Angin ANGIN berhembus bebas di tempat itu. Tempat itu adalah sebuah tepi pantai yang landai. Pasir putih menghampar luas. Namun di sana-sini, bergerumbul juga semak-semak liar yang merambat sampai ke hulu gugusan batu-batu, yang sengaja ditaruh para nelayan di tepi pantai itu untuk menahan ombak. Gugusan batu-batu itu -- ada beberapa gugusan, berjarak sekitar dua puluh meter masing-masing gugusan -- menjorok sampai ke laut sekitar tiga puluh meter jauhnya. Sebuah kerja yang melelahkan tentunya, tapi memang sangat bermanfaat. Sebab pada siang dan sore hari, ombak besar yang bergulung-gulung dari lautan luas itu pun, akan tampak terbelah menjadi ombak-ombak kecil, ketika akhirnya mencapai tepi pantai. Membuat tepi pantai itu tetap terawat baik, dan menjadi tempat yang nyaman bagi siapa saja -- memandang matahari tenggelam -- secara perlahan di sebe­lah Barat sana. Tapi angin berhembus di tempat itu. Dan perempuan itu selalu menertawakan dirinya, karena terkadang berpikir aneh tentang angin. Misalnya, bukan sekali dua kali, perempuan itu dihinggapi pikiran, bahwa angin pastilah berjenis kelamin laki-laki. Dan perempuan itu pun, tiba-tiba merasa geli oleh pemikiran demikian, dan tanpa sadar tertawa kikuk. Tentu saja ia tertawa tanpa setahu orang lain; apalagi oleh lelaki itu -- eh, sang angin itu. Yang lebih sering adalah: perempuan itu menertawakan lelaki itu di dalam hati. Bisa terjadi misalnya, ketika lelaki itu, atau sang angin itu, berbicara serius langsung ke wajahnya, si perempuan pun menghadapinya dengan keseriusan yang sama. Menahankan tiupan angin itu membelai-belai wajahnya sedemi­kian rupa, hingga ia nyaris menggigil kedinginan. Namun kalau lelaki itu, atau angin itu, cukup tahu diri -- ia akan melihat sepasang mata perempuan itu, yang berbinar penuh ejekan, dan sepasang sudut bibir perempuan itu, yang tertarik ke bawah menahan tawa. Adalah lucu pikir perempuan itu, bila angin dapat berbicara tentang apa saja, dan menganggap banyak hal di lautan sana sangat tergantung kepadanya. Benar-benar pemikiran yang berbau kelaki-lakian. Bukankah hanya para lelaki, yang sering beranggapan, bahwa segala sesuatu dalam kehidupan ini tak lepas dari campur tangannya? Tapi lelaki itu, atau angin itu, pernah menegaskan kata-katanya, dengan hembusannya yang kuat, hingga perempuan itu undur dua langkah karena kagetnya. "Kalau tak percaya... Ayo, buka bajumu dan renangi lautan sekarang juga! Kau akan melihat mayat-mayat mereka terapung-apung, dan dimakan ikan!" Waktu itu, perempuan itu menggigil dan memberengutkan wajahnya. "Jangan bicara yang bukan-bukan. Sejak pagi tak ada nelayan yang berangkat dari sini," kata perempuan itu membantah. "Mereka sedang berpesta di pelelangan ikan..." "Bukan para nelayan dari sini. Sudah kukatakan sejak tadi, mereka berasal dari pantai yang lain," kata angin itu. "Mengapa kau beritakan di sini," kata perempuan itu. "Biar kau tahu saja, bagaimana aku mampu melakukan apa saja di lautan sana!" "Apa salah mereka?" "Mereka terlalu jauh, dan perahu mereka terlalu kecil..." “Huh, itu bukan kau. Itu pasti perbuatan ombak," kata perempuan itu. "Jangan pura-pura bodoh. Ombak adalah hasil kerjaku yang paling sempurna di lautan sana," kata angin itu tertawa sember, dan selanjutnya meniupkan nafasnya yang berbau garam dan panas itu. "Jangan jahili aku," teriak perempuan itu. Angin hanya tertawa senang dan terus membelai-belai wajah dan sekujur tubuh perempuan itu. Ketika perempuan itu memasangkan kancing mantelnya, baru agak terasa, angin itu tak mampu lagi menggerayangi tubuhnya. Sementara untuk melindungi wajahnya, untuk beberapa saat, perempuan itu sengaja membelakangi laut. Tapi angin yang selalu bertiup itu, terkadang tidak memiliki jenis kelamin apa pun bagi perempuan itu. Bila hal seperti itu yang memenuhi benak perempuan itu, maka sang angin tanpa jenis kelamin itu pun menjadi teman mengobrol yang sabar bagi perempuan itu. Seperti hari ini, sejak pagi hari -- perempuan itu telah meninggalkan villa yang selama ini melindunginya dari dunia luar yang mengecewakannya -- dan memilih bercakap-cakap dengan angin di tepi pantai itu. "Pagi sekali kau datang," kata angin. "Aku ingin memuaskan diriku hari ini, dengan berdekat-dekatan dengan kau," kata perempuan itu. "Setiap hari kita sudah berdekatan," kata angin. "Tapi hari ini lain. Hari ini adalah hari terakhirku di sini. Aku akan pulang ke tempat asalku," kata perempuan itu. "Tapi kapan-kapan kau kan bisa datang lagi," kata angin. "Tidak. Aku tak akan datang lagi ke sini," kata perem­puan itu. "Lalu, sekarang apa maumu," tanya angin bertiup dengan suara datar ke arah perempuan itu, hingga mengibarkan beberapa helai rambut panjang perempuan itu. "Jangan seperti laki-laki," kata perempuan itu terge­tar. Sesaat ia seperti merasakan jemari seorang lelaki sedang mengurai rambutnya. "Hahahaha..." Angin itu tertawa panjang dan kembali meniupkan nafasnya yang panas dan berbau gelora karang di lautan itu. “Jadi, apa maumu, heh?" tanya angin itu agak menjauh. "Aku ingin kau bercerita tentang kapal tenggelam," kata perempuan itu maju selangkah. "Apa? Kapal tenggelam? Hahahaha. Banyak sekali sudah aku menenggelamkan kapal. Dan beberapa sudah aku ceritakan kepadamu," kata angin itu mendengus. "Aku mau mendengar tentang sebuah kapal pesiar, yang tenggelam tak jauh dari pantai ini," kata perempuan itu. "Kapal pesiar? Kapan?" tanya angin itu. "Dua tahun yang lalu," kata perempuan itu. "Pada bulan apa, minggu keberapa, hari apa dan jam berapa?" tanya angin. "Bulan April, minggu pertama, hari Selasa, jam lima sore," kata perempuan itu cepat. "Wah wah...kau ingat betul rupanya. Aku sendiri baru mencoba mengingat-ingat... Oya, apa, apa yang mau kau tanyakan?" angin itu mendesak dan mulai berdesau dengan penuh tanda tanya. Perempuan itu menggigil dan kuduknya terasa dingin, ketika desau angin itu bergema di semak-semak yang merimbun sampai ke salah satu gugusan batu di hadapannya. "Ceritakan...bagaimana mereka...mati!" kata perempuan itu dengan suara perlahan dan sesaat agak tertelan. "Apa?" tanya angin itu berbisik resah. Sesuatu yang mengerikan agaknya mengganggu benak sang angin tanpa jenis kelamin itu. "Bagaimana...mereka...mati!" tegas perempuan itu seraya menengadahkan wajahnya yang segera tampak dingin. Angin itu kembali terdengar mendesau, sesaat seperti menyesalkan dan sesaat kemudian seperti membela diri. "Aaahhh... Mereka semberono! Aku sudah berteriak-teriak dari kejauhan, agar mereka segera kembali ke pantai. Tapi, mereka terlalu percaya atas kemampuan kapal mereka yang bagus itu. Padahal kapal pesiar itu kecil sekali. Tak ada artinya dibandingkan kibasanku, bila sedang kesal. Dan sore itu, aku memang sedang kesal. Kalau tak salah, dalam dua jam saja, aku sudah menenggelamkan beribu-ribu kapal... Pi­kirku, tak ada bedanya bila ditambah sebuah kapal lagi, yang hanya memuat beberapa orang penumpang yang semberono... hahaha... Mereka akhirnya tenggelam! Tenggelam!" Angin itu berteriak-teriak di atas gugusan batu-batu yang menjorok ke laut itu, lalu mengibaskan tangannya di atas air yang segera saja memercik ke udara, lalu turun kembali membasahi puncak gugusan batu-batu yang biasanya kering itu. Lalu, angin itu pun tiba-tiba saja berdiam diri. Sementara, perempuan itu sedang menahankan rasa perih yang sedang mengoyak-ngoyak di dadanya, yang membuat tubuhnya tampak bergetar, hingga ia berdiri agak goyah selama bebera­pa saat. Kemudian, karena angin itu berhenti bertiup, bersamaan dengan degupan dadanya yang mulai normal, dan berdirinya yang mulai kokoh, sesaat, perempuan itu pun terpukau oleh kelengangan di tepi pantai itu. Di atas pasir putih yang menghampar itu, terlihat kini banyak sekali sampah yang terbawa ombak entah dari mana. Sekalipun para nelayan itu telah berhasil mengatasi hempasan ombak yang besar, dengan mengurainya menjadi ombak-ombak kecil lewat gugusan batu-batu itu -- tapi, ombak masih saja berhasil membawa segala jenis sampah entah dari mana, dan membiarkannya tertinggal di tepi pantai itu. Dan segalanya yang hadir di tepi pantai itu pun, menjadi kekacauan yang semata-mata menghadirkan siksaan dalam benak perempuan itu. "Angin! Angin!" panggil perempuan itu. "Ke mana kau?" teriak perempuan itu. "Aku di sini...hahahaha..." angin itu bertiup dan tertawa. "Ada apa, perempuan?" tanyanya. "Mengapa tidak kau lanjutkan ceritamu?" tanya perem­puan itu. "Aku harus tahu yang sebenarnya," kata perempuan itu. "Untuk apa?" tanya angin. "Untuk kubawa pulang," kata perempuan itu. "...Kau lebih tahu...apa yang terjadi," kata angin itu tiba-tiba dengan suara kaku. "Kau ada di antara ayah, ibu, suami, dan anak-anakmu. Kaulah yang memegang kemudi sore itu. Kau di sana, perempuan. Kaulah sumber kesemberonoan itu!" kata angin itu menyesalkan dengan gemuruhnya yang menyerupai ledakan. "Tapi, mengapa aku berada di sini?" tanya perempuan itu di antara debaran jantungnya yang kencang, yang memucatkan wajah serta memerahkan matanya. "Ombak membawamu, tapi meninggalkan yang lainnya," kata angin itu. "Iya, tapi kenapa? Untuk apa?" tanya perempuan itu meradang penuh rasa penasaran. Secara naluriah ia telah menyepak-nyepakkan kakinya pada gundukan pasir di hadapannya itu. Maka pasir putih pun beterbangan. "Mana kutahu. Aku toh cuma...angin..." Lalu angin itu kembali berhenti bertiup. Hingga pantai tampak tenang di bawah matahari siang. Yang menyebabkan segalanya menjadi tampak putih, dan menyilaukan sepasang mata perempuan itu. Ketika beberapa nelayan, yang siang itu memilih tinggal di rumah daripada melaut -- mengarahkan pandangannya ke arah tepi pantai yang terawat baik itu -- mereka pun melihat semacam tiang raksasa berwarna putih menyala, yang secara perlahan bergerak ke salah satu gugusan batu-batu itu, dan kemudian menukik di hilir gugusan batu-batu pembelah ombak itu, menerobos permukaan air. Sementara, telinga mereka menangkap juga suara-suara gelisah yang memanggil sayup di antara desau angin. "Perempuan, perempuan, di mana kau?" tanya angin siang itu di antara kelengangan di tepi pantai itu. Angin itu bersungut-sungut sesaat di antara semak-semak dan batu-batu, lalu mengibaskan sayapnya di atas hamparan pasir putih. Pasir putih kembali beterbangan. Tapi tak ada jawaban dari perempuan itu. Hingga angin itu kemudian merasakan kembali kesendiriannya yang abadi. Dan para nelayan itu pun masih saja menyaksikan, gulungan demi gulungan ombak berde­bur gelisah, setiap kali terbelah di hilir gugusan batu-batu yang menjorok ke laut itu. *** Bekasi Timur, Jan' 1994