Bunga dan Kerbau BARANGKALI aku memang manusia kasar semacam kerbau – dan mereka adalah bunga! Meskipun perbandingan seperti itu tidak memuaskan atau kurang adil secara metaforik, karena tebalnya tendensi moral bahwa aku adalah si kuat bertubuh kekar, hewani, rakus, egois, namun agak dungu – dan mereka adalah si suci dari keindahan misteri hutan, harum, indah, terkadang berduri, namun suka pamer! Tapi persoalannya memang, kadang aku lupa bahwa aku seorang Ayah. Ayah dari keempat putriku. Dan bila sudah begitu, yang kulakukan adalah meliriki gadis-gadis cantik. Meliriki dengan rakus, seolah ingin melahap mereka bulat-bulat, inci demi inci, hingga kelaparan mata dan kesadaran kelelakianku terpuaskan. Dan begitu banyaknya gadis-gadis cantik sekarang ini. Di setiap tempat, nyaris setiap saat, tak habis-habisnya aku terkejut-kejut. Tak habis-habisnya aku mendecak-decak, ke kiri dan ke kanan. Terkagum-kagum tak henti-hentinya. Selalu menemukan keistimewaan yang khas dari masing-masing mereka. Pernah aku terpikir, bahwa Wati adalah gadis paling sempurna dalam hidupku. Aku begitu terpesona akan kecantikan wajahnya, dengan komposisi yang proporsional antara hidung, mata, dan mulut, di antara kedua pipinya yang halus. Namun, kemudian masih ada Sinta, yang kedua telinganya halus dan bening seakan tembus pandang. Membuatku tak bosan-bosan memandangi telinga itu setiap kali terbangun di sisinya. Lalu ada Wike, yang memiliki keistimewaan berupa suara yang mendesah-desah setiap kali bicara. Membuat setiap kata yang dilontarkannya menggoyangkan ‘sesuatu’ dalam diriku, hingga tak sabar aku ingin cepat-cepat memeluk dan mengapungkannya di ranjang. Ada Mirna, yang leher jenjangnya selalu menggoda untuk dibelai dan diciumi. Ada Ria, si mata sipit yang cerdas dan pandai bercerita. Ada Ros, Lena, Ayu, Lia, Tati, Ning…, dan seterusnya, dan seterusnya. Sungguh tak habis-habisnya. Dan mengingat-ingat nama serta wajah mereka satu per satu, selalu saja membangkitkan kenangan tertentu di otakku. Tapi, dua nama talah mengambil tempat yang teramat khusus di hatiku. Wike, gadis manis yang suka mendesah-desah itu, membeliti kehidupanku sedemikian rupa. Sehingga, ketika mengenangnya, aku tidak lagi sekadar teringat keremajaan yang menyegarkan, keremajaan yang mempesona, dan pernah kureguk. Namun juga, bagaimana keremajaan menjadi matang karena dikarbit dan kemudian membusuk secara dini. Atau, seperti diibaratkan seuntai lirik lago pop, layu sebelum berkembang! "Tidak, Wike! Kamu harus kuliah. Kamu tidak boleh ketinggalan dari kakak-kakakmu," kataku waktu itu, menasihati. Ayu dan Lia saling berpandangan. Wike menunduk. Diam. Kelihatan sudah kukuh dengan keputusannya. Sesaat, aku jadi kehilangan akal. Keremajaan yang tegas memancar dari kehadirannya. Aku menggelengkan kepala karena sekilas benakku dipenuhi bayangan wajah putri-putriku di rumah. Mereka tak pernah membantah! "Sudah berapa lama kamu tidak kuliah?" tanyaku. "Sudah dua bulan, Pap!" jawabnya. "Ke mana saja kamu selama itu?" "Saya di sini." "Tidak. Kamu tidak di sini. Dalam dua bulan ini, kamu hanya sekali menemani Papa." "Saya main di tempat lain bersama teman-teman." "Jadi, kamu membohongi Papa, ya?" "Itu sebabnya Wike menyesal dan berterus terang sekarang, Pap. Wike tidak ingin bohong lagi." "Pembohong kamu!" desisku dengan wajah yang pastilah memerah. Wike tampak kaget dan ingin menangis. Sementara Lia dan Ayu terperangah oleh suaraku yang bernada tajam dan bersungguh-sungguh. Itulah. Aku tak bisa mengabaikan adanya perasaan tanggung jawab dalam diriku. Meskipun aku sadar bahwa aku tak memiliki hubungan darah atau moral apa pun dengan Wike, apalagi hubungan moral orangtua dan anak. Namun adalah kenyataan bahwa hubunganku dengan para remaja yang pernah dan masih berganti-ganti menemaniku selama ini, selalu berlangsung dalam suasana "kekeluargaan" yang khas. Dengan perhatian-perhatian khusus, yang terkadang kurasakan lebih mesra dibanding hubungan dengan putri-putriku di rumah. Karenanya, tak bisa kutahankan perasaan sebagai "ayah"-lah yang segera menuntunku ketika berusaha menguasai keadaan. Terutama meredam terlebih dulu gejolak kemarahan atau kekecewaanku. Demi tercapainya jalan keluar terbaik dari persoalan yang dihadapi. "Kamu harus ingat, Wike. Hasil kuliahmu nantinya untuk kamu juga!" kataku beberapa saat kemudian, ketika kami sudah tenang, dan ruangan kafe yang tidak begitu ramai pengunjung itu sepenuhnya hening oleh ketagangan yang diredam. Dan, di antara ketegangan itu, akhirnya Wike tak bisa lagi menunda tangisnya. Sesekali tangis itu kemudian mengganggu pembicaraan kami. "Papa benar, Wike," kata Lia. "Papa benar, Wik," kata Ayu. "Kamu pikir, untuk apa Papa memberi kamu uang banyak? Untuk sekolah kamu, Wike. Di samping untuk jajan dan pakaian kamu. Biar kamu tahu, seperti pernah Papa katakan, di perusahaan-perusahaan Papa itu pekerjanya semua sarjana. Sungguh, kalau bukan sarjana, tak ada artinya sekarang ini, Wike." "Kamu, kan, tidak seterusnya hidup seperti sekarang. Suatu saat akan menyelesaikan kuliah, bekerja, dan bahkan berumah tangga. Seperti berkali-kali Papa ceritakan, si Ning kawin dengan bosnya dan dibawa ke Australia. Lena di Jakarta sini menjadi sekretaris di sebuah perusahaan besar dan sudah berumah tangga. Tati yang kembali hidup normal di Bandung, dan…, banyak contoh, Wike. Kok, ini kamu datang malah mau mengabarkan bahwa kamu mau menyimpang sepenuhnya. Apa ini?" "Papa benar, Wike. Jangan kamu lakukan," kata Lia. "Iya. Papa benar, Wik, begini-begini saja sudah cukup. Kita bisa senang-senang dan kuliah jalan terus. Tidak menganggu dan meninggalkan orang rumah," sambung Ayu. Namun, Wike terus saja menunduk. Terisak-isak. Membuatku benar-benar merasa serba salah karena tiba-tiba menemukan jarak yang rasanya menganga lebar di antara kami. Tidak saja pemahaman yang agaknya mustahil baginya melihat kebenaran kata-kataku. Namun, terbit pula ketidaktahuanku ketika mencoba menggambarkan pikiran dan perasaan yang sedang bergejolak di dalam dirinya. Hingga, kesia-siaan kemudian menghampiriku. Menumpatkan suaraku, membutakan otakku, dan akhirnya membuatku berbicara tersendat-sendat tanpa makna dan tak sabar lagi ingin mengakhiri pertemuan itu. Begitulah malam itu. Pertemuan yang diatur oleh Ayu dan Lia itu berakhir percuma. Kekuatanku sebaga "Papa" mereka di luar rumah, yang mereka harapkan dapat membendung hasrat Wike yang ingin meninggalkan kuliahnya, ternyata hanya menjelma sebagai kemarahan tak berarti. Wike pun menjadi perempuan penghibur! Hanya sebulan aku benar-benar mengikuti perkembangannya. Dalam arti, bila kami bertemu, aku masih mencoba mempengaruhinya. Dengan mengatakan bahwa ia boleh saja hidup di luar rumah sepuas-puasnya, tapi tidak meninggalkan kuliah. Sengaja mengambil cuti untuk mengumpulkan uang beberapa waktu. Lalu, kembali kuliah ketika sudah memiliki uang cukup. Perempuan lain ada yang melakukannya. Namun Wike bersikukuh. Ia telah mempersiapkan diri menjadi seorang perempuan penghibur secara utuh. Benar-benar sendiri, katanya. Tapi, malah ada yang menjadi perempuan panggilan sambil terus kuliah, kataku. Aku tak secerdas mereka, Pap, kata Wike. Selanjutnya, kami pun terkadang bertemu seperti orang-orang yang selalu disibukkan urusan. Tak ada waktu berlama-lama dengan orang-orang masa lalu. Cukup sapaan-sapaan ringkas berupa senyum, lambaian tangan, bahkan cuma lirikan samar bila kebetulan berselisih jalan. Itu kalau Wike tidak sedang mengikuti tamu-tamunya ke luar kota, ke luar pulau, atau ke luar negeri. Kudengar dari Ayu dan Lia, Wike pernah diboking untuk waktu lama oleh seorang pekerja asing di Singapura. Sampai dua tahun kemudian, peristiwa celaka itu mendekatkan aku lagi dengan Wike. "Saya takut, Pap!" Wike terbata-bata malam itu. Suaranya tak lagi serak mendesah-desah, tapi kering tanpa gairah. "Kau sekarang aman, Wike!" kataku dengan sedih. "Kau bersama Papa, Ayu, Lia, dan teman-temanmu!" Kupandangi ia dengan rasa kasihan. Ia pasti sengaja bangun dan duduk di tepi pembaringan itu, karena mengetahui akulah yang datang. Sudah dua minggu ia berada di rumah kontrakan Lia itu. Beristirahat total. Dan selama itu, ia selalu mengurung diri di kamar dan tak mau ditemui siapa pun, bahkan oleh Ayu maupun teman-teman yang lain. Makanan yang diantar si pembantu kadang pulang tak disentuh. Akibatnya, Wike yang kupandangi saat itu adalah Wike yang kurus dan pucat; tak bisa menyembunyikan besarnya penderitaan dan sesal yang ditanggungnya. Dan menyakitkan rasanya bahwa "keayahanku", ketuaan usia, dan banyaknya pengalaman hidup, kembali tak berdaya menghadapi persoalan Wike. "Tapi kenapa, Wike," tanyaku tanpa sadar. "Kenapa?" bagai tersengat pisau tajam, ia menoleh kecewa ke arahku. "Saya takut, Pap. Saya tak siap. Tak siap dengan anak!" Ya. Pastilah Wike sangat takut. Takut pada pikirannya sendiri. Karena ia akan selalu terbangun oleh kesadaran bahwa ia telah bergaul bebas dengan siapa saja yang membayarnya, dan ia kemudian ceroboh, dan lupa melindungi diri. Lalu hamil. Dan tak berani menentukan, siapa dari mereka yang menggaulinya, berhak menjadi ayah anaknya, kalaupun mereka layak dituntut memikirkannya. Tapi, mereka hanya membayar untuk pelayanannya. Bukan untuk akibat pelayanannya. Baginya, kehamilan dan anak itu sama saja dengan sengaja menutup pintu dari pergaulan, dari pasar! Maka, ada jalan yang gampang dijangkau: abortus! Tapi, sejak melakukan abortus, berlawanan dengan hasil yang diharapkannya, Wike malah menutup diri dari pergaulan, dari pasar. Bahkan menutup diri dari aku, Lia, dan Ayu. Wike selalu menghindari dirinya, menghindari kesadarannya. Seperti orang linglung, Wike terkadang tak menjawab sepatah kata pun bila diajak berbicara. Ia hanya memandang tanpa focus. Hingga suatu ketika, secara terbata-bata ia menceritakan kepadaku bahwa seusai melakukan abortus, ia kerap dihantui mimpi-mimpi mengerikan. "Sesuatu" selalu membawanya kembali ke ruangan bersalin sebuah klinik, tempatnya melakukan abortus, sekalipun ia senang menginap di kamar hotel mewah. "Saya melihat darah berceceran, Pap! Melihat darah berceceran di atas kain putih. Lalu, lalu, saya juga melihat daging diiris-iris, oleh tangan seseorang yang berpakaian putih bersih, oleh seseorang yang bekerja penuh semangat, seperti di rumah…potong!" "Kamu harus melupakannya, Wike. Itu masa lalu!" "Tak bisa, Pap. Saya tak bisa. Itu kehidupan saya!" Lalu, Wike pun benar-benar menghilang dari pergaulan. Entah pergi ke mana dia. Selama beberapa bulan, namanya terkadang masih muncul di antara kegembiraan kami. Tapi, kemudian terlupakan, ketika tak seorang pun mampu menawarkan informasi lebih jauh, kecuali "tidak tahu". "Kabarnya ia kembali ke rumah dan dikirim orangtuanya ke kampung." "Di mana kampung itu?" "Kasihan." "Di mana kampung itu?" "Tidak tahu." "Kasihan." "Sudah kita peringatkan…" Begitulah, kehidupanku di luar rumah terus berdenyar. Dunia pergaulan bersama gadis-gadis remaja, yang selalu memanfaatkan kebaikan dan kekayaanku. Terkadang ada wajah dan nama baru. Bila mampu menyesuaikan diri, ia pun menjadi anggota pergaulan. Bila tak mampu, ia pun tersisih dan keluar, serta menghilang entah ke mana. Dan Ria, si mata sipit, adalah nama kedua yang mengesankan hatiku. "Kapan kita pulang, Pap?" tanya Ria siang itu. Ria seorang mahasiswi teknik tingkat akhir. Ia kos di Jakarta ini. Ia membiayai sendiri hidup dan kuliahnya. Dan sore itu, kami sama-sama terbangun di sebuah kamar hotel kecil, di sebuah jalan di tengah kota Jakarta yang hiruk-pikuk. Dan mendengar pertanyaannya, tanpa sadar aku sudah tersenyum lucu, lucu karena kami memang harus pulang ke rumah masing-masing seolah baru saja dari luar kota. Sudah dua hari kami menginap di hotel itu. "Oh ya, bagaimana caramu bicara pada ibu kos?" tanyaku. Senyum masih belum hilang dari wajahku. "Ah, Papa. Itu melulu yang ditanyakan..." "Iya. Tapi bagaimana caranya? Peragakan dong!" suaraku setengah memaksa dan senyumku agak kutahan. Semula dia memang kelihatan enggan. Tapi melihat reaksiku yang agak dingin, ia pun bangkit dan berdiri di samping pembaringan. Lalu, memperagakan tingkahnya ketika pamit kepada ibu kos. "Bu, saya mau ke luar kota lagi. Ada kegiatan ilmiah, dari kampus!" katanya. Wajahnya sungguh-sungguh, dengan senyum tipis meyakinkan. Lalu, ia melanjutkan. Kali ini mengambil ancang-ancang: menggembungkan kedua pipi, agak membongkokkan tubuh, kemudian melangkah terseok-seok sebagaimana layaknya seorang perempuan gendut. "Waadduuhhh, Riaa! Mau ke mana lagi kamu? Kampus kamu, setiap kali melangsungkan kegiatan ilmiah, kok, mesti ke luar kota, sih?" suaranya meninggi dan bibirnya menjebi. "Kali ini cuma ke Bandung, Bu," Ria kembali pada suara aslinya, dengan wajah membujuk tanpa dosa, tetap berusaha meyakinkan. Namun kemudian...ha-ha-ha-ha-ha-ha-ha...! Aku dan Ria tak dapat lagi menahan tawa. Sama-sama lucu dengan gaya "bebek" yang selanjutnya diperagakan Ria, meniru ibu kos yang selalu ingin dihormati dan didengarkan penilaiannya, namun menampilkan gerak tubuh yang berlebihan dan mengundang tawa itu. Dan Ria paling bisa memeragakan gaya siapa saja yang dianggapnya lucu. Dia selalu gembira melakukannya di hadapanku. Namun, yang paling lucu adalah setiap kali ia memeragakan cara bicara dan berjalan ibu kos yang terseok-seok seperti "bebek" kegemukan itu. Kemudian, sambil tertawa, Ria menyerbuku dengan cara membenamkan bantal ke wajahku dan menindih tubuhku. Masih tertawa, aku berusaha menghalaukan bantal itu dari wajahku karena nafasku menjadi sesak. Selama beberapa saat, aku berjuang melepaskan diri. Sementara Ria terus tertawa sambil mencandai dan menggelitik. Dan aku juga terus tertawa dengan suara terbekap. Sampai akhirnya, Ria menyingkirkan bantal. Dan aku kemudian bangkit dari pembaringan, dengan tubuh benar-benar kuyup oleh keringat, napas ngos-ngosan, dan perut agak sakit. Ruangan berpendingin itu sesaat serasa bara yang berpijar mengepungku. Aku menghampiri kulkas. Mengambil sekaleng minuman ringan, dan sesaat kemudian merasakan sejuknya minuman ringan yang dingin di tenggorokanku, Ahhh, segar dan nikmat. Serasa usai mendaki puncak sebuah pegunungan, lalu menghirup kesegaran udara yang bersih sepuas-puasnya. "Tenang-tenang sajalah," kataku beberapa saat kemudian. "Tenang-tenang saja dulu." Aku menjentik bintik keringat di alisku. "Tapi, saya harus bayar uang kuliah, lo, Pap!" kata Ria sambil memperbaiki rambutnya di depan meja rias. Lalu mengipas-ngipas dengan koran. Ia juga diguyur keringat. "Iya. Papa tahu. Tapi, tenang-tenang saja dulu. Jangan minta pulang sekarang!" kataku dengan perasaan mulai ringan. Terbayang di benakku bahwa dengan bebasnya, sebentar lagi aku akan dapat menikmati kembali kemudaan yang menggelegak dari setiap inci permukaan hingga kedalaman tubuh Ria. Aroma keremajaan dan keindahan misteri bunga, yang sudah berkali-kali kureguk dengan perasaan puas. Tak bosan-bosan!***** (Dipublikasikan di Majalah Matra, September 2000)