Baby Faced "Mengapa mereka memilih miskin?" tanya Nyonya Baby Faced itu. "Memilih miskin?" Herman tersenyum sumbang. "Tak ada yang memilih miskin, Nyonya. Mereka pasti ingin kaya seperti manusia lainnya. Tetapi, tidak semua punya peluang kan?" Herman mendegut ludah pahit di mulutnya. Perjalanan dengan bus turis itu jadi agak menjemukan. Detik itu, pukul 3 lewat 18 menit pada hari Rabu, ia menyadari siapa dirinya di antara rombongan yang kebanyakan sedang terkantuk-kantuk itu. Oleh isi pembicaraan mereka satu jam terakhir, mendadak ia terpikir dengan perasaan gamang, bahwa tempatnya sehar­usnya di luar sana. Di antara penduduk kota kecil berkulit kecoklatan itu. Di sana, pastilah ia tidak akan "rikuh". Karena berada di antara orang-orang yang memiliki kebutuhan dan impian yang tak jauh berbeda. "Kamu lebih tampan kalau sedang merengut begini," kata Nyonya Baby Faced itu tiba-tiba sambil tertawa kecil; sementara tangan kanannya di tumpangkan di atas paha Herman.Herman tersadar. Lalu memaksakan senyum. Life is a job; begitu ia selalu menghalau kerumitan dari benaknya. Kemudian ia menangkap jemari Nyonya Baby Faced itu dan meremasnya. "Angka 13 adalah sial. Kamu percaya, Herman?" tanya Nyonya Baby Faced itu. "Tidak," jawab Herman. Ia merasa senang dengan berge­sernya topik pembicaraan mereka; walaupun tidak begitu jauh sebenarnya. "Kita bertemu tanggal 13 , dua minggu lewat, dan itu tidak sial bagi saya," lanjutnya. "Saya tidak akan lupa itu. Saya juga tidak akan lupa bahwa kamu masih terlalu muda, Herman. Kamu belum tahu banyak soal hidup. Kamu hanya perayu yang baik dan teman yang menyenangkan," kata Nyonya Baby Faced itu sambil menar­ik tangannya. "Tapi kita sudah sepakat tak akan membahas ini lagi," kata Herman menoleh. "Ya...ya..." Nyonya Baby Faced itu agak gelagapan dengan perubahan wajah yang sulit dipahami maknanya. Bersamaan saat itu dengan gerak bus yang sedang menikung. "Suatu saat kamu akan menyesal," katanya. "Tidak," kata Herman. Menjelang magrib, bus turis itu memasuki kota Prapat. Selama di kota pariwisata itu, mereka seolah-olah telah melupakan topik "pribadi" mereka. Masing-masing tampak larut dalam perjalanan itu. Dan memperlihatkan kepada yang lainnya, akan kegembiraan yang diperoleh. Di satu pihak, Herman berperilaku layaknya seorang "guide" yang baik dan ingin menghibur. Di pihak lain, Nyonya Baby Faced pun mem­perlihatkan sikap terhiburnya. Seraya menekankan di wajahnya, sebagaimana turis umumnya -- rasa serba ingin tahu pada suasana kehidupan di wilayah baru yang dijumpainya. Serba ingin melihat lebih jauh dan mengunjungi. Dan memperlihatkan secara sungguh-sungguh, bahwa hasrat ingin tahu itu memang pada tempatnya. Paling tidak, begitulah orang-orang di jalanan melihat mereka. Khususnya para turis serombongan mereka itu. Tapi sementara itu, sesuatu yang sebenarnya terjadi adalah, masing-masing tak bisa menghalau prasangka yang berulang muncul, bahwa yang lainnya sedang "melarikan diri" dengan melelahkan fisik. Dengan harapan, bahwa dengan kele­lahan fisik itu, ada alasan untuk menghindari pembicaraan yang bisa jadi akan merembet serius. Begitulah, jalan demi jalan dan lorong demi lorong di kota Prapat itu, mereka jelajahi seperti sedang kehilangan sesuatu dan mencari sesuatu. Melangkah berduaan tanpa jelas: siapa mengikuti siapa. Siapa membawa siapa. Sebab terkadang yang satu memang tampak bergegas mengikuti yang lainnya, seakan menuju sebuah alamat sahabat lama yang tiba-tiba teringat. Namun ketika mereka sampai ke sebuah belokan, menjadi tak jelas kemudian, siapa sedang mengarahkan siapa menuju alamat berikutnya. Menjelang tengah hari, pada hari kedua, dengan bergan­tian mendayung, mereka menaiki becak air sampai jauh ke tengah danau Toba. Pagi harinya, rombongan mereka telah berangkat lebih dulu ke kota Medan. "Nikmat rasanya tidur diayun-ayun begini," kata Nyonya Baby Faced itu. "Iya. Sayang becak air ini tidak dirancang untuk tidur­an," balas Herman. Ia dapat merasakan kehangatan lengan dan paha perempuan di sebelahnya itu. Dari pantai, dengan pa­kaian renang mereka yang minim, pastilah mereka seperti tidak mengenakan apa-apa sebagai penutup badan. "Bahkan, untuk duduk berdua seperti ini pun terlalu sempit," lanjut Heraman. Lalu ia merangkulkan lengan kirinya. "Jangan merangkul," kata Nyonya Baby Faced itu. "Kenapa?" tanya Herman. "Nanti saya terangsang," jawab Nyonya itu tersenyum kecil. Herman tertawa. Ia menegakkan duduknya dan melepas kaca mata hitamnya. Sesaat ia harus menyipitkan mata memandang gundukan Pulau Samosir di depan sana. Tomok dan Ambarita adalah dua nama dari dua tempat yang menjadi bagian dari pulau itu. Dan ia masih saja belum bisa memastikan, yang mana Tomok dan yang mana Ambarita. Sekalipun ia telah beru­lang-ulang membawa "tamu" ke sana. Tapi, untuk apa? Begitu ia segera bertanya balik di dalam hati. Ia toh hanya sekadar lewat. Benar-benar hanya lewat. Ia dibayar biro hanya untuk melewati banyak tempat dan nama-namanya. Tempat dan nama-nama yang sudah terpaket. Baik itu kesenian khas maupun keunikan cara bermasyarakat di suatu daerah, semuanya sudah terpaket di dalam benaknya. Ia tinggal mengulang-ulang, menyebutkan sebisanya, bila seorang "tamu" ingin tahu atau­pun sekadar bertanya iseng -- kemudian -- melewatinya, sebagai bagian dari garis hidup biro yang harus dilanjutkan. Biro tak begitu mengharuskan detail; tapi sangat menekankan perlunya kecakapan para pegawainya di lapangan. Dalam hal mana, Herman belum pernah mengecewakan biro selama ini. Herman kini menoleh kepada perempuan Prancis di sebe­lahnya itu. Perempuan Eropa bertubuh mungil dengan usia menjelang empat puluh itu, memiliki wajah kekanakan yang segar dan unik bagi Herman. Ketika pertama kali bertemu dan berkenalan di kantor biro, tak bosan-bosannya Herman meman­dang wajah itu. Mengamati dengan serius seperti orang yang terkesima; dan selanjutnya harus mengakui di dalam hati, bahwa ia memang benar-benar terpesona. Dan Nyonya itu pun tak berusaha menutupi kegembiraannya, ketika tahu bahwa si pemuda yang sedang memandangnya dengan sorot mata kagum itulah yang akan menjadi "guide"-nya. Ia hanya melengak sesaat, dan selanjutnya tertawa lucu, ketika Herman memang­gilnya dengan sebutan "Nyonya Baby Faced". Lalu, dunia asmara yang dibangun Herman bersama Nyonya itu pun adalah bagian dari garis hidup biro yang harus diupayakan. Sebab, memang begitulah selalu, apabila ada peluang untuk itu. Selain menambah kualitas pelayanan, perjalanan pun tak jarang akan lebih menyenangkan. Tetapi, benarkah demikian? Tak adakah makna lain dari kata-kata asmara yang telah ia semburkan setiap hari dalam seminggu ini -- kecuali menjadi bagian dari garis hidup biro yang harus dipelihara para pegawainya? Pada usianya yang kedua puluh dua, tak adakah makna khusus ketika Herman menemaninya tidur? Tidak sekadar pengulangan-pengulangan "isi paket"? Melainkan mengandung kesimpulan khusus, yang lahir dari pengalaman istimewa yang baru ditemukan pertama kali? "Kenapa? Memikirkan apa, Herman?" tanya Nyonya Baby Faced itu tanpa mengubah posisi duduknya yang setengah rebah. "Belum lapar?" Herman malah balik bertanya. Pikirnya, Nyonya Baby Faced itu pastilah sedang melirik dari balik kaca mata hitamnya. "Sudah semakin panas di sini," lanjutn­ya. "You`re lying," kata Nyonya Baby Faced itu. Lalu secara tiba-tiba mendorong Herman. Dan Herman, dalam gugupnya karena merasa terlanda sesuatu yang cukup berat secara tiba-tiba, hanya dapat menggapai-gapai dan mencengkeram. Dan yang tercekal olehnya adalah pergelangan tangan kiri Nyonya Baby Faced itu. Maka yang tampak kemudian adalah, bagaimana keduanya seolah-olah terjun bersama dengan tubuh saling menindih -- sementara becak air itu terdorong oleh hentakan dua tubuh yang tiba-tiba seperti menolakkannya -- bergeser sejauh tiga meter, terayun-ayun di antara riak-riak dan buncahan air danau. Sementara itu, untuk sesaat Herman tak bisa menghalau kepanikan dalam dirinya, terutama ketika meluncur dengan tubuh terbalik ke dalam air danau yang sejuk dengan kedala­man tanpa batas itu; dengan tubuh Nyonya Baby Faced sedang menindihnya. Ia kemudian melihat kaca mata hitam yang dike­nakan Nyonya Baby Faced itu terlepas dan tenggelam dengan gerak lamban; sementara si pemilik sedang merapatkan tubuhn­ya ke dalam pelukannya, lalu mencari-cari mulutnya dan kemudian menciuminya. Tanpa memberi reaksi secara khusus atas ciuman-ciuman di mulutnya, Herman benar-benar harus mengerahkan segenap kekuatannya menggerak-gerakkan sepasang kaki dan tangan kirinya yang masih bebas, dengan tujuan agar secepatnya kembali ke permukaan air danau itu. "Here, here, hueh..." Itulah kata-kata bercampur nafas terputus-putus dari Nyonya Baby Faced, yang menyerbu wajah dan pendengaran Heraman begitu mereka muncul di permukaan. "Tidak, tidak," Herman segera menyahuti secara refleks dengan nafas memburu, sambil mengitarkan pandangnya mencari-cari posisi becak air mereka. Sementara tangan kanannya terus merangkul, dan tangan kiri serta sepasang kakinya terus digerak-gerakkan mengayuh. Becak air itu masih terayun-ayun. Kini berjarak sekitar lima meter dari posisi mereka. Ke sanalah Herman kemudian memusatkan perhatian dan mengarahkan kayuhan tangan dan kakinya, tanpa melayani lebih jauh cumbuan perempuan yang sedang menggelayuti lehernya itu. Dua jam kemudian, masing-masing dari mereka berkata, bahwa yang lainnya makan siang lebih lahap dari biasanya. Dan udara sejuk kota Prapat, adalah udara segar untuk bercinta sepanjang sore. Namun, ketika mereka kembali ke kamar dengan perut kenyang, yang mereka lakukan adalah segera tidur. Tidur dengan sangat nyenyaknya. Dan baru terbangun tengah malam, ketika kedinginan cuaca kota Prapat mencapai titik teren­dahnya. Dengan angin danau yang bertiup kencang, ditingkahi gemuruh ombak yang seperti memukul-mukul kaca kamar mereka yang bersisian dengan tepi danau. "Kamu tidak akan menyesal, Herman?" tanya Nyonya Baby Faced itu di bawah selimut. Herman merasakan tubuh perempuan itu menggigil dalam pelukannya. "Tidak," kata Herman. "Saya ingin kaya," lanjutnya tertawa. "Kalau begitu, peluk saya lebih erat, peluk saya lebih erat," kata perempuan itu berulang-ulang. ***