Anggukan Sapi Betina Cerpen Ahmadun Yosi Herfanda MULANYA hanyalah seekor sapi betina. Tetapi, lenguhnya yang aneh dan hanya terdengar tiap malam Jumat, membuat orang-orang desa menganggapnya bukan lagi seekor sapi biasa. Anggukan dan goyangan kepalanya pun dipercayai sebagai isyarat atau jawaban atas pertanyaan yang diajukan kepadanya, bahkan kehendak dan tanda-tanda zaman yang tidak dapat dielakkan. “Apakah kau mengerti kata-kataku, hai sapi?” tanya seorang lelaki gemuk berbaju safari, sambil membungkuk di depan sang sapi. Sapi betina itu diam saja. Matanya membelalak, bulat seperti telur mata sapi. Lidahnya yang kemerahan lantas terjulur, meraup rumput hijau yang menumpuk di depannya. “Ah, kau bohong, Pak Mandor. Dia tidak mengerti kata-kataku.” Lelaki gemuk itu protes pada pria tambun di sebelahnya. “Bapak harus memanggilnya ‘Ibunda Sapi’ agar dia mau menjawab pertanyaan Bapak,” ujar sang tambun. “Ibunda Sapi…,” lelaki gemuk dengan pipa cangklong di tangan itu lebih mendekati sang sapi. Suaranya dilembut-lembutkan, ‘’apakah Ibunda setuju saya mencalonkan diri menjadi kepala desa?” Seekor lalat hijau, ketika pertanyaan lelaki gemuk itu meluncur, tiba-tiba mendengung dan hinggap di ujung telinga kanan sang sapi. Dan, demi menolak rasa geli, sapi itu menggeleng-gelengkan kepalanya keras-keras, mengusir lalat itu. “Lihat, dia menggelengkan kepalanya,” teriak lelaki tambun yang dipanggil Pak Mandor itu, gembira. ”Ibunda sapi tidak setuju Bapak mencalonkan diri menjadi kepala desa.” “Ah, saya tidak percaya. Dia menggoyangkan kepalanya karena telinganya gatal. Ada lalat hijau hinggap di situ.” “Tidak. Ibunda Sapi memang mau menggeleng. Cuma kebetulan lalat hijau ada di situ. Kalau tidak percaya coba bapak ulang.” “Ibunda Sapi, apakah Ibunda setuju saya mencalonkan diri menjadi kepala desa?” Tanya lelaki gemuk itu lagi, dengan suara lebih nyaring, mulai kehilangan kelembutan, serak seperti suara mikropon retak. Seekor lalat hijau kembali mendengung dan meluncur masuk ke telinga kanan sang sapi. Dan, spontan sang sapi menggelengkan kepalanya yang tampak besar dan berat seperti kepala dinosaurus, mencoba mengusir sang lalat. Sekali, dua kali, tiga kali, sang lalat pun terloncat kepunggungnya. “Lihat, Ibunda Sapi tidak setuju Bapak mencalonkan diri menjadi kepala desa. Bapak harus percaya. Tidak cuma sekali dia menggeleng, tapi tiga kali, dengan keras sekali.” Lelaki gemuk yang di panggil Pak Carik, lelaki dengan wajah persegi dan rambut lurus lebat seperti rumput Jepang di taman desa itu, kali ini terdiam. Wajahnya memerah, bibirnya mengatup rapat dengan gelembung kemarahan di sekelilingnya, menahan geram. “Sapi gila!” umpatnya tiba-tiba, sambil membalikkan tubuhnya dan melangkah ke pintu kandang. Melihat kegusaran Pak Carik, lelaki tambun mandor kebun tebu yang dipercayai memelihara satu-satunya sisa sapi Banpres itu, ikut menjadi gusar. Dengan langkah ragu-ragu ia mendekati Pak Carik yang tiba-tiba menhentikan langkahnya dan berdiri mematung di pintu kandang sapi. “Sudahlah, Pak Carik. Urungkan saja niat bapak untuk mencalonkan diri menjadi kepala desa. Warga toh masih menginginkan Pak Sarkem tetap mejabatnya untuk periode mendatang. Mereka sudah merasakan keberhasilan Pak Sarkem memimpin desa ini. Ibunda Sapi tau benar keinginan warga.” “Warga yang mana, Pak Mandor? Kau jangan main hantam kromo. Lihat saja, di mana-mana ada letupan. Mereka menginginkan perubahan. Mereka sudah bosan berpuluh tahun dipimpin Pak Sarkem.” Suara Pak Carik mengeras, memekakkan telinga, sekeras teriakan jurkam tanpa mikropon di tengah lapangan. “Pak Carik, hati-hati kalau ngomong! Ingat posisi Bapak. Kalau Pak Sarkem dengar, bisa-bisa Bapak tidak dipakai lagi.” “Pak Mandor juga harus hati-hati. Pak Mandor hanya dititipi Pak Lurah untuk memelihara sapi Banpres itu, memberinya makan, mengawinkannya agar beranak pinak. Bukan untuk dijadikan dukun!” “Siapa yang menjadikannya dukun, Pak Carik? Sapi itu memang mumpuni. Dia dapat membaca apa yang sedang terjadi dan bakal terjadi di desa ini.” “Omong kosong!” “Terserah Bapak, percaya atau tidak!” Lelaki gemuk berwajah persegi itu terdiam. Sekali ia menarik nafas panjang dan dalam, lalu menghembuskannya dengan kuat, seperti menghembuskan semua kegusaran hatinya ke udara sore yang kering dan penuh aroma telethong sapi. Pipa cangklong hitamnya lantas ia isap, sambil menyandarkan punggung ke kusen pintu kandang sapi. Pak Mandor juga terdiam, dan karena tak membawa pipa cangklong, ia lantas menyalakan sebatang rokok kretek. Tiba-tiba seperti ada ide baru yang terlintas di kepala Pak Carik. Buru-buru ia melangkah kembali mendekati sang sapi. Pak Mandor mengungtitnya dari jarak tiga langkah. “Ibunda Sapi,” kata Pak Carik setelah sampai pada jarak satu langkah dari sapi betina itu, “apakah Ibunda setuju kalau Bapak Kepala Desa, Pak Sarkem, diganti?” Lagi-lagi, seekor lalat hijau, dua ekor, tiga ekor, empat ekor, lima ekor, mendengung-dengung di seputar kepala sapi. Seekor hinggap di ujung telinga kanannya, seekor menerobos masuk ke telinga kirinya, tiga ekor merubung luka diatas sudut mata kirinya. Sang sapi pun menggeleng-geleng keras, mengusir lalat-lalat itu. “Lihat! Lihat, Pak Carik! Ibunda sapi mengeleng-geleng keras! Ibunda sapi tidak setuju Pak Sarkem diganti. Ibunda Sapi tahu warga masih menhendaki Pak Sarkem dipilih kembali menjadi kepala desa.” “Jadi, Ibunda Sapi setuju Pak Sarkem dipilih kembali menjadi kepala desa?” Tanpa menghiraukan ocehan Pak Mandor, lelaki gemuk berbaju safari itu bertanya lagi pada sang sapi. Dan, kali ini seekor semut merah menggigit janggut Ibunda Sapi. Maka, demi mengusir rasa gatal, sang sapi pun mengangguk-anggukkan kepalanya sambil menggosok-gosokkan janggutnya yang gemuk ke tumpkan rumput gajah di depannya. “Lihat! Lihat! Dia setuju!” teriak Pak Mandor. “Jadi, Ibunda Sapi setuju masih ada kepala desa seumur hidup di desa kita ini?” Tanya Pak Carik lagi dengan penasaran. Ibunda sapi yang masih merasakan gatal-gatal pada janggutnya, terus mengangguk-anggukkan kepalanya, bahkan disertai lenguhan panjang. “Lihat! Lihat! Ibunda sapi tidak hanya mengangguk. Dia juga melenguh. Dia sangat setuju Pak Sarkem menjadi kepala desa seumur hidup!” teriak Pak Mandor gembira, seperti orang yang baru saja menang taruhan sepak bola. “Edan!” umpat Pak Carik sambil ngeloyor pergi, meninggalkan kandang sapi. *** KEESOKAN harinya – tak jelas apa yang terjadi dalam semalam, seolah sistem penyebaran informasi telah sedemikian canggih dan cepat – desa itu geger. Tersiar berita penting: Ibunda Sapi menghendaki agar Pak Sarkem dipilih kembali menjadi kepala desa. “Benar! Kata Pak Mandor, sapi itu mengangguk ketika Pak Carik bertanya apakah ia setuju Pak Sarkem dipilih kembali menjadi kepala desa.” “Jika begitu, pemilihan kepala desa yang akan kita adakan bulan depan percuma saja! Toh hasilnya sudah kita ketahui, yang terpilih akhirnya Pak Sarkem juga.” “Tetap perlu! Siapa tahu banyak warga desa yang memilih calon lain.” “Ah, mana berani mereka melawan kehendak Ibunda Sapi.” “Saya yakin banyak yang berani. Mereka menginginkan perubahan. Lihat saja, kerusuhan meletup di mana-mana. Mereka bosan pada kemapanan seperti ini.” “Kalau ternyata Pak Sarkem juga yang terpilih?” “Itu tak masalah. Berarti warga masih ingin mematuhi kehendak Ibunda Sapi. Yang penting demokrasi tetap jalan.” “Demokrasi macam apa? Demokrasi sapi betina?” “Jangan begitu! Kamu bisa kualat sama Ibunda Sapi!” Debat politik ala warung tegal itu tak hanya terjadi di warung kopi, tapi juga di serambi masjid dan gereja, di atas andong, di pematang sawah, di kantin balai desa dan di teras rumah ibu-ibu PKK. Banyak yang mendukung kehendak Ibunda Sapi. Tapi, tak kurang yang tidak setuju dan menganggap itu sebagai syirik dan cermin kebodohan. Mereka menganggap bukan saatnya lagi percaya pada anggukan seekor sapi betina. Mereka menginginkan ada perubahan. Mereka menginginkan Pak Sarkem diganti. Dan, inilah yang meresahkan para Hansip, Wankamra, Satpam dan hampir semua perangkat desa. Mereka menganggap stabilitas politik dan keamanan desa sedang terancam. “Kita harus melakukan gerakan politik untuk melawan ancaman-ancaman itu. Wibawa Ibunda Sapi harus ditegakkan kembali,” kata Kabag Kesra, tokoh yang ditugasi Pak Sarkem untuk memenangkan pemilihannya, dalam sebuah rapat istimewa di balai desa. “Jika begitu, kita buat kebulatan tekad saja,” usul Pak Mandor. “Kebulatan tekad macam apa?” “Kebulatan tekad untuk menegakkan kembali kehendak Ibunda Sapi dan memilih kembali Pak Sarkem menjadi kepala desa.” “Ah, itu sudah kuno, hanya akan menjadi bahan tertawaan warga.” “Atau doa politik saja?” “Itu juga sudah banyak dilakukan orang. Kurang orisinal.” “Lantas apa?” “Kita buat gerakan untuk mempopulerkan kembali Pak Sarkem. Kita pasang foto kepala desa pada tiap rumah warga dan tiap sudut kampung.” “Lalu, bagaimana dengan Ibunda Sapi?” “Ya, foto Ibunda Sapi juga perlu kita pasang.” “Bagaimana kalau kita sebarkan foto Pak Sarkem sedang menunggang Ibunda Sapi?” “Jangan. Itu bisa berbahaya, bisa dianggap menghina Ibunda Sapi. Bisa-bisa warga tidak mau memilih Pak Sarkem lagi.” “Bagaimana kalau foto Pak Sarkem sedang mencium Ibunda Sapi?” “Itu ide bagus. Itu simbol kemesraan hubungan antara Pak Sarkem dan Ibunda Sapi. Saya setuju!” Maka, pada keesokan harinya, menyebarlah ribuan foto Pak Sarkem sedang mencium pipi sapi betina itu. Pada tiap dinding rumah, sudut kampung, serambi masjid dan gereja, pintu kelenteng dan pura, ruang-ruang sekolah, kantor-kantor lembaga pemerintah desa, warung Tegal, warung Padang, warung sate Madura, warung bakso, kios rokok dan koran, kaos anak-anak dan remaja, terpampang gambar kepala Ibunda Sapi dicium Pak Sarkem. “Jangan pasang foto selain foto Pak Sarkem dan Ibunda Sapi!” demikian instruksi Wakil Kepala Desa melalui pidato-pidato, radio-radio dan stasiun televisi lokal. Bahkan, iklan-iklan bikini pun harus memakai model Ibunda Sapi. Sehingga, pada hari berikutnya, di sebelah kanan pintu gerbang masuk desa, terpampang baliho raksasa: sapi betina sedang berdiri mengenakan bikini model terbaru, menggantikan baliho bergambar Tamara Blezinsky yang sedang mengiklankan pakaian dalam bikinan Prancis. *** HARI pemilihan kepala desa akhirnya tiba juga. Tempat pencoblosan dibangun di halaman balai desa dengan latar belakang spanduk raksasa bergambar Pak Sarkem mencium pipi Ibunda Sapi. Memang ada gambar dua calon lain, Pak Mantri Suntik dan Mantri Kali, tapi dipasang kecil saja di pojok kanan dan kiri spanduk. Semua warga tahu, keduanya hanya calon pelengkap saja, agar pemilihan bisa berjalan sesuai undang-undang. “Saya memutuskan untuk mencalonkan diri sebagai wakil kepala desa saja. Saya mendukung Pak Sarkem terpilih kembali menjadi kepala desa. Ini sesuai dengan kehendak dan restu Ibunda Sapi,” kata Pak Mantri Suntik pada kampanye dialogisnya melalui televisi lokal, sehari sebelumnya. “Saya sependapat dengan Pak Mantri Suntik. Melihat pengalaman dan kesuksesan Pak Sarkem memimpin desa ini, beliau paling pantas dipilih kembali menjadi kepala desa,” timpal Pak Mantri Kali pada acara yang sama. Waktu pun terus merambat. Detik berganti menit, menit berganti jam, jam berganti hari. Semua aparat desa, sebagai panitia pemilihan, sudah berkumpul di halaman balai desa. Para Hansip, Wankamra dan Satpam, pun bergentayangan disekeliling balai desa, siap mengamankan pemilihan, dengan pentung dan senapan otomatis di tangan. Telepon genggam, walki talki, tabung gas air mata, bergelantungan pada ikat pinggang mereka. Motor-motor trail, jip militer, dan panser, disiagakan di tempat-tempat strategis. Tetapi, sampai pukul 12 siang tak seorang warga pun datang mencoblos. Pengeras suara terus berteriak-teriak agar para warga segera datang. “Bapak-bapak, ibu-ibu, harap segera datang ke tempat pencoblosan. Kita semua wajib menyukseskan pemilihan. Ini demi demokrasi dan masa depan desa kita!” Namun, hanya angin siang yang menerobos masuk ke bilik pencoblosan dan menghempas-hempaskan kordennya. Daun-daun kering yang dirontokkan angin ikut menyerbu halaman balai desa. Yang terjadi selanjutnya adalah kegelisahan yang aneh. Pak Sarkem, yang bertubuh gemuk dan ubanan, gelisah di kursi busanya, sambil mengetuk-ngetukkan sol sepatunya ke lantai marmer dengan irama yang tidak teratur. Para aparat desa, dengan seragam safari abu-abunya, mondar-mandir di halaman balai desa, sambil matanya jelalatan keluar pagar, mengharap-harap ada warga yang datang ke tempat pencoblosan. Hansip, Wankamra dan Satpam, pun mondar-mandir di luar, sambil sesekali menendang-nendang batu atau kaleng minuman yang ditemuinya. Ketika kegelisahan mereka sampai ke puncaknya, di kejauhanan, di ujung jalan masuk ke balai desa, tampak seorang lelaki berpeci dan bertongkat tertatih-tatih mendekati tempat pencoblosan. “Lihat! Warga mulai datang!” teriak Pak Mandor gembira. “Ya, warga mulai datang!” teriak yang lain, seolah terbebas dari himpitan kegelisahannya. “Benar, kan! Mereka memang lebih suka mencoblos pada sore hari, jalanan tidak panas.” Lelaki bertongkat itu, yang ternyata seorang buta, pun memasuki halaman balai desa, sambil meraba-raba jalan dengan tongkatnya. “Bapak mau mencoblos?” sambut Komandan Hansip bersemangat. “Ya ya ya,” jawab lelaki bertongkat itu sambil mengangguk-angguk mantap. ‘’Tapi saya buta. Saya tidak tahu mana gambar yang saya sukai .” “Bapak suka apa? Gambar petai, jengkol, atau kerupuk?” “Wah, kalau makan saya suka lalap jengkol.” “Nah, tusuk saja gambar jengkol.” “Di mana nusuknya.” “Mana kartu kuningnya, biar saya bantu.” Selesai menusuk, lelaki buta itu pun pergi. Halaman balai desa kembali lengang dengan bilik pencoblosan dan kotak suara yang kosong melompong. Kegelisahan kembali menerkam mereka. Aparat desa mulai mondar-mandir dengan mata jelalatan keluar pagar, panitia pendaftar mulai menggebrak-gebrakkan tangannya ke meja dengan irama aneh, para Hansip dan Wankamra menendang-nendang kaleng kosong sesukanya. Suara ketukan sol sepatu Pak Sarkem dari dalam balai desa pun semakin keras saja. Semuanya, tanpa sengaja, menciptakan konser kegelisahan yang aneh di halaman balai desa. “Hai, kalian kenapa? Kalau sudah tak ada yang mencoblos, dihitung saja suaranya! Jangan malah bengong!” teriak Pak Sarkem yang tiba-tiba muncul di pintu balai desa. “Bagaimana akan dihitung, Pak. Hanya satu!” “Hanya satu? Jadi, yang mendapat suara hanya satu calon? Itu bagus. Menang mutlak namanya!” “Hanya satu orang? Orang buta?!” Mata Pak Sarkem kini terbelalak. “Pada kemana warga yang lain, ha?” “Tidak tahu, Pak! Tidak ada yang datang!” “Wah, ini namanya pemogokan politik. Ini melawan prinsip-prinsip demokrasi. Pasti ada aktor intelektualnya. Masa depan desa kita bisa gawat!” ‘’Lalu, bagaimana enaknya, Pak?” “Bagaimana bagaimana! Kalian goblok semua! Paksa mereka ke sini. Kita tegakkan kembali demokrasi! Goblok!” Kemarahan Pak Sarkem tiba-tiba memuncak. Ia melangkah cepat ke arah Pak Mandor dan merebut mikropon dari tangannya. “Hai para Hansip, para Wankamra, para Satpam, paksa warga datang ke sini! Ayo, cepaaat!!! Ini perintah!” Demi mendengar perintah Bapak Kepala Desa, para Hansip, Wankamra dan Satpam, berhamburan ke seluruh penjuru desa. Mereka menggedor tiap pintu rumah dan memaksa warga untuk datang ke balai desa. Bersamaan dengan itu, pengeras suara di halaman balai desa pun berteriak-teriak keras, “Bapak-bapak! Ibu-ibu, harap segera kumpul! Kumpul! Kumpuuul!’’ Kentongan-kentongan di masjid, di musala, di pos ronda, pun dibunyikan ramai-ramai. “Tong! Tong! Tong! Kumpul! Kumpuul! Tong! Tong! Tong! Kumpuuul!” Desa pun riuh irama musik kentongan. Burung-burung beterbangan ketakutan. Ayam-ayam berkokok-kokok berlarian. Kucing-kucing berloncatan masuk kolong. Kambing-kambing mengembik lepas dari kandang. Dan, hanya dalam waktu beberapa menit, ratusan warga desa sudah berkumpul di halaman balai desa. “Bapak-bapak, ibu-ibu, kalian semua kenapa?!” Suara Pak Sarkem menggelegar lewat pengeras suara. Tak ada yang menjawab. Ratusan warga hanya berdiri mematung. “Bukankah hari ini hari pencoblosan! Kenapa kalian tidak pada datang? Kalian semua mogok ya?! Jangan begitu! Itu namanya merusak jalannya pemilihan! Merusak demokrasi!” “Bukan begitu, Pak Kepala Desa,” seorang warga, yang berdiri paling depan, memberanikan diri untuk berbicara. “Kami semua hanya memenuhi kehendak Ibunda Sapi!” “Kehendak Ibunda Sapi?! Kehendak bagaimana?!’’ “Ibunda Sapi menghendaki kami tidak datang ke tempat pencoblosan. Ibunda Sapi menganggap pencoblosan tidak penting lagi, karena yang terpilih toh pasti Pak Sarkem juga!” “Pak Mandor, bawa Ibunda Sapi kemari. Kita lihat apa memang benar Ibunda Sapi berkehendak begitu.” Demi mendengar perintah Pak Sarkem dan kegawatan situasi, lelaki tambun mandor kebun tebu itu langsung menerobos kerumunan warga dan berlari menuju kandang sapinya. Semuanya menunggu dengan tegang. Baliho pesan sponsor bergambar Ibunda Sapi dengan pakaian bikini buatan Prancis di belakang bilik pencoblosan bergoyang-goyang keras ditiup angin sore. Tak seberapa lama, Pak Mandor kembali menerobos kerumunan warga, sambil menuntun sapi betina, masuk ke halaman balai desa. “Bawa Ibunda Sapi ke tengah!” teriak Pak Sarkem. Ratusan warga langsung menyerbu, mengelilingi Ibunda Sapi. “Yang depan jongkok agar yang belakang dapat melihat!” Pak Sarkem memelopori jongkok di belakang sapi betina itu. Pak Mandor, Pak Carik, Pak Mantri Kali, Pak Mantri Suntik, para ketua RT dan RW, megikutinya. Mereka berjongkok di sekeliling Ibunda Sapi. “Ibunda Sapi yang mulia, apakah ibunda tidak merestui pemilihan kepala desa ini?” Pak Mandor berinisiatif memulai pertanyaan kepada sapi betina itu. Sapi itu diam saja. Tampangnya yang tua malah tampak bengong. “Apakah Ibunda Sapi tidak menghendaki warga desa melakukan pencoblosan?” pertanyaan Pak Sarkem menyusul dari belakang pantat sapi. Sang sapi tetap diam. Hanya ekornya yang digoyang-goyangkan ke kanan dan ke kiri. “Menjawablah! Jangan marah kepada kami. Warga membutuhkan anggukan atau gelengan Ibunda Sapi.” Pak Mandor mencoba merayu sambil mengelus-eluskan tangan kanannya ke jidat sang sapi. Sapi betina itu hanya membisu. Dan, tak ada yang tahu, perut sang sapi sedang kurang beres. Suara gemerucuk berputar-putar memenuhi usus besar dan usus dua belas jarinya. Namun, tak ada yang mendengarnya. Maka, ketika orang-orang berada pada puncak ketidaksabaran menunggu anggukan sang sapi, meletuslah dubur sapi itu, melemparkan angin bercampur cairan telethong, persis menimpa wajah dan baju Pak Sarkem. Tentu saja, Bapak Kepala Desa sangat terkejut mendapat hadiah yang di luar dugaannya itu. Dengan wajah memerah dan belepotan telethong, ia pun berdiri, dan … “Kurang ajar! Sapi Gila! Sapi gendeng!” umpatnya sambil menendang pantat sapi itu dengan sepatu hitamnya yang terbuat dari kulit sapi. Mendapat tendangan keras bertubi-tubi, Ibunda Sapi tidak kalah terkejutnya. Dengan setengah melompat sapi itu berlari tunggang langgang, menabrak kerumunan orang-orang di depannya. Sepuluh orang terinjak dada dan kepalanya. Lima orang terpental keluar, terseruduk kepala sapi. “Tangkap dia!!! Cincang sapi gendeng itu !!!” teriak Pak Sarkem. Kerumunan pun bubar seketika. Para Hansip, Wankamra, Satpam, Kepala Desa, Pak Carik, Pak Mandor, Pak Mantri Suntik, Pak Mantri Kali, seluruh aparat desa pun berlari memburu sapi betina itu. “Kita sate saja!” teriak seseorang. “Kita bikin soto,” teriak yang lain. “Kita bikin dendeng dagingnya!” “Kita bikin sop buntut!” Dan, sapi itu berlari dan terus berlari, diburu ratusan warga desa…. Tangerang, Juni 1997