Bajigur MALAM GELAP. Dingin menusuk. Langit di atas sana seperti lautan yang dipenuhi oleh gerombolan kapal-kapal penyamun dengan layar-layar hitam yang lebar, datang menyergap, memaksanya memandang nanap, hingga ia baru memalingkan wajah ketika lehernya terasa sakit. Kini, lelaki tua itu kembali sendiri menatap kelap-kelip lampu minyak yang menimbulkan penerangan buram di atas dua peti pikulannya. Ia meringkuk menduduki jongkokannya. Maka buramlah wajahnya, ketika tiba-tiba saja ia teringat rumah. Istrinya yang sedang sakit, tak ada yang menemani. Sudah bertahun-tahun seperti itu, tapi malam ini -- tiba-tiba saja ia dihinggapi perasaan kasihan yang amat sangat. Dalam tubuh istrinya yang kurus dan lemah, kini tampak di matanya -- sebuah kebutuhan yang maha besar -- akan adanya seseorang yang menemani, sekadar mengobrol, melewatkan malam sunyi di rumah mereka yang terjepit di sebuah gang kumuh itu. Bila ada seseorang, yang setiap kali dapat mengemukakan apa saja sebagai bahan pembicaraan, maka istrinya itu akan terlibatkan sejenak dengan masalah lain di dunia ini -- kecuali menanggungkan penyakitnya yang mengkeriutkan rasa nyeri di dada, setiap kali ia menghela nafas. Para ibu-ibu tetangga, sekali dua kali, datang juga menjenguk istrinya itu. Menghabiskan jam-jam kosong mereka, sehabis makan malam atau menjelang tidur. Menceritakan apa saja yang pantas diucapkan bagi seorang perempuan tua berpenyakitan, yang kurang tajam pendengarannya. Hingga terkadang, istrinya hanya menjadi seseorang yang merasa asing di rumahnya sendiri, menyaksikan para ibu-ibu tamunya, mengobrol dan tertawa sesama mereka. Sementara istrinya itu harus menggigit bibir menahankan perih di dada, namun memasang senyum bijak di wajah, agar tampak sebagai orang tua yang sopan menghargai tamunya. Tapi pada malam dingin seperti ini, siapa yang akan mau melewatkan waktunya, menemani seorang nenek tua, yang tidak tahu apa-apa tentang 'kredit macet'? Sore tadi, ada keengganan pada lelaki itu meninggalkan rumah. Ia bermaksud libur saja semalam. Ia toh tidak harus berjualan bajigur setiap malam. Tak akan ada manusia yang mati, bila ia tidak menjajakan bajigurnya semalam saja. Bahkan, tak akan ada manusia yang kehilangan, bila ia tak hadir selama berminggu-minggu di lorong-lorong gelap, yang telah bertahun-tahun disusurinya. Begitulah penglihatannya. Hingga, terkadang ia pun dihinggapi perasaan minder. Bahwa dengan menjajakan bajigurnya, ia sebenarnya sedang menyodorkan dirinya secara malu-malu kepada dunia. Dengan meneriakkan "guur! guurr!" dengan suara sembernya, sambil mendenting-dentingkan sendok pada mangkok kosong -- malam hari, di hadapan masyarakat yang sedang mengaso dari kerja siang hari -- agar diakui kehadirannya, sebagai sesama manusia yang juga memaknai hidupnya dengan bekerja. Sore tadi, istrinya segera mengingatkan tentang uang yang sudah habis -- ketika lelaki itu mengungkapkan niatnya ingin berlibur itu. Sementara, besok mereka harus ke Puskesmas. Memeriksakan penyakit dada istrinya itu -- sudah separah apa, dan bagaimana kemungkinan sembuhnya. Tentu saja: tak ada harapan sembuh. Istrinya tinggal menunggu waktu. Begitulah tatapan orang-orang memandang ke arah mereka suami-istri, setiap kali mereka pulang dari Puskesmas. "Pak, bajigur...satu mangkok!" "Eh eh...maaf...satu mangkok?" Lelaki tua itu terperanjat di jongkokannya, dan melihat seorang pemuda telah berdiri seperti pohon yang menjulang tinggi di hadapannya. Lalu, angin malam berhembus kencang, nyaris memadamkan nyala api lampu minyak yang terpacak di dalam kaleng di dinding pikulan itu. Kemudian, terdengarlah tawa ramai dan ringan dari kegelapan sana. Ternyata, pemuda itu tidak sendiri. "Heh, Lu bisa saja cari makanan... Semangkok bajigur memang lumayan pada malam dingin seperti ini... Ayo, teman-teman...," salah seorang dari pemuda-pemuda yang datang kemudian itu, berbicara nyaring, dan disambut tawa oleh teman-temannya. Kini, lelaki tua itu merasa dikitari oleh berbatang-batang pohon yang menjulang tinggi, dan diawasi oleh berpasang-pasang mata asing, ketika harus menyajikan bajigur, mangkok demi mangkok. "Beraaapa...lagi, Nak?" tanya lelaki itu gugup, ketika sepasang matanya tiba-tiba saja merasa sukar menghitung sosok-sosok yang berdiri memagarinya itu. "Oalah, Pak. Tua sih tua...tapi ya bisa menghitung dong..." salah seorang dari pemuda itu menanggapi dan kembali disambut tawa oleh teman-temannya. Maka, selama beberapa saat, di tempat itu, hanya terdengar tiupan angin malam, denting sendok dan mangkok, suara-suara orang menghirup dan mengecap bajigur, dan tawa serta percakapan para pemuda itu, yang sesekali dipuncaki oleh serapah dan rasa kesal yang tak jelas arahnya. "Bulan ini si gendut tak mau bayar sepeser pun..." "Minuman?" "Ia tidak berdagang minuman lagi..." "Sial. Kita tak bisa minum...tak bisa beli...obat..." "Setan. Kalau begini bangkrut kita..." "Kenapa? Kok si gendut berani menentang?" "Si gendut punya deking petugas sekarang..." "Fotonya dipajang di dinding..." Lalu, lelaki tua itu pun secara diam-diam memperhatikan para pemuda itu, yang tampak kuat, percaya diri, sekalipun kumal dengan cara berpakaian mereka yang seenaknya. Namun tak masuk akal bagi lelaki tua itu, bahwa para pemuda itu harus menghabiskan waktu semalaman di luar rumah. Mereka toh tak harus menahankan dingin, untuk menjual bajigur misalnya, karena mereka pastilah masih dibiayai oleh orang-orang tua mereka di rumah. Kemudian, lelaki tua itu pun menoleh ke sekitar. Baru menyadari, bahwa ia ternyata sedang berada di tengah -tengah sebuah jalan besar dengan rumah-rumah yang tampak lengang dan mentereng dalam kegelapan, berjajar rapi, seberang-menyeberang, dengan rimbunan bunga-bunga di halamannya yang berpagar cukup tinggi. Semua pintu pagar itu kelihatannya tertutup. Hingga lelaki itu bingung sendiri, dari manakah para pemuda yang sedang menikmati bajigurnya itu muncul. "Tambah...Pak!" si pemuda yang muncul pertama menyorongkan mangkok bajigurnya. "Saya juga, heh!" "Saya juga, dong!" "Saya ju..." "Saya..." "Nih..." "Gilee..." "Syik...asyik..." "Hm..." "Bajigur...gur!" "Enak, saya juga!" Para pemuda itu tertawa dan saling memainkan mata di antara kegelapan di sekitar. Lalu salah seorang mengeluarkan rokok, dan mengedarkannya kepada yang lainnya. Disertai obrolan yang kembali menyambung dan semakin ramai, mereka menunggu si lelaki tua itu menyediakan bajigur. Lelaki tua itu tiba-tiba saja merasa pusing. Bermangkok-mangkok sudah ia serahkan. Kini dandang alumuniumnya mulai kosong. Sendok besarnya mengeluarkan bunyi "glung glung glung", seperti keriut rasa sakit dari dada istrinya, setiap kali ia menyendok bajigur yang tersisa, dan menuangkannya dengan hati-hati ke dalam mangkok-mangkok yang terus disodorkan minta tambah. Lalu, beberapa saat kemudian, segalanya pun senyap bagi lelaki tua penjual bajigur itu. Para pemuda itu telah menghilang di kegelapan di ujung jalan sana. Mereka pergi membawa hangatnya bajigur di perut mereka, dan manisnya bajigur di lidah mereka. Mereka pergi tanpa membayar serupiah pun. Mereka pergi begitu saja sambil tertawa-tawa. Meninggalkan lelaki tua itu, merasakan sesuatu yang sangat pedih sedang meledak di dadanya, karena tak mengucapkan sepatah kata pun menuntut haknya. Ia hanya menengadahkan wajahnya yang pucat itu, sekali, ketika para pemuda itu semakin menjauh. Lalu, dengan sepasang tangan gemetar, ia kemudian membersihkan mangkok-mangkok bekas para pemuda itu makan bajigur, yang beberapa di antaranya di kotori oleh abu dan puntung rokok. Dan angin malam pun bertiup kencang.Lelaki tua itu teringat kembali kepada istrinya yang harus menahankan nyeri di dada, setiap kali menghela nafas. Dan ia menyesalkan, mengapa ia tidak memilih tinggal saja di rumah menemani istrinya itu. Malam gelap. Dingin menusuk. Langit di atas sana seperti lautan yang dipenuhi oleh gerombolan kapal-kapal penyamun, dengan layar mereka yang lebar digambari tengkorak, dan sepasang tulang yang disilangkan. Dan di hadapan lelaki tua itu, terhamparlah lorong demi lorong gelap yang harus dilaluinya, agar sampai ke rumahnya yang jauh. Lorong demi lorong, yang semakin hari membiakkan rasa murung di dadanya pada kehidupan. Kehidupan yang selalu merampas apa saja yang pernah dimilikinya. Bahkan, ketika ia tak memiliki uang sepeser pun.***** Bekasi Timur, April 1994