Apel Setiap kali ia ingin menikmati buah apel, ia tak menemukan pisau di dapur. Tapi ia selalu menemukan kapak dan tergoda menggunakannya. Maka dengan kapak ia akan membelah buah apel. Dan ia merasa senang menyaksikan apel itu terbelah dan terlontar ke dua arah. Namun ibunya selalu terganggu oleh kenakalannya, lalu ingin menghajarnya dengan sapu lidi. Tapi ibunya lebih sering menemukan kayu bakar di dapur. Maka ibunya pun memukulinya dengan kayu bakar. Sambil menjerit-jerit kesakitan ia sering berlari ke kamar. Lalu bersembunyi di kolong tempat tidur. Tapi dengan wajah beringas ibunya akan mengejar, memburunya sampai ke kolong tempat tidur itu. Dan ia pun selanjutnya dipukuli di sana. "Apel satu-satunya! Apel satu-satunya!" teriak ibunya berulang-ulang. Apa mau dikata, selalu begitulah kejadiannya. Ia selalu menemukan hanya sebuah apel di meja makan. Ia tahu bahwa ibunya sering memandangi potret yang tergantung di dinding ruang tamu itu. Suatu hari (tiga hari sebelumnya ia kembali dipergoki membelah buah apel, dan belahannya terlontar sampai ke ruang tamu, lalu ia pun dipukuli), dengan wajah dan tubuh masih memar-memar kesakitan, ia turunkan potret berkaca itu, dan membantingnya ke lantai. Pecah. Kaca berserakan. Dan rasa sakit pada wajah dan tubuhnya pun serentak berkurang sebagian. Lalu ketika ibunya menemukan foto hitam putih dan pecahan kaca yang berserakan itu, ia pun melengos ke arah lain. Lalu tak dapat menahan air matanya, diam-diam menangis, dan segera menghambur ke kamar. Ia menjadi sadar, bahwa ia masih kanak-kanak, dan ibunya berduka atas ulahnya. Tapi kegelapan siang hari di kamar itu agak menghiburnya. Agak pengap di sana, tapi ia leluasa mengawasi gerak-gerik ibunya. Namun kemudian ia lebih terganggu oleh adanya kesadaran, bahwa sesuatu telah hadir di luar sana tanpa bisa dipahaminya. Tak bisa dimengertinya. Bahwa orang-orang boleh melakukan sesuatu tanpa harus menjelaskannya kepada yang lain. Ibunya tak pernah menyinggung sedikit pun tentang potret hitam-putih itu; siapa dia, dan mengapa demikian penting bagi ibunya. Dan itu terasa rumit baginya. Bahwa orang-orang, seperti Pak RT misalnya, mengurusi tetangga bisa jadi karena pandai bicara. Jadi bukan karena membutuhkan uang iuran kebersihan itu, untuk biaya sekolah anak-anaknya. Selanjutnya, ia tak merumuskan apa-apa lagi dalam kegelapan kamar itu. Ia cuma menangisi ibunya dan anak-anak Pak RT. Lalu suatu hari ketika ia pulang sekolah, ia menemukan ibunya yang bertubuh kecil dan Pak RT yang bertubuh besar itu tidur-tiduran di kamar. Ia seakan terlontar seperti belahan buah apel. Ia merasa malu dan marah. Ia segera berlari meninggalkan rumah. Ia terus berlari dengan perih dan luka seperti menganga di sekujur jantungnya. Lalu ketika melewati rumah Pak RT, ia melihat anak Pak RT yang terkecil itu sedang bermain kelereng. Ingus meleler dan menjulur sampai ke mulut anak itu. Tapi ia tidak sempat lagi memperhatikan lebih jauh. Karena dengan cepat kemudian ia telah menendang anak itu persis pada kepalanya. Anak itu terjerembab dan segera menjerit-jerit kesakitan dan menangis. Sementara ia kemudian sudah berlari ketakutan dan merasa bersalah. Ia terus berlari. Dengan tas sekolah masih tergantung di punggungnya. Lalu ketika terdampar di pasar pada pelariannya itu, ia kembali menyadari bahwa ia masih kanak-kanak. Segalanya begitu tampak besar kini. Dan segalanya begitu tampak luas kini. Dan segalanya begitu tiba-tiba ketika orang-orang di pasar itu mengerubutinya. "Pencuri! Pencuri!" teriak mereka beramai-ramai sambil memukulinya. Mengeroyoknya. Ia telah berusaha menghindar. Ia telah mencoba lari. Namun orang-orang yang mengerubunginya itu semakin banyak. Mereka hadir di setiap penjuru. Dan lagi pula, geraknya sudah menjadi lamban. Wajah dan tubuhnya terasa sakit. Terasa perih. Atau barangkali ia memang telah hancur berkeping-keping seperti pecahan kaca. "Pencuri!" "Aku bukan pencuri!" jeritnya seraya limbung oleh sebuah pukulan di pelipis. "Itu! Itu! Sepotong apel masih ada di mulutnya. Keluarkan!" "Keluarkan!" "Yang di tangannya tak mau ia lepaskan!" Dan ia terus diserang. Ditendang. Ditampar. Dicakar. Namun sebuah buah apel yang ia ambil itu tak mau ia lepaskan. Rasanya, baru kali itulah ia menemukan sebuah buah apel yang bersih dan indah warnanya. Dan ketika ia gigit terasa manis dan segar sekali. Lalu ketika ia kunyah, tak ada satu kata pun yang pantas menjelaskan kelezatannya. Namun sekarang apel itu sudah terasa asin karena bercampur darah di mulutnya. Tetapi tetap saja ia merasa sayang membuangnya. Sambil membayangkan masa depan, dengan tubuh dan wajah kesakitan, pakaian koyak-moyak, tas sekolah tercecer entah di mana, ia kemudian berjalan pulang sambil mengunyah buah apel. Apel itu telah basah oleh keringat dan darah dalam genggamannya, namun rasa manisnya jadi lebih melekat di lidah. Rasa asin keringat dan darah telah bercampur. Lalu ia bayangkanlah pada masa depan sebuah pemandangan ramai. Pemandangan ramai di sebuah jalan. Di sebuah pasar. Dipenuhi orang-orang. Tua. Muda. Dan semua mereka, memandang takut-takut serta hormat padanya. Namun ia tetap berjalan seenaknya. Tak perduli. Dan anehnya, orang-orang itu kemudian bersujud di hadapannya. Takut-takut. Penuh hormat. Tapi ketika angin berhembus kencang, ia pun menyadari kembali bahwa ia sedang berjalan pulang. Dengan tubuh menggigil kedinginan karena pakaian yang sudah koyak-moyak, seraya mulut masih mengunyah sisa apel. Dan wajah serta tubuhnya pun kembali perih oleh luka-luka yang kembali menganga. Lalu begitu saja ia berteriak marah seraya berlari menuju rumah. Di dalam ternyata terang-benderang. Di ruang tamu, bahkan banyak orang. Mereka sedang menonton Pak RT yang bertubuh besar itu memukuli ibunya. Rambut panjang ibunya dijambak dan dihentakkan ke arah dinding, hingga kepala ibunya terbentur. "Ampun! Ampun!" teriak ibunya menjerit-jerit di antara tangis ketakutannya. "Tak ada ampun! Tak ada ampun! Anakmu hampir membunuh anakku!" balas Pak RT yang bertubuh besar itu dengan teriakan-teriakan bengis. Sambil menampar berulang-ulang. Lalu orang-orang yang menonton, para tetangga itu, segera menyadari kehadirannya. Pak RT dan ibunya pun akhirnya melihatnya. Mereka, serentak diam. Sementara ia benar-benar telah marah. Sangat marah. Rumah itu adalah rumah ibunya. Namun orang-orang itu, dan terutama Pak RT, telah begitu seenaknya berbuat semaunya seperti di rumah sendiri. Seenaknya menghajar ibunya. Seenaknya menjadikan ibunya tontonan. Seenaknya... Maka dengan sisa-sisa tenaga yang kini serentak menggumpal, ia meronta kalap dan berteriak marah. Seolah mengaum dalam sebuah hutan gelap. Dilanjutkan dengan berlari ke dapur. Dan ia tak menemukan pisau di sana. Tapi ia menemukan kapak. Kapak yang selalu ia pergunakan membelah apel. Sekarang, banyak apel terbayang di matanya, harus dibelah. *** (Bekasi Timur, September 1992)