebetulan Pak Madi kan jualan sop buntut sapi. Barangkali Pak Madi tahu siapa pencurinya." "Lho, buntut sapi kok bisa hilang. Diletakkan dimana toh, Pak?" Pak Madi malah makin heran. Lha ya di pantat sapi, kok dimana!" "Kok bisa hilang? Gimana toh?" "Wah, Pak Madi kok tidak mudeng. Sapi-sapi mereka yang masih hidup di kandang dipotongi buntutnya oleh maling. Lha kita ini sedang mencari malingnya," jalas Pak RT. "Lho, buntut sapi masih hidup kok dicolong. Malingnya pasti maling edan itu, Pak!" Pak Madi makin keheranan. "Singkat sajalah, Pak. Pak Madi nyolongi buntut sapi kami tidak?" Lek Parto menyela. "Lha ya tidak toh, Pak. Edan apa? Masak jualan sop buntut saja sampai nyolongi buntut sapi yang masih hidup. Saya tadi beli empat buntut sapi di pasar. Itu baru dipotong-potong di dapur. Silakan dicek, Pak RT!" Pak RT bersama beberapa warga kampung mengecek ke dapur Pak Madi. Mereka menemukan empat buntut sapi yang sedang dipotong-potong pembantu bakul sop buntut itu. Mereka mengecek seluruh sudut warungnya. Tidak ditemukan buntut-buntut yang lain. Mereka lantas berbondong-bondong menemui juragan daging sapi di pasar yang terletak cukup jauh di seberang kampung. Mereka tidak menemukan bukti-bukti bahwa Pak Madi maupun juragan daging sapi itu mencuri buntut-buntut sapi mereka. Hari itu dia memang memotong empat ekor sapi dan keempat buntutnya diborong oleh Pak Madi. Dengan tangan hampa mereka bermaksud balik ke kampung. Akan tetapi di tengah jalan berpapasan dengan orang gila yang menenteng dua buntut sapi. "Hai, orang gila itu membawa buntut sapi," kata Pak RT. "Itu pasti buntut sapiku," kata Pak Parto. "Dia pasti yang mencuri buntut sapiku juga," kata yang lain. "Ayo ditangkap saja!" kata yang lain. "Dihajar saja!" "Ganti dipotong saja buntutnya!" Orang-orang kampung pun mencegat orang gila itu, mengeroyok, dan menggebukinya beramai-ramai. Setelah babak belur, orang gila itu mereka serahkan ke kantor polisi. Malam harinya, warga sekampung, terutama yang sapi-sapinya masih punya buntut, bisa tidur tenang. Mereka menganggap maling edan yang suka mencuri buntut sudah tertangkap. Namun, keesokan harinya, orang-orang kembali geger. Sapi sekandang milik KUD setempat hilang buntutnya. Kali ini malingnya tidak meninggalkan jejak apapun. "Benar-benar edan maling itu. Masak buntut sapi sekandang disikat semua!" gerutu ketua KUD. "Kalau begitu malingnya bukan orang gila itu," kata Pak Sastro. "Kasihan dia, sudah terlanjur kita gebuki," kata yang lain. "Karena itu malam nanti siskamling harus kita hidupkan lagi. Siapa tahu nanti malam malingnya beraksi lagi," saran Pak RT. Malam itu penjagaan keamanan kampung benar-benar ditingkatkan. Siskamling yang sudah berbulan-bulan mati dihidupkan lagi. Orang-orang yang masih punya sapi berbuntut pun terpaksa tidur di kandang sapi demi keamanan buntut-buntut sapinya. Ditunggu sampai pagi tidak ada kejadian apa-apa. Tidak ada maling buntut sapi. Kampung mereka aman-aman saja. Begitu juga pada hari berikutnya. Sampailah pada hari ketiga. Ketika orang-orang sedang asyik bermain gaple di gardu ronda, tiba-tiba terdengar jeritan. "Tolong! Tolong! Maling buntut! Maling buntut! Maling! Maling!!!" Orang-orang langsung menyerbu ke arah datangnya suara tersebut. Setelah dikepung dan diuber-uber, tertangkaplah Said Gundul, mantan penjual buntut SDSB yang bangkrut karena kalah bersaing dengan Pak RT. "Mengapa kamu jadi maling buntut, Ndul?" Tanya orang-orang. "Saya sedang nglakoni!" jawab Gundul sambil meringis karena digebuki. "Nglakoni kok pakai maling buntut? Nglakoni apa toh?!" "Saya mau jadi peramal buntut jitu. Mbah dukun menyuruh saya memakan seratus buntut sapi dalam seminggu!" "Kok nggak beli saja? Kok maling?!" "Mana bisa aku beli, wong kios buntutanku bangkrut! Lagi pula mana ada orang menjual seratus buntut sapi dalam seminggu." "Pantesan buntut sapiku kamu gasak semua!" "Diamput kamu, Ndul!" "Wong edan!" "Gebuki lagi saja!" "Telanjangi saja!" "Potong buntutnya saja! Biar tahu rasa!" Meski sudah menyembah-nyembah minta ampun, Said Gundul digebuki lagi, lalu ditelanjangi, dan diarak ke kantor polisi. Untung, tidak ada yang sampai hati memotong buntutnya! Yogyakarta, Juni 1992 * Dimuat di Kompas, Minggu 23 Agustus 1992