watch sexy videos at nza-vids!

There He Goes
Chap I
“Masuk!” Vanka berteriak mengejutkanku.
“Waaahh!!” dengan terkejut aku ikut bangkit berdiri dan memutar rumbai rafia di tanganku. Di tengah lapangan terlihat lima orang pemuda yang saling berpelukan satu sama lainnya, sementara lima pemuda lain dengan kepala menunduk dan menyeka peluh beringsut malas kembali ke posisi masing-masing.
Di sana ada Lucas.
“Keren, Dee!” Vanka menyenggol lenganku dengan sikutnya. Kurasakan wajahku memerah. Memang hanya Vanka yang tahu kalau aku menyukai Lucas sejak pertama kali menginjakkan kaki di sekolah ini.
Lucas, cowok kelas 3 IPS 2, 178 cm dengan poni yang mencapai dagu, salah seorang kaum selebritis yang menghuni sekolah. Atletis, dari keluarga berada, bandel tapi menawan dengan alis tebal dan mata yang tajam. Tak heran semua gadis di sekolah mendambakannya. Termasuk aku? Tentu saja.

Kulihat Lucas berhasil merebut bola dan berlari menuju daerah lawan.
“Sciss!!” kudengar Lucas berteriak dan dua orang anak kelas tiga lainnya berlari ke kanan dan ke kiri. Lucas mengumpan dan berlari menyusup ke balik defender lawan. Bola di-passing dua kali menyilang, melewati tamparan pemain lawan.
“Lucas!” Pemain terakhir yang membawa bola berseru dan melemparkan bola pada Lucas yang entah sejak kapan sudah berdiri di bawah ring. Kulihat Lucas meleletkan lidahnya, membungkuk dan melompat lembut ke belakang seraya melemparkan bola melambung melewati jangkauan para pemain lawan. Riuh sorak sorai terdengar saat bola memasuki ring. Aku, Vanka, dan gadis-gadis rok mini di sebelah kami bersama-sama berdiri dan berteriak histeris.
Lucas, sungguh mempesona.
“Thanks,” Lucas tersenyum dan meraih botol plastik yang kusodorkan.
“Mainmu bagus,” ucapku tanpa berani memandang wajahnya. Kucoba menyibukkan diri dengan membereskan kaus pemain ke dalam tas kain kotor. Bukan pekerjaan yang menyenangkan, tapi dengan begini aku bisa masuk ke dalam kamar ganti pria. Dan tentu saja bertemu Lucas.
“Ayo, Luke,” segerombolan pemuda datang dan menghampiri Lucas. Kulihat dari sudut mataku, mereka bersama-sama melakukan toast, seperti yang mereka lakukan setelah terompet pertandingan berakhir dibunyikan tadi, lalu tertawa-tawa dan saling memuji sebelum akhirnya berlalu.
Ah, betapa bodohnya aku.
Bahkan Lucas tidak memandangku.
Kubereskan sisa baju yang masih berserakan di atas bangku. Sejenak merasa menyesal mengapa aku menggantikan kerjaan Indri. Yang pasti sekarang gadis itu pasti sudah ikut bersenda gurau di luar.
Mendadak tanganku menyentuh kaus merah bernomor dua puluh dua itu. Kupejamkan mataku dan mendekatkan kaus itu ke hidungku. Aroma Lucas. Bau keringatnya. Bau laki-laki yang kusuka.
“Hey anak gila!” menadadak kudengar suara Vanka di arah pintu keluar. Dengan wajah panas kumasukkan kaus itu ke dalam tas cepat-cepat. Tapi Vanka sudah mendekat dan mencubit pipiku, “Dasar. Tadi si Indri bilang kalau kamu mau menggantikan tugasnya dia. Ternyata hanya untuk menciumi baju cowok.”
“Ngga kok,” tukasku membela diri. Tapi mana mungkin rona di wajahku bisa menipu sahabat terbaikku. Vanka tertawa dan membantuku memasukkan sisa baju kotor.
“Ayo keluar, Dee. Nanti Lucas keburu pulang. Kan sayang hadiahnya kalau ngga jadi dikasih.”
Hadiah?
Astaga, benar juga. Ternyata untuk itu aku menggantikan tugas Indri tadi. Mungkin karena terlalu terpesona aku sampai lupa tujuanku semula. Perlahan kuraba kotak kecil yang terselip di balik pinggangku. Masih ada.
Vanka menyeretku keluar.
“Jangan cepat-cepat,” ucapku dengan jantung mulai berdebar.
Di luar gedung olahraga, tampak beberapa orang pemuda sedang melakukan foto bersama sambil mengangkat piala di atas kepala mereka. Di sana ada Lucas, berdiri paling depan. Keren sekali.
“Ayo ikutan foto,” seru Vanka padaku, dan sebelum aku sempat berdalih, Vanka sudah menyeretku mendekati kerumunan anak itu.
“Hey, cheerlie ikutan foto dong,” seru Vanka dengan nada genit pada kerumunan pemuda itu. “Sini, Non!” salah seorang dari mereka mengulurkan tangan dan merangkul bahu Vanka. Vanka hanya tertawa. Genit benar, tapi bagiku malah terlihat lucu. Vanka memang begitu anaknya. Like to tease guys.
“Kamu di sini saja,” Vanka meraih lenganku dan jantungku berdegup kencang saat bahu kiriku menyentuh lengan Lucas.
“Auch,” desisku dan memandang protes pada Vanka yang mengedipkan matanya.
“Sori,” kudengar Lucas berkata sambil memandangku.
Sori? Waaaaaahhhh!!
“Aku yang sori,” ucapku terbata-bata. Masih aku tak berani menatap wajahnya.
“Tiga!!”
Sebuah kilatan cahaya menarik perhatianku.
Astaga. Kan aku belum siap-siap.
Kudengar Lucas berseru memprotes.
“Ayo Dee! Now or never!” Vanka membisiki saat kerumunan pemuda itu bubar. Kulihat Lucas sudah menghampiri genio hitamnya yang terpakir di pinggir jalan. “AYO!!” Vanka meraih tas di tanganku dan mendorong tubuhku.
“Vanka!” desisku sebal. Tapi Vanka hanya mengedipkan matanya dan berlalu menuju tempat panitia.
Now or never.
Kuberanikan diriku dengan sekali lagi menghela nafas panjang-panjang.
“Luke,” sapaku. Ya, ampun. Kok jadi bergetar begitu.
Lucas membalik tubuhnya dan menatapkku dengan pandangan bertanya-tanya. Kuulurkan tanganku ke belakang, meraih kotak kecil di selipan bajuku dan menyodorkannya dengan kepala tertunduk.
“Selamat Valentine,” desisku memejamkan mata. Rasanya ingin menangis saat itu juga.
“Hey, thanks.” Kudengar Lucas tertawa kecil dan meraih kotak di tanganku. Sudah! Dengan menutupi wajahku yang panas kubalikkan tubuh dan berlari secepat mungkin menuju ke arah Vanka. Masih kudengar Lucas tertawa di belakangku. Dan kini ia akan menganggapku gadis aneh. Setelah memberi hadiah, lalu lari.
“Bodoh!” ucap Vanka seraya mengangkat kepalaku dan mencubit hidungku.
“Kan aku malu,” isakku sejujur-jujurnya. Vanka tertawa lalu mengusapkan tissue ke wajahku, “Kamu memang merepotkan.”
“Sori ya, Vanka.”
Lagi-lagi Vanka tertawa.
Aku jadi ikutan tertawa sambil menangis.
Chap II
Pagi itu aku sama sekali tidak bisa menkonsentrasikan diriku untuk mengikuti pelajaran. Bagaimana mungkin? Bahkan lututku saja masih merasakan getaran ketakutan bercampur rasa malu akibat kejadian kemarin.
“Siapa yang bisa menunjukkan letak selaput menings? Dita?”
“Dee,” Vanka menyenggol sikutku dangan bahunya.
“Hah?”
Terlambat. Bu Ester sudah mendekati bangku kami dan membungkukkan tubuhnya lalu menatap mataku dalam-dalam. “Kamu sakit?”
“Iya, Bu. Dita sakit sejak tadi pagi,” sahut Vanka seraya menginjak kakiku di bawah meja. Dengan wajah menahan sakit kuanggukkan kepalaku.
“Oh, kalau begitu kamu ijin pulang saja.”
“Ngga usah, Bu. Saya ngga apa-apa kok.”
Bu Ester meletakkan punggung tangannya di dahiku, “Kamu panas. Pulang saja, gih. Saya kasih surat ke tata usaha.”
Panas? Yang benar saja? Vanka juga menatapku dangan pandangan bertanya-tanya.
“Dita sakit? Kok tidak biasanya?” tanya penjaga tata usaha itu padaku seraya menyerahkan selembar surat ijin. Maklumlah, aku bukan tipe anak yang suka sakit-sakitan. Setelah mengucapkan terima kasih kulangkahkan kakiku menuju gerbang sekolah. Saat itu baru aku merasa sedikit pusing. Mungkin aku benar-benar sedang sakit. Mungkin aku benar-benar panas saat melihat tiga orang pemuda yang sedang tertawa-tawa di depan kantin. Lucas. Ya ampun. Apakah dia memandangku?
Kucepatan langkahku seraya tetap menundukan kepala.
“Cewek,” seseorang menyapaku dari belakang.
Lucas?
Kutolehkan kepalaku dan melihat seorang anak kelas tiga berdiri di belakangku.
“Eh?” tanyaku sedikit kecewa karena itu bukan Lucas.
“Hai,” ucap pemuda itu seraya mengulurkan tangan, “gua Guy.”
Dengan alis berkerenyit kutatap uluran tangan itu. Aku sering mendengar dari teman-teman sesama kelas dua, bahwa anak kelas tiga IPS suka `mencegat’ cewek kelas dua di depan kantin, apalagi jika mereka sedang tidak ada pelajaran. Tapi aku baru mengalaminya kali ini. Apa yang harus kulakukan?
“Loh, kok sombong?” tawa pemuda yang mengaku bernama Guy itu lalu meraih tanganku dan menjabat paksa, “Kenalan.”
“Ih,” desisku dan melepaskan tanganku dari genggamannya.
Sekarang kepalaku benar-benar pusing. Semua anak kelas tiga ini selalu merasa dirinya paling hebat dan tak ada yang berani melawan mereka termasuk guru-guru. Menyebalkan dengan semua adegan pemaksaan ini. Kubalik tubuhku tanpa komentar. Daripada aku roboh saking pusing dan muaknya, lebih baik aku berlalu.
“Hey, ada adik kelas sombong, nih!” kudengar pemuda bernama Guy itu berseru pada sahabat-sahabatnya di kantin. Kudengar suara langkah-langkah kaki mendekat. Aduh, untuk kembali ke ruang guru aku harus berbalik. Di depanku ada gerbang dan di sana ada penjaga sekolah. Mungkin sebaiknya aku lari.
“Hey, ini kan gebetan gua yang baru,” mendadak seseorang merangkul pundakku dan tertawa di samping telingaku. Mungkin aku sudah meronta sekuat tenaga seandainya tidak terdengar bisikan di telingaku, “Sshhhh, jangan bergerak.”
“Yeh, Luke. Semuanya deh gebetan elo.”
Luke? Lucas?
Kudengar pemuda yang merangkulku tertawa, “Sori, Guy.”
Ya Tuhan, aku tak berani bergerak se-inci-pun. Menoleh, apalagi.
Lengan yang melingkar di pundakku menekan dan memaksaku melangkah. Seperti dihipnotis aku menurut saja. Ini Lucas! Lucas!! Oh my God! Lengan itu mengantarku sampai ke luar gerbang lalu melepaskan pundakku.
“Let’s see,” kudengar pemuda itu berkata, “hey, jangan nunduk terus.”
Berdebar kuangkat kepalaku. Kulihat pemuda yang ternyata memang Lucas itu tersenyum-senyum menatapku. Ingin rasanya melompat kegirangan, tapi sebaliknya kakiku malah terasa semakin lemas.
“Thanks cokelat kemarin,” kudengar pemuda itu berkata.
“I…iya,” ucapku gemetaran. Apa yang kulakukan? Pasti aku terlihat bodoh di hadapannya. Aduh, aduh! Tapi Lucas malah tertawa.
“Ya sudah kalau begitu. Take care.” Lalu pemuda itu membalikkan tubuhnya. Hanya itu? Dee! Alangkah penakutnya! Dan aku masih tidak bisa ber-inovasi. Hanya melihat Lucas melangkah dan menghilang di balik gerbang. Ingin aku menangis lagi saat itu juga.
“Hey!”
“Hah?” Kuangkat kepalaku dan melihat Lucas menjulurkan kepalanya dari balik gerbang.
“Dit, lain kali kalau bikin cokelat pakai cetakan saja.”
Dita? Dia memanggil namaku? Dia mengingat nama yang kutorehkan di atas cokelat berbentuk hati itu? Waaaahhh….tunggu apa lagi, Dee? Tapi Lucas sudah menghilang. Bahkan aku belum sempat bereaksi apapun.
Dan tinggallah aku sendiri di trotoar menunggu jemputan, menyesali kebodohan dan kepengecutanku. Seandainya saja aku lebih berani saat itu.
Chap III
“Aduh, Dee! Bodohnya kamu!”
“Uwaaa! Jangan begitu dong. Aku kan malu!”
“Lagi-lagi malu, lagi-lagi malu,” Vanka mengomel panjang lebar seraya memasukkan potongan biskuit ke dalam mulutnya. “Kalau jadi orang itu yang berani. Kala kamu nggak pernah mencoba untuk berani, paling tidak sekali, kamu ngga bakalan dapat apa-apa.”
“Tapi aku kan……”
“Malu?” potong Vanka, “Ya namanya cewek ya pasti pemalu kalo ngga malu-maluin. Tapi cobalah, paling tidak ngajak ngobrol begitu. Dan gua ingatin, sebaiknya elo move fast, soalnya gua denger-denger nih dari teman-teman kalau si Lucas sudah pingin nyari cewek lagi. Tau kan? Dia kan sudah enam bulan putus dari si Vera yang anaknya toko karoseri itu.”
Nyari cewek lagi?
“Aduh, yang cewek-cewek kalo lagi ngegosip serunya,” mendadak sebuah kepala terjulur dari balik pintu. Dengan sebal kulempar bantal yang ada dalam pelukanku ke arah kakak laki-lakiku. “Lo nguping tempat lain aja, Lex!”
Alex malah membuka pintu dan melangkah masuk. “Katanya sakit, makanya gua bela-belain bolos kuliah. Eh, kok malah ngusir.”
Alex menjulurkan lengannya dan mengacak-acak rambutku.
“Alex!” teriakku sebal. Kakakku yang satu itu memang iseng.
“Lex, jalan yuk?” mendadak Vanka berkata dari sebelah. Alex menoleh dan tersenyum. “Lha kamu pikir aku pulang cuma gara-gara anak manja ini?”
Vanka bertepuk girang, sementara aku memandang sebal lalu meletakkan kepalaku di pinggir tempat tidur.
“Kamu ikut, Dee?” tanya Alex di depan pintu.
“Dee lagi sakit. Kita beduaan aja, deh,” Vanka menyeletuk sebelum aku sempat menjawab. Alex terkekeh, melambai dan menutup pintu.
“Vanka! Jangan macam-macam!” teriakku sebelum tersenyum-senyum sendiri melihat kelakuan sahabatku yang sok kenal sok dekat pada semua cowok itu. Kuraih bantal di kaki tempat tidur dan memeluknya di dadaku.
Lucas, desahku dalam hati.
Aku jadi ingin membuat cokelat lagi.
Kali ini pakai cetakan.
Chap IV
“Untung bukan demam berdarah, hanya panas biasa, “Mama membelai keningku dan tersenyum.
“Kapan Dee boleh masuk sekolah lagi, Ma?”
“Mungkin besok,” jawab Mama lalu menyodorkan piring nasi ke pangkuanku, “makan dulu. Atau mau Mama suapin?”
“Suapin,” jawabku dengan nada manja. Mama tertawa kecil lalu mulai menyendok suap demi suap ke mulutku. Sejujurnya, aku paling suka bila Mama menyuapiku, mengingatkanku pada masa kecil yang indah, dan mengingatkan betapa besar kasih sayangnya padaku.
“Nah, loh anak manja!” mendadak Vanka `nongol’ dari balik pintu.
“Aduh, Vanka. Ketuk pintu dong lain kali,” Mama menegur sambil tersenyum.
“Iya deh, Tan. Maaf,” senyum Vanka dengan wajah tak berdosa. Mama mengangkat tubuhnya dari sisiku dan memberikan piring nasi pada Vanka, “Sebagai hukuman kamu yang nyuapin Dee, soalnya Tante mau kembali ke kantor. Masih banyak urusan.”
“Yah, Tante?”
“Yah, Mama?”
Setelah Mama menutup pintu Vanka menghampiriku dan mendudukkan dirinya di pinggir tempat tidur, lalu mulai menyuapan nasi di piring ke dirinya sendiri.
“Laper, yeh?” tanyaku sambil tertawa. Vanka mengangguk-anggukkan kepalanya dan menggumam, “Inyah.”
“Jadi gimana?” tanyaku ingin tahu.
“Mmh,” Vanka langsung meletakkan piring nasi di atas meja rias dan berusaha cepat-cepat menelan makanan yang masih dikunyahnya, “gempar.. mmm.. geger.”
“Gempar gimana? Geger gimana?” tanyaku was-was.
“Nih, ada oleh-oleh buat kamu dari sekoah,” Vanka merogoh tasnya dan mengeluarkan sebuah amplop berukuran kartu pos. Dengan tergesa-gesa kubuka amplop itu dan meraih keluar selembar foto.
“Waaaa,” wajahku langsung memanas melihat foto itu.
Di dalam foto itu tampak beberapa anak yang berdiri berjejer, semuanya menatap dan tersenyum ke arah kamera. Semua. Kecuali aku dan Lucas yang saling pandang satu sama lain.
“Itu gosip satu,” Vanka meraih gelas di atas meja dan meminum setengah isinya.
“Satu?” tanyaku penasaran.
“Yang kedua,” Vanka menghela nafasnya lega, “tadi aku ngasi’in cokelat kamu waktu jam istirahat di kantin. Dan semuanya langsung `gerrrr’. Alias geger.”
Aku tak mampu berkata apa-apa. Hanya membelalakkan mata.
“Iya,” Vanka meneruskan ceritanya sambil tersenyum-senyum. “Bahkan ada yang langsung menuduh kalau Lucas sudah punya pacar baru. Bayangkan!”
“Vankaaaaaaaa!!! Tega nian kamuuu!!”
Kuraih leher sahabatku dan menggulungnya di atas tempat tidur.
“Huff.. hufff..” Vanka berusaha melepaskan dirinya. “kalo ngga kamu lepaskan aku ngga ngasih tahu apa komentar Lucas!”
Aku langsung melepaskannya. Apa? Apa?”
“Tenang, tenang,” Vanka langsung mengambil sikap di atas angin.
“Ayo dong, Vanka!” pintaku tak sabar.
“Dia bilang…” Vanka menarik nafasnya panjang, membuatku semakin penasaran, “dia bilang…. ‘akhirnya ketahuan juga’.”
Nafasku tercekat di tenggorokan. “Yang benar?”
“Benar, seratus persen benar,” Vanka melirikku sambil tersenyum.
“Waaaaaaaaaaa!!!!!” aku dan Vanka langsung bersamaan berteriak hisetris.
Bagaimana aku bisa menemuinya besok?
Apa maksud kata-katanya itu?
Apakah….
Chap V
“Kamu yakin ngga apa-apa?” tanya Alex di depan sekolah. Kuanggukkan kepalaku dan Alex berkata lagi, “Nanti kalau ada apa-apa kamu telepon ke rumah saja, biar si Oto yang jemput. Atau kamu telepon hape-ku, kalau aku tidak kuliah nanti aku yang jemput.”
“Iya, aku tahu.”
“Dan salam peluk cium muah muah buat Vanka.”
“Apa?”
Alex hanya tertawa lalu melajukan mobilnya.
Dasar, umpatku dalam hati lalu berbalik.
Baru saja sampai di pintu gerbang, seseorang menarik tali tas yang tergantung di bahuku. “Biar aku yang bawakan.”
Jantungku berdebar tak karuan. Astaga, ini….ini….
Tapi pemuda itu sudah melepaskan tasku dari bahu dan menentengnya sambil melangkah menuju ke daerah kelas dua.
Apa yang harus kulakukan? Apa yang harus kulakukan?
Lucas menghentikan langkah dan membalik tubuhnya. “Ayo.”
Lucas….??
Semua anak kelas dua memandangi kami dengan pandangan yang aneh. Kutundukkan kepalaku dan mengikuti punggung Lucas yang berjalan di depanku. Aku merasa begitu tak berdaya saat itu.
Nyaris saja kutabrak punggung pemuda itu saat mendadak Lucas menghentikan langkahnya. “Nih,” Lucas mengalungkan tali tas di leherku sambil tersenyum. Wajahku pasti merah sekali saat itu.
“Thanks,” desisku lirih.
“Aku antar kamu pulang?”
Apa? Antar pulang? Ya! YA!!
Kuanggukkan kepalaku.
“Senyum dong.”
Kuangkat kepalaku dan tersenyum. Persis robot.
Lucas tertawa dan berlalu.
“Yang jatuh cintaaaaa!!” Mendadak Vanka dan anak-anak sekelas bersorak sorai dari dalam ruangan. Kurasakan wajahku memanas. Panas sekali. Jadi seharian itu semua anak, dikomandani oleh Vanka, menggodaku habis-habisan. Aku sama sekali tidak berani keluar kelas, malu kalau bertemu dengan Lucas. Apakah Lucas begitu juga di kelasnya?
Chap VI
Angin dingin menerpa sisi wajahku. Kulihat dari sudut mataku pepohonan dan kendaraan-kendaraan lain seolah berlari di sampingku. Dan saat ini adalah pengalaman pertamaku pulang naik sepeda motor. Dan juga, ini pertama kalinya seorang pemuda mengantarkanku pulang. Dan pemuda itu adalah Lucas.
Keajaiban? Pasti! Yang penting saat ini aku bingung harus bagaimana.
“Eh,” Lucas memperlambat laju sepeda motornya, “pegangan dong.”
“Hah?” tanyaku tak jelas, lagipula helm ini menutupi telingaku.
“Pegangan,” ucap Lucas dengan nada lebih keras.
Pegangan? Yang benar saja?
“Ayo, nanti kamu jatuh.”
Dengan ragu kulingkarkan lenganku di pinggangnya. Jantungku berdebar sangat kencang saat sebuah perasaan yang hangat menjalari tubuhku.
“Yang erat,” kudengar Lucas berseru. Sepeda motor melaju lebih kencang.
Kupererat pelukanku sampai pipiku menempel di punggungnya. Kudengar lucas tertawa dan mendadak sepeda motor yang kunaiki melompat dan melaju melesat melewati kendaraan-kendaraan lain. Kupejamkan mataku dan berusaha setenang mungkin. Lucas gila, umpatku dalam hati. Tapi pelukan ini hangat.
“Ini rumah kamu kan?” tanya Lucas setelah kami berhenti. Kuturunkan tubuhku dari sepeda motor, melepas helm dan berteriak marah, “Kamu gila, ya?”
Lucas memandangku tak berkedip. Jangankan dia, aku sendiri terkejut mengapa aku bisa semarah ini. Apakah karena Lucas memang menjalankan sepeda motor itu terlalu kencang, ataukah karena pelukan itu terasa terlalu cepat berlalu.
Lucas membuka helm yang dikenakannya, dan baru kulihat kalau pemuda itu ternyata tersenyum. Ya Tuhan, senyumnya manis sekali.
“Kamu cantik kalau marah,” ucapnya padaku. Wajahku langsung memanas.
“Simpan helmnya. Aku pulang dulu.” hanya itu yang diucapkannya kemudian sebelum mengenakan helmnya kembali dan berlalu dari hadapanku.
Lucas.. ah, mengapa aku begitu tak berdaya menghadapinya?
…….
“Enak?” Vanka tersenyum menatapku.
“Luar biasa,” desahku seraya memejamkan mata, berusaha mengingat semua rasa yang sudah kualami tadi siang. Vanka tertawa.
“Lalu dia pulang begitu saja?”
Kuanggukkan kepalaku. Vanka mendengus gusar.
“Kok begitu? Dia nggak bilang kalau mau main ke sini atau apa begitu?”
Kugelengkan kepalaku.
“Aneh. Cowok aneh,” Vanka mendesah berulang-ulang, “tapi kalian positif sudah jadian?”
Kuangat bahuku. “Entahlah, Van.”
Suara ketukan terdengar dari balik pintu.
“Ayo, Van. Nanti kita terlambat.”
Vanka bangkit berdiri dan berkata sebelum membuka pintu.
“Hati-hati deh sama cowok yang seperti itu. Siapkan pemanas ruangan.”
Dengan tersenyum kuanggukkan kepalaku. Setelah Vanka menutup pintu baru aku bertanya-tanya. Vanka mau kemana? Astaga, Alex!
Menyebalkan sekali kakak yang satu itu. Dan Vanka juga.
Dan akhirnya Lucas juga. Menyebalkan?
Kutatap helm hijau di sudut kamar dan tersenyum.
Lucas memang dingin. Tapi hangat juga.
Bersambung...