watch sexy videos at nza-vids!

Late Hours
“Gentlemen, this is Yulita, our new creative director,” kata Mr. Jansen, chief executive media memperkenalkan cewek semampai bersetelan jas pantalon resmi di sisinya. Si cewek tersenyum kecil pada kami. Sombong amat! Makiku dalam hati. Dia ngoceh dalam bahasa Inggris pada Mr. Jansen yang menunjukkan mejanya, persis di seberang mejaku. Si Yuli melirik sekilas padaku, angkuh. “I’ll use my own laptop,” katanya, seakan meragukan kapasitas deretan Macintosh biro iklan kami. Dari balik monitorku sesekali kutengok ia. Tidak cantik amat, tapi.. apa ya? Chic? Sensual? Bibirnya itu lho! Terpikir olehku, bagaimana rasanya.

Seharian si Yuli duduk di depanku, ia nyaris tak bersuara. Suaranya yang rendah itu dihematnya untuk bicara soal pekerjaan saja. Selebihnya, sepi! Tidak kenalan, tidak “say hi”. Pokoknya duduk diam dan asyik mengetik dan ceklak-ceklik dengan mouse-nya. Saat makan siang pun Yuli makan dengan diam-diam. Seloroh-seloroh nakal (bahkan bejat) yang sering dilontarkan teman-teman paling-paling ditanggapinya dengan mengangkat sudut bibirnya saja. Selesai makan siang, kami yang mayoritas laki-laki merokok, kecuali Endah, front-officer merangkap sekretaris dan Bu Sintha, kepala divisi marketing, serta Ratri bagian rumah tangga merangkap perpustakaan. Si Yuli merogoh Marlboro Light dan Zippo dari sakunya. Busyet! Kosmopolitan, nih! Sampai dua bulanan berikutnya si Yuli tetap seperti gunung es. Dingin, diam, tanpa basa-basi. Ia bekerja dengan efisiensi ala bule yang memang diingini Mr. Jansen dan para klien. Soal directing materi iklan dan mengkoordinir para sutradara production house dia memang jago. Ia juga betah kerja lama, workaholic!
Suatu ketika biro kami ketiban pulung. Ada perusahaan softdrink besar yang mempercayakan penggarapan materi iklannya pada kami, untuk semua jenis media, selama 12 bulan. Kami kerja mati-matian dan praktis lembur tiap hari. Seperti biasa si Yuli paling ampuh bertahan. Suatu malam, akhirnya teman-teman yang sudah begadang empat malam mana tahan juga, satu per satu pamit pulang duluan. Tinggal Yuli dan aku yang masih bertahan. Kebetulan kami sama-sama lajang dan aku senior-art-designer, harus terus berkoordinasi dengannya. Sunyi menyiksaku. Dengan otak mampet begini, mana bisa ide cemerlang muncul.

“Yul, nggak capek?” kucoba berkomunikasi dengannya.

Ia mengangkat muka dari laptop-nya. Ia tampak curiga dan pasang kuda-kuda.

“Mmm, ya ginilah,” sahutnya pendek.

“Boleh nggak, konsultasi di luar job?” tanyaku.

“Hmm?” ia menyulut rokoknya.


Kucoba bercerita tentang Susan, pacarku. Ia tertawa saja.

“Kalau ‘jam terbang’-mu bagaimana?” pancingku.

“Menurutmu gimana?” tanyanya balik sambil menatapku lurus-lurus.

“Yaah, kamu keliatannya nggak perlu cowok, tuh?”

Ia tersenyum.

“Perlu sih perlu, tapi aku nggak suka terikat.”


“Jujur, ni ye,” ledekku.

“Iya dong. Nggak kayak kamu,” katanya.

Wah, apa nih?

“Aku kenal betul tatapan mata seperti itu,” ia menudingku.

“Aku tahu apa aja yang biasa kau lihat dari situ, aku juga bisa menebak apa yang ada dalam otak kreatifmu itu..” sindirnya sambil tersenyum.


Darahku mulai berdesir.

“Apa coba yang aku pikir?” ego maskulinku tertantang.

Yuli menyisihkan laptop-nya.

“Gini. I like her. Aku pikir cewek ini lain, gimana ya rasanya have sex dengannya..” katanya ringan meramal pikiranku.


Aku nyaris tersedak asap rokokku. Kutatap dia. Dengan tenang ia balas memandang. Tanpa malu-malu. Testoteron dan adrenalin-ku berpacu. Dia jelas-jelas memancing. Gobloknya aku!

“Kamu mau?” tanyaku lugas kepalang basah.


“Apa masih kurang jelas?” ia kembali balik bertanya.

Kuangkat bahuku meski dalam hati penasaran.

“Aku senang kerja denganmu, aku suka ide-idemu, suaramu, sikapmu. Pasti.. cukup hangat melewatkan malam denganmu..” suaranya makin lama makin rendah.


Aku bangkit dan memadamkan rokokku. Kudatangi mejanya. Ia tetap tenang menantiku.

“Serius?” bisikku di hadapannya.

“Kita capek, dan perlu refreshing ‘kan?” jawabnya pelan.


Kujentik bibirnya. Ia menatapku tenang. Telunjukku kusapukan ke bibirnya. Ia diam. Saat sekali lagi kusentuh bibirnya, ujung lidahnya menyentuh telunjukku. Aku tak sabar lagi. Ia kurengkuh dan kukulum bibirnya. Ia membalas pelukanku dan menyambut bibirku. Bibirnya yang lembut, kenyal dan hangat kulumat habis, lidahku menyusup di sela bibirnya. Dengan hangat ia menyambut lidahku. Kurapatkan tubuhnya ke tubuhku hingga payudaranya menekan dadaku. Kurasakan tubuhnya mengencang dan makin hangat dalam dekapanku. Bibir kami terus bertaut selama beberapa saat. Sisa aroma rokok di nafasnya makin mengobarkan gairahku sementara geliginya nakal menggigit kecil bibir dan lidahku.


“Great kiss..” bisiknya saat kulepaskan untuk bernapas. “You too..” Jemarinya mencengkam lenganku saat kususuri sisi lehernya dengan bibirku. Ia gelisah sekali. Tarikan napasnya pendek-pendek dan tersendat. Saat lidahku menyapu cuping telinganya yang bagus dan napasku menghembus tengkuknya ia mengeluh pelan sambil menggigit bibir sementara tangannya liar menggerayangi dada dan punggungku. Desahnya makin cepat saat ciumanku menuruni lekuk lehernya. Suhu ruangan yang ber-AC terasa makin gerah saja. Blusnya kurenggut dari pinggang pantalonnya. Tanganku mendapatkan pinggangnya yang mulus, hangat dan liat. Kedua belah tangannya melingkar menahan tengkukku saat ia mengecupi bibirku. Sebelah tungkainya mulai naik melingkungi pinggangku. Dengan gugup ia meraih kancing bra-nya saat blusnya kulucuti. Dengan bertumpu pada sisi meja, kuangkat Yuli dalam gendonganku. Mulutku mendapatkan pucuk-pucuk buah dadanya yang coklat muda kemerahan dan dengan gemas kunikmati. Sementara kuremasi pantatnya.


“Aryo.. Aryo..” desisnya. Sembarangan ia mencoba membuka hem-ku, dua biji kancing lepas saat tak sabar ia menariknya. Ia merosot dari gendonganku, dengan jemari bergetar ia berusaha membuka gesper ikat pinggangku. Tidak berhasil. Tangannya beralih merabai selangkanganku, padahal tanpa dirabainya pun aku sudah “hard on” dari tadi. Tiba-tiba ia berlutut dan membuka ritsleting-ku dengan giginya. Dengan sukarela kubuka gesperku karena jeans-ku terasa makin sempit oleh kelaminku yang menggembung. Celana itu segera ditarik turun hingga lepas lengkap dengan celana dalamku. Yuli menyambut ujung kemaluanku dengan mulutnya sementara paha dan pantatku habis diremasinya. “Aaahh!” tubuhku serasa dijalari arus listrik. Yuli agaknya benar-benar tahu cara membuat laki-laki meniti “ekstase”. Lidahnya menyusuri batang kemaluanku hingga ke pangkal zakar. Susah payah kujaga keseimbanganku agar tak terjatuh tiap kali kepala kemaluanku dihisapnya. Tubuh dan lengan Yuli serasa membara sementara telapak tangannya dingin dan lembab. Peluh menitik di pelipisnya. Makin lama makin rapat ia mengulum “anu”-ku. Sebelah kakiku dikepitnya di sela paha hingga bagian kewanitaannya menggeser kakiku.



Aku tak tahan lagi. Setengah paksa kulepas ia. Pipinya merona, rambutnya acak-acakan, bibirnya memerah dan basah oleh liur. Tubuhnya sedikit menggigil. Ia kelihatan makin seksi. Begitu pantalonnya merosot saat kubuka dan ia melepas celana dalamnya, tubuhnya kuangkat dan kusandarkan ke dinding. Kedua tungkainya ketat melilit pinggangku. Desahnya tertahan saat batang kemaluanku mulai memasuki liangnya. Geliginya terkatup rapat menahan bibir. Kukulum bibirnya dan lidahku masuk ke rongga mulutnya. “Mhh!” jeritnya tertahan bibirku, saat kujejalkan seluruh batang kemaluanku ke lubang kemaluannya yang kesat dan hangat. “Hhh..” ia menggelinjang, menggeliat berusaha meronta dari pelukanku saat kugerakkan panggulku sehingga organku menggeser dinding dalam liangnya yang menyempit merapati kemaluanku.


Semakin ia memekik dan otot-ototnya berusaha mendorong batang kemaluanku, makin keras dan dalam kudesak ia. Kubiarkan ia menggigit bahuku untuk melampiaskan segala yang dirasainya hingga akhirnya ia mulai mengikuti irama shake up-ku. Hangat nafasnya menyapu wajahku. Peluh mengembun di sekujur tubuh kami meski suhu AC 17ยบ C pada dinihari itu. Yuli mengusap peluh di wajahku dan meniupiku. Tiba-tiba jepitan tungkainya di pinggangku mengetat, denyutan liangnya pun makin hebat. Yuli mengatupkan giginya, panggulnya berayun menyambut setiap desakanku, pelukannya pindah ke panggulku seakan menuntutku lebih dalam pada setiap goyangan. Lubang kemaluannya kini lembab dan licin oleh cairan kewanitaannya. Kudekap ia erat-erat. Akhirnya sebelah kaki Yuli turun dari pinggangku saat ia mencapai orgasme. Dahinya tersandar di bahuku. Buru-buru ia kubawa ke kursi terdekat. Gaya knee-trembler begini betul-betul menuntut stamina ekstra.


Di kursi, Yuli duduk di pangkuanku dan mulai pulih dari orgasmenya. Seperti biasa ia menatapku terang-terangan. Ujung-ujung jarinya menyusuri wajahku. Menyibak rambut yang menutupi dahiku, mengikuti bentuk alisku, menuruni hidungku, menyapu kumisku dan merabai bibirku. Aku merasa seperti mainan. Saat telunjuknya menyentuh bibir bawahku, kutangkap tangannya dan kugigit telunjuknya. Ia memekik dan tertawa, suara tawanya merdu. Ia menunduk padaku sambil menjulurkan ujung lidahnya ke depan bibirku. Tentu saja kusambut godaannya itu untuk sekian kalinya, lidah merah jambu itu kutarik ke mulutku dan kukulum, sementara buah dadanya yang kenyal menekan dadaku yang terbuka. Jantungku serasa berdetak di telinga. Kuusap kedua gumpalan indah di dadanya itu sembari bibir kami terus beradu. Tangannya menjangkau tanganku dan membawanya merabai gunung kembar itu dengan cara yang disukainya. Ia bahkan membiarkanku meremasnya.


Darahku serasa naik sampai ke kepala. Aku sudah tak tahan lagi. Kupegang panggulnya dan kudesak ia beberapa kali maju mundur. Ia sesekali meringis dan mendesis karena gerakan itu, tapi tiap kali kelaminku menyodoki kemaluannya, tiap kali itu pula ia memajukan panggulnya hingga rasanya aku masuk makin dalam dan liangnya jadi makin sempit karena kontraksi. “Yo..” rintihnya sambil berpegangan erat pada tepi meja saat kupaksa anuku masuk lebih dalam lagi. Tiap kali ia mengeluh, memanggilku, aku jadi makin semangat. Bagai kesetanan (mungkin memang kesetanan) tubuhnya kurangkul, kuciumi bibir, leher dan dadanya dan kutahan panggulnya kuat-kuat saat semenku menyembur ke liangnya. Gelenyar nikmat menjalari setiap titik syaraf di tubuhku.



Yuli berkaca-kaca, segaris air mata membasahi pipi kirinya. “Sakit?” tanyaku. Ia menggeleng dan merebahkan tubuh ke dadaku. Tanganku diraih dan diletakkannya di pipinya. Saat itu baru kusadar betapa putih kulitnya dibanding kulit sawo matang gelapku. Kukecup dahinya. Ia makin merapat padaku berusaha menghangati tubuh telanjangnya dari suhu AC yang menggigit.

“Berapa lama sudah?” tanyaku setelah beberapa saat berdiam diri.

“Maksudmu?”

“Ini bukan pertama kalinya ‘kan?” tebakku.

“Kapan terakhir kamu melakukannya?”


“Apa itu perlu?”

“Ingin tahu saja.”

Ia menghela napas.

“Aku tidak segampangan yang kau sangka.”

“Jelas. Tapi boleh dong aku tahu, aku ini nomer berapamu?” rajukku.

Yuli menghela nafas dan menatapku lurus-lurus. Ia mengangkat dua jarinya di depan hidungku. “Masa, sih?” tanyaku tak percaya sekaligus bangga.


“Buat apa aku bohong?” katanya sambil berbalik memunggungiku lalu meraih wadah rokok dan pematikku, disulutnya sebatang.

“Siapa yang pertama, pacarmu, teman di kantor lama, atau.. suamimu?” selidikku.

“Bukan urusanmu,” gumamnya.


Asap rokok dihembus kuat-kuat. Kuambil rokoknya. Kuciumi bibirnya.

“Sorry, cuma penasaran aja. Jangan-jangan kau hobi meniduri kolega,” ia tertawa.


“Sembarangan. Nggak lah. Mungkin kita cocok aja.”

Ia menggeser mouse-ku dan mengklik ikon Winamp. Sesaat kemudian Get Lost in Your Eyes-nya Debbie Gibson mengalun.

“Cocok, gimana?” kusibak rambut yang menutupi tengkuknya dan kuciumi belakang lehernya.

“Mmm.. kamu.. kreatif..” jawabnya.

Ciumanku menjalar ke punggung, bahu dan pipinya.

“Jelas dong. Senior Art Designer! Tapi masa cuma kreatif aja, nggak ada lainnya?” tuntutku di telinganya.


Aku mulai panas dingin lagi.

“Lho, jarang lho cowok kreatif soal making love,” tegasnya.

“Mhhm. Kalau cowokmu dulu.. gimana?” kejarku.

Ia langsung berbalik dan menyumbat mulutku dengan ciuman.

“Jangan ngomong soal orang itu, ah!” tolaknya.

“OK. soal kita saja, ya.”



Kami mulai bercumbu lagi. Seperti tadi, ia menggerayangiku ke mana-mana sementara lidahnya bermain di kedua putingku. Tiba-tiba tangannya meluncur turun merabai perutku, menyusuri rambut pendek yang tumbuh mulai bawah pusar hingga ke pangkal batang kemaluanku. Lalu ia mulai menjahili kelaminku yang setengah ereksi. Betul-betul bikin penasaran. Cuma telunjuknya saja yang ke sana kemari merambah batang kemaluan sampai kantung zakar. “Shake me,” kataku. Ia ragu-ragu. Kugenggamkan tangannya ke kelaminku. Ia langsung melepaskannya. “Please,” pintaku. Sekali lagi kubawa tangannya ke sana. Ia menekanku lembut. “Sakit nggak?” tanyanya. Aku menggeleng. Ia mulai mengurutku. Amboi! Si kecil langsung menegang penuh. Yuli menghela nafas dan merapatkan tubuhnya padaku. Kuangkat ia ke meja poster di sebelah mejaku. Lembar-lembar storyboard, disain poster, kepingan negative slide dan sebuah asbak penuh puntung kusapu begitu saja saat kami menaiki meja.


Babak kedua dimulai. Berada dalam tindihan tubuhku, Yulita begitu penurut dan mesra. Ah, seandainya ia juga begini saat kami mengolah iklan. Ia seakan tahu apa yang kuinginkan dan membiarkan aku berbuat semauku. Dinding keramik ruang kerja kami memantulkan bayangan tubuh kami yang saling merapat, persis seperti lambang Yin-Yang. Desah Yuli makin jelas. Meski Yuli menyambut semua ciumanku dengan hangat dan membawa tanganku kemana-mana menyusuri tubuhnya, “gerbang selatan”-nya tak seramah si pemilik. Tiap kali kuayun panggulku agar “tongkat”-ku masuk lebih dalam, “terowongan” yang tersembunyi di balik hutan kecil itu melawan habis-habisan. Makin kugoyang, makin sempit saja rasanya. Di antara jepitan-jepitannya yang heboh, otot liang Yuli sesekali bergerak memutar batangku. Ooh, dimana anak ini belajar jurus begituan?! Aku sempat kelabakan juga untuk mengimbanginya. Untung, Yuli sendiri agaknya tak cukup kuat menahan orgasmenya.



Tak lama kemudian liangnya membasah dan makin licin. Runtuh juga akhirnya pertahanan yang gigih itu. Dengan semangat juang membara aku mulai memompa kuat-kuat. Darahku rasanya berdesir-desir di ubun-ubun karena Yuli masih berusaha melakukan perlawanan terakhir meski sudah basah kuyup. Batang kemaluanku rasanya seperti dipijat maju mundur oleh celah yang penuh dilumasi cairan kewanitaan. Yuli mulai terengah-engah lagi. Jemarinya yang berkuku pendek mulai ngawur mencakari bahuku. Kutangkap kedua tangan mungilnya, kubawa ke atas kepalanya dan kutindih dengan lenganku.


“Jangan galak-galak, dong,” bisikku di telinganya.

“S.. sori, aku nggak tahan..” sahutnya di sambil menarik nafas.

“Nggak tahan ini ya..” kuayun panggulku perlahan hingga kemaluanku bergerak dalam liangnya.

“Ngghh..!” pekiknya sambil menggeliat.


Pahanya langsung mengencang mengepit pinggangku.

“Yo, lepasin dong!” rengeknya sambil berusaha melepaskan tangannya dari genggamanku.

“Nggak enak, nggak bisa peluk kamu.”

“Asal janji nggak main cakar, perih nih..” tawarku.

Ia mengangguk. Begitu kulepas, ia langsung mengusap bahuku.

“Mana yang perih, ooh, ini ya? Kaciyaann..” ledeknya sebelum mengecupi lecet bekas kukunya itu.



Mau tak mau aku tertawa juga melihat ulahnya. Jeda sesaat itu ternyata justru mengobarkan klimaks yang tertunda karena cakaran Yuli. Masih tertawa-tawa, kuteruskan pompaan ke “jalan bahagia” Yuli yang sudah banjir deras. Yuli memekik tertahan-tahan setiap kali aku menggoyangnya. Ia menggeliat, menggelinjang tak karuan dalam tindihanku, namun tiba-tiba saja tubuhnya merapat erat.

“Te.. rus.. Yo, teruss..” desahnya meracau.

“Tahan Yul, sedikit lagi..” bujukku pada Yuli yang sudah mabuk orgasme.

Dengan sabar dan lembut Yuli mengulum bibirku, merabai dadaku, melarikan jemarinya ke tengkuk dan pangkal telinga serta mengusapi rambutku sampai akhirnya “meriam”-ku meletus habis-habisan dalam liangnya.



Bukan Yulita namanya kalau tidak penuh kejutan. Tak lebih dari sepuluh menit setelah kami selesai, ia sudah merosot turun dari meja poster dan memunguti bajunya yang terserak di lantai dan mejaku, sementara aku masih melayang-layang menikmati sensasi.

“Sudah jam empat, kerjaan belum selesai,” katanya.

“Aku mandi dulu.”

Hilang sudah Yulita yang hangat dan merajuk manja. Kini kembali kulihat creative director yang dingin dan efektif.


Hampir sejam Yulita di kamar mandi, ia muncul dalam keadaan wangi dan berbaju bersih. Rambut lurusnya basah bekas keramas. Sisa air masih menetes-netes di ujung rambutnya.

“Coba kau lihat ini, bagaimana kalau disainnya kita buat begini..” panggilku.

Selama ia mandi aku berhasil menyelesaikan rancangan storyboard utama berkat pikiran yang sudah jernih.


“Ini bagus,” katanya sambil menunduk memandangi disainku di layar komputer.

Entah kenapa tiba-tiba terlintas dalam pikiranku bahwa ia milikku dan jangan sampai teman sekantor lainnya mendekatinya.

“Udah, kamu mandi dulu gih, clean-up-nya biar aku yang rapiin,” katanya dengan nada tak mau dibantah.


Kali ini dengan senang hati aku menurutinya. Saat office boy datang pukul 06:00, disain untuk presentasi internal sudah selesai seluruhnya, kami juga sudah merapikan meja poster yang semalam jadi arena pergumulan. Pukul 08:00 saat teman-teman datang, mereka cuma melihat creative director and senior art designer yang asyik berkutat dengan komputer masing-masing.

“Wah, hebat. Gimana nih kabar pasangan Lapis Legit kita?” ledek Tigor si media planner.

“Sip!” kataku.


“Storyboard utama sudah siap dipresentasikan.”

Tigor ternganga.

“Sialan. Kompak juga kalian,” makinya kemudian.


Pukul 09:30, briefing di mulai. Dengan dingin Yulita menerangkan pekerjaan kami, dan membagi kesempatan bicara untukku, namun tidak sekalipun ia memandangku. Entah apa yang dipikirkannya. Entah bagaimana kelanjutan hubungan kami nantinya.